engkau, pujangga pemilik bukit asmaradahanaku,
tunaikan ucap akanmu dalam setiap bait mimpi indahku
Baik, saya lanjutkan dulu. Tidak sampai disitu. Sang Ratu dapur, Mbak Naza biasa saya memanggilnya, masih menyimpan satu bait puisi ternyata. Di lemparnya ke ruang hampa, melayang di udara, dan akhirnya dengan sigap ditanggap Sang Ratu Embun, Dek Lintang, biasa saya memanggilnya.Â
Disambarnya bait puisi dari Mbak Naza, lalu disambungnya dengan bait puisi yang indah dari Ayu di bait kedua. Sayapun, sedikit terkesima, namun justru terpancing untuk menyambungnya di bait ketiga. Akhirnya Zaldy Chan, atau Bang Jack, biasa saya memanggilnya hanya bertanya. Kau tau?Â
#Sketsa 3
Sosokmu sulit kurengkuh
Dalam diam, hasrat hatiku tak bisa luruh
Inginku menghantam kerinduan tedalam. Semakin dalam. Dalam diam.
Mengapa usaikan rasa
bila kau pun mendamba asmara?
Rengkuhlah zirah renjana,
ambillah kembali rindu meski secupak di batas cakrawala
Rasa ini seperti sejauh cakrawala
di garis bianglala.
Ingin kerengkuh dalam pelukan malam
meski jauh dari purnama.
Demi rindu yang bertabur bintang.
Mendekatkan asmara yang senyap
ditelan awan.
Kau tahu?
***
Hmmm..bahasa puisi adalah bahasa hati. Bahasa universal, bahasa kemanusiaan. Ia sejati dan hakiki. Bahasa puisi adalah bahasa naluriah, ia hanya terjeda sedikit untuk memilih kata, itupun sekedar penyesuaian, agar selaras antar kata dan antar bait.Â
Karena bahasa puisi adalah bahasa hati. Bahasa universal kemanusiaan, maka sesungguhnya setiap orang bisa menulis puisi. Itu menurut Mas Han loh ya. Jadi siapapun orangnya, sejahat apapun, sebangsat apapun, ia akan terpikat oleh bahasa puisi.Â