Inti pokok yang berbeda lainnya, tentang arkeologi publik dan arkeologi komunitas adalah soal subyek dan ruang lingkupnya. Kalau arkeologi publik, ditujukan pada peran serta publik dalam arti luas tanpa batas ruang sosial. Pelibatannya lebih dititikberatkan pada pengelolaan sumberdaya arkeologi.Â
Sementara, arkeologi komunitas itu soal metode peneliitian arkeologi yang secara  terbuka (inklusif). Melibatkan partisipasi kelompok masyarakat atau kelompok sosial budaya bersifat lokal di lingkup wilayah terkecil seperti dusun atau desa dimana sumberdaya arkeologi berada.Â
Tentu bukan tanpa alasan, ketika saya mengajukan konsep ini. Sejarahnya sebenarnya soal ruang lingkup wilayah penelitian saya waktu itu. pada tahun 2006, ketika saya pertama kali melakukan penelitian arkeologi di Maluku, Â saya menjumpai fenomena yang sangat riskan dan penuh perdebatan soal pemahaman masyarakat mengenai sebuah situs arkeologi.Â
Maklum, saat itu Maluku belum lama berselang, terjadi konflik. Di tahun itu, kecurigaan dan perdebatan soal temuan situs sangat sensitif. Soal klaim tanah adat, soal hak kultural, debat sejarah, saling klaim dan sebagainya. Bisa dibayangkan, di tengah trauma dan masih adanya kecurigaan yang tinggi terhadap orang luar, bagaimana ketika saya menemukan situs arkeologi, di wilayah perbatasan kedua desa yang pernah terlibat konflik.
Tentu prinsip kehati-hatian yang saya terapkan. Disitulah muncul pemikiran saya, tentang arkeologi komunitas. Inti dari pemikiran itu, adalah bahwa dalam situasi yang penuh perdebatan, maka jalan terbaik penelitian arkeologi dilakukan dengan penelitian partisipatif. Konsep arkeologi komunitas sebenarnya, bahwa pengetahuan tentang sejarah dan arkeologi, tidak mutlak menjadi pengetahuan peneliti saja.Â
Sebaliknya, masyarakat sebagai pewaris kebudayaan, adalah pihak yang juga mengetahui dan memahami tentang warisan budayanya. Kedudukan antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti sama posisinya.Â
Para arkeolog, tidak bisa memonopoli kebenaran sejarah dan budaya. Hal ini karena, masyarakatlah sesungguhnya pewaris kebudayaan, sekaligus juga mewarisi pengetahuan tentang budayanya.Â
Setelah itu, dalam arkeologi komunitas selain penelitian untuk menggali informasi juga menggali persepsi sekaligus mewadahi aspirasi dan apresiasi masyarakat terhadap persoalan sumberdaya arkeologi di wilayahnya. Juga seringkali merumuskan bersama usulan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arekologi tersebut.
Jadi arkeologi komunitas itu justru bisa menjembatani pengetahuan. Pengetahuan antara peneliti, dengan pakem keilmuan arkeologinya, dengan masyarakat yang mewarisi kebudayaan sekaligus pengetahuannya. Selain itu, juga bisa 'mendidik' memiliki cara pandang yang lebih ilmiah.Â
Hal ini karena seringkali, pengetahuan mereka sebatas mewarisi secara turun temurun pengetahuan yang di dengarnya. Yang dituturkan dari generasi ke generasi.Â
Akibatnya lebih banyak kadar biasnya, daripada fakta yang lebih rasional dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Disitulah peneliti arkeolog (arkeolog) memberikan penjelasan ilmiahnya kepada masyarakat.Â