Artinya, begitu kita melepaskan diri kita dari personalitas kita, secara alamiah sebenarnya kita menciptakan ruangnya sendiri.
Ruang kita ciptakan dengan batasannya sendiri. Unit terkecil ruang misalnya kamar. Itu adalah ruang personal bersifat privat.
Namun, begitu kita buka pintu dan jendela, sebenarnya kita menciptakan atau melahirkan ruang yang tak sepenuhnya privat, tetapi kita membuka ruang interaksi, dengan skalanya sendiri.
Kamar, ruang yang skalanya kecil itu, tentu punya batasan interaksi. Batasan ruang dan jangkauan interaksinya juga terbatas.Â
Lalu, rumah. Dalam rumah tercipta ruang interaksi sesama keluarga. Begitu kita buka pintu dan jendela, terbuka ruang interaksi yang lebih luas.Â
Karena memungkinkan terjadi interaksi dengan orang luar. Begitu seterusnya, kompleks perumahan, tentu pola dan aktivitas interaksi sosial lebih luas lagi dan seterusnya.Â
Pola keruangan menentukan bagaimana proses dan aktivitas interaksi terjadi. Semakin luas ruang lingkup atau lingkungan, semakin luas pula aktivitas interaksi terjadi.Â
Hingga kemudian sampai pada interaksi sosial, karena melibatkan orang banyak di luar batasan lingkungan atau ruang kita sendiri.Â
Dalam kacamata arkeologi, hunian atau sebut saja rumah adalah material culture, budaya kebendaan. Namun juga sekaligus ia sebagai ruang.Â
Jadi rumah secara fisik sebagai budaya benda juga sekaligus mewakili bentuk dan pola ruang.Â
Konteksnya berhubungan dengan soal arkeologi ruang, yang bisa atau dimungkinkan bersifat simbolik.