Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Arkeologi Ruang Hunian Vertikal dan Kehidupan Anti Sosial

18 November 2021   14:54 Diperbarui: 18 November 2021   16:48 1455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pola Ruang Hunian Vertikal. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Sebenarnya menghubungkan hunian vertikal dan kehidupan anti sosial seperti narasi yang ekstrim dan memaksa. 

Lain halnya jika dikatakan hunian vertikal cenderung menyebabkan individual. Kalau hal ini, mungkin lebih jamak kedengarannya. 

Selain itu individual tidak selalu bisa diartikan sebagai anti sosial. Walaupun tidak menutup kemungkinan anti sosial diawali dengan gaya hidup individual.

Sebagai makhluk individu sekaligus sosial, manusia secara naluriah memang selalu berpotensi memiliki sikap individual. Hal ini karena setiap person bertanggung jawab sendiri kepada dirinya. 

Namun disebut makhluk sosial, karena secara alamiah dan naluriah, setiap orang akan berinteraksi satu dengan lainnya. 

Interaksi antar manusia terjadi karena adanya ruang. Jadi setiap interaksi antar manusia, membutuhkan media, yaitu ruang dan waktu. 

Jadi semakin luas ruang yang tersedia, maka semakin luas pula interaksi antar manusia bisa terjadi. 

Sebaliknya, semakin sempit atau kecil ruang, maka interaksi antar manusia pun semakin kecil.

Dalam setiap kehidupan manusia, takkan pernah bebas dari ruang dan waktu. Karena justru dengan adanya ruang dan waktu, proses interaksi atau relasi dapat terjadi. 

Yang dimaksud ruang dalam hubungan atau interaksi antar manusia, adalah adanya lingkungan di luar diri manusia secara individu itu sendiri. 

Artinya, begitu kita melepaskan diri kita dari personalitas kita, secara alamiah sebenarnya kita menciptakan ruangnya sendiri.

Ruang kita ciptakan dengan batasannya sendiri. Unit terkecil ruang misalnya kamar. Itu adalah ruang personal bersifat privat.

Namun, begitu kita buka pintu dan jendela, sebenarnya kita menciptakan atau melahirkan ruang yang tak sepenuhnya privat, tetapi kita membuka ruang interaksi, dengan skalanya sendiri.

Kamar, ruang yang skalanya kecil itu, tentu punya batasan interaksi. Batasan ruang dan jangkauan interaksinya juga terbatas. 

Lalu, rumah. Dalam rumah tercipta ruang interaksi sesama keluarga. Begitu kita buka pintu dan jendela, terbuka ruang interaksi yang lebih luas. 

Karena memungkinkan terjadi interaksi dengan orang luar. Begitu seterusnya, kompleks perumahan, tentu pola dan aktivitas interaksi sosial lebih luas lagi dan seterusnya. 

Pola keruangan menentukan bagaimana proses dan aktivitas interaksi terjadi. Semakin luas ruang lingkup atau lingkungan, semakin luas pula aktivitas interaksi terjadi. 

Hingga kemudian sampai pada interaksi sosial, karena melibatkan orang banyak di luar batasan lingkungan atau ruang kita sendiri. 

Dalam kacamata arkeologi, hunian atau sebut saja rumah adalah material culture, budaya kebendaan. Namun juga sekaligus ia sebagai ruang. 

Jadi rumah secara fisik sebagai budaya benda juga sekaligus mewakili bentuk dan pola ruang. 

Konteksnya berhubungan dengan soal arkeologi ruang, yang bisa atau dimungkinkan bersifat simbolik.

Artefak dan ruang dalam khasanah kebudayaan bersifat kontekstual dan relasional, berhubungan satu sama lain, membentuk nilai-nilai kebudayaan. 

Batasan ruang dan material budaya, secara kontekstual dan relasional berpengaruh terhadap perilaku manusia atau kebudayaannya. 

Mari kita telisik dalam kacamata arkeologi ruang. Arkeologi ruang dipahami, sebagai konsep memahami ruang dan interaksi, juga simbol dan nilai-nilai budaya berdasarkan keletakan material budaya dan konteksnya. 

Hal mana ditunjukkan oleh material budaya dalam ruang dan waktu untuk memahami nilai-nilai budaya manusia pendukungnya. Atau bisa pula untuk mengetahui perilaku manusianya. 

Dalam arkeologi, yang sudah tidak bisa lagi dilihat aktivitas interaksinya, dapat dikaji melalui pola ruang dan keletakan benda dalam ruang situs tertentu.

Baiklah, kita lewati dulu soal arkeologi ruang ini. Saya tarik dulu yang bisa kita tafsirkan dari arkeologi ke konteks sekarang yang kita bisa liat aktivitasnya secara langsung. Interaksi antar personal dan sosial yang bisa kita lihat langsung. 

Kita kembali ke soal pola ruang (baca: keruangan), menentukan bagaimana pola interaksi terjadi.

Bicara soal topik hunian vertikal yang populer zaman now ini, tentu kita bisa bayangkan dan bahkan melihat langsung bagaimana pola interaksinya. 

Andai saja dulu, sudah ada hunian vertikal, tentu dari kacamata arkeologi juga, kita bisa kaji bagaimana pola interaksi masyarakat pendukungnya.

Oh maaf, kita sedang membincangkan soal hunian vertikal rupanya. Hampir lupa dengan topik saya mau bahas sebenarnya. Karena saya perlu mengantarnya dulu untuk sampai ke topik ini. 

Hunian vertikal adalah sebuah wujud pola ruang. Nah, disini ketemu core yang ingin saya bahas dari kacamata arkeologi ruang dan budaya. 

Di awal saya singgung soal pola ruang menentukan bagaimana proses dan aktivitas interaksi manusia. 

Hunian vertikal adalah sebuah bentuk ruang yang memiliki batasan ruangnya sendiri pula. 

Seperti yang saya singgung tadi, soal kamar, unit rumah, kompleks perumahan, dan seterusnya. 

Kamar adalah ruang privat bagi personal. Rumah adalah ruang privat bagi keluarga, unit sosial terkecil. 

Namun seterusnya, di luar rumah sudah menjadi ruang sosial, karena terdiri dari banyak unit sosial keluarga yang lebih luas lagi. Ada banyak rumah-rumah yang di diami keluarga-keluarga yang lain. 

Pola ruang hunian vertikal kita bisa liat dari bentuk hunian vertikal itu sendiri. Juga bentuk pola ruangnya yang bersusun. 

Katakanlah misalnya hunian vertikal sangat terbatas luasan beranda/teras dan halaman. Atau bahkan malah tanpa teras dan halaman. 

Pola dan bentuk ruang seperti itu pasti membatasi aktivitas interaksi penghuninya. Kemudian bentuk ruangnya yang bersusun atau vertikal juga memengaruhi pola interaksi. 

Hukum adaptasi lingkungan berlaku disini. Hampir tidak mungkin, penghuni rumah susun yang di atas bisa berinteraksi intens dengan penghuni yang dibawahnya. 

Kondisi ini saja sudah tergambar, bahwa interaksi sosial di ruang hunian vertikal, lebih terbatas dibanding hunian yang horizontal. Kondisi pola dan bentuk ruang terbukti sangat mempengaruhi pola interaksi sosial. 

Dalam skala yang lebih luas, maka pola hunian vertikal membuat interaksi sosial lebih terbatas bukan? 

Bagi kasus personal, kondisi, bentuk, dan pola ruang hunian vertikal dalam skala tertentu bisa membatasi interaksi antar individu di ruang hunian yang satu dengan penghuni di hunian vertikal lainnya. 

Bahkan sangat memungkinkan pola ruang hunian vertikal yang membatasi pola interaksi individual dapat menyebabkan perubahan perilaku di lingkungan lebih individual dan bahkan anti sosial.

Mungkin asumsi ini membutuhkan riset yang lebih sistematis untuk membuat kesimpulan. 

Namun asumsi, bahwa bentuk hunian vertikal berpengaruh terhadap perilaku secara personal sangat memungkinkan. 

Rumah tanpa teras dan tanpa halaman, dengan pola ruang antar hunian berbentuk susun atau vertikal, sangat membatasi ruang gerak interaksi antar individu dan interaksi sosial.

Kemudian bentuk ruang hunian yang tanpa halaman, juga sangat membatasi intensitas interaksi antar individu maupun interaksi sosial.

Hal ini tentu berbeda dibanding hunian horizontal yang umumnya memiliki halaman dan beranda. 

Pola ruang seperti ini lebih memungkinkan aktivitas interaksi antar penghuninya lebih intens dan lebih luas. 

Demikian pandangan saya. Kesimpulannya hunian vertikal adalah wujud material culture, budaya kebendaan. 

Sekaligus juga mewakili bentuk dan pola keruangan. Keduanya saling terkait dan tidak bebas nilai. 

Ada nilai-nilai budaya yang membentuk dan terbentuk karenanya. Nilai-nilai budaya yang terkait dengan pengaruh pola perilaku penghuninya. 

Termasuk soal bentuk dan pola interaksi baik antar individu maupun interaksi sosialnya. 

Hunian vertikal secara material dapat menyebabkan pola interaksi yang lebih sempit dan individual. 

Dalam kondisi dan kasus tertentu bisa menyebabkan perilaku anti sosial penghuninya dalam lingkup sesama penghuni hunian vertikal. 

***

Salam hangat 

Mas Han. Manado, 18 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun