Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Arkeologi Komunitas ke Komunitas Arkeologi

28 September 2020   23:45 Diperbarui: 29 September 2020   00:10 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi Komunitas Peduli Warisan Budaya Banda Naira. Sumber: Balai Arkeologi Maluku/Wuri Handoko

Sudah lama sebenarnya, para arkeolog membangun komunitas peduli warisan budaya, baik itu permanen, terlembaga, ataupun sekedar kumpul-kumpul sahabat sesama penyuka dunia petualangan arkeologi. Sebenarnya, selama puluhan tahun saya sendiri sebagai arkeolog, tidak pernah berinisiatif membuat komunitas. 

Namun seiring waktu, seringnya di lapangan bersama dengan masyarakat ataupun para pihak yang terlibat penelitian, sehingga dengan sendirinya, justru mereka yang tergerak membuat komunitas penggiat arkeologi ataupun penggiat budaya. 

Dalam dunia arkeologi, awalnya saya sendiri melihat komunitas dalam arkeologi itu sebuah konsep. Bukan sebuah gerakan perkumpulan. Konsep tentang komunitas.

Awalnya justru lahir ketika saya dulu, sewaktu menjadi mahasiswa seringkali menjadi relawan di berbagai lembaga pemerhati lingkungan. Lama-lama kemudian saya adopsi ke dalam konsep arkeologi, justru ketika saya sudah bekerja sebagai seorang arkeolog. 

Arkeologi Komunitas: Menjembatani Pengetahuan Arkeologi

Tentang arkeologi komunitas, sesungguhnya awal sebuah konsep metode penelitian arkeologi. Sama terinspirasi, ketika di masa reformasi dulu, program-program partisipatif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Mereka sangat familiar dengan sistem PRA (Participatory Rural Apraisal). Intinya tentang perencanaan partisipatif, atau perencanaan komunitas. 

Masyarakat sendirilah yang memahami masalah lingkungannya sendiri. Masyarakat sendiri pula yang tahu bagaimana menyelesaikan masalah. Oleh karena itu masyarakat sendiri pula yang lebih paham, membuat perencanaan program seperti apa yang bisa menjadi solusi permasalahan mereka.  

Konsep itu lalu saya adopsi ke dalam metode penelitian arkeologi. Kemudian lahirlah konsep tentang arkeologi komunitas. Mungkin konsep ini bukan hal baru. Di dunia barat, mungkin sudah mengenalnya. 

Tetapi tentu berbeda, selain karena saya tidak memiliki kecenderungan untuk selalu mengadopsi barat, juga kondisi subyek atau masyarakat dimana sumberdaya arkeologi berada juga berbeda. 

Di dunia arkeologi, sebenarnya lebih populer tentang arkeologi publik. Perhatian arkeologi publik lebih ke soal pengelolaan atau manajemen sumberdaya arkeologi. 

Jadi ketika saya menawarkan konsep arkeologi komunitas, tentu ada substansi yang berbeda. Karena melalui arkeologi komunitas, justru arah pemikiran saya waktu itu, lebih ke soal model atau metode penelitian arkeologi partisipatif. 

Inti pokok yang berbeda lainnya, tentang arkeologi publik dan arkeologi komunitas adalah soal subyek dan ruang lingkupnya. Kalau arkeologi publik, ditujukan pada peran serta publik dalam arti luas tanpa batas ruang sosial. Pelibatannya lebih dititikberatkan pada pengelolaan sumberdaya arkeologi. 

Sementara, arkeologi komunitas itu soal metode peneliitian arkeologi yang secara  terbuka (inklusif). Melibatkan partisipasi kelompok masyarakat atau kelompok sosial budaya bersifat lokal di lingkup wilayah terkecil seperti dusun atau desa dimana sumberdaya arkeologi berada. 

Tentu bukan tanpa alasan, ketika saya mengajukan konsep ini. Sejarahnya sebenarnya soal ruang lingkup wilayah penelitian saya waktu itu. pada tahun 2006, ketika saya pertama kali melakukan penelitian arkeologi di Maluku,  saya menjumpai fenomena yang sangat riskan dan penuh perdebatan soal pemahaman masyarakat mengenai sebuah situs arkeologi. 

Maklum, saat itu Maluku belum lama berselang, terjadi konflik. Di tahun itu, kecurigaan dan perdebatan soal temuan situs sangat sensitif. Soal klaim tanah adat, soal hak kultural, debat sejarah, saling klaim dan sebagainya. Bisa dibayangkan, di tengah trauma dan masih adanya kecurigaan yang tinggi terhadap orang luar, bagaimana ketika saya menemukan situs arkeologi, di wilayah perbatasan kedua desa yang pernah terlibat konflik.

Tentu prinsip kehati-hatian yang saya terapkan. Disitulah muncul pemikiran saya, tentang arkeologi komunitas. Inti dari pemikiran itu, adalah bahwa dalam situasi yang penuh perdebatan, maka jalan terbaik penelitian arkeologi dilakukan dengan penelitian partisipatif. Konsep arkeologi komunitas sebenarnya, bahwa pengetahuan tentang sejarah dan arkeologi, tidak mutlak menjadi pengetahuan peneliti saja. 

Sebaliknya, masyarakat sebagai pewaris kebudayaan, adalah pihak yang juga mengetahui dan memahami tentang warisan budayanya. Kedudukan antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti sama posisinya. 

Para arkeolog, tidak bisa memonopoli kebenaran sejarah dan budaya. Hal ini karena, masyarakatlah sesungguhnya pewaris kebudayaan, sekaligus juga mewarisi pengetahuan tentang budayanya. 

Setelah itu, dalam arkeologi komunitas selain penelitian untuk menggali informasi juga menggali persepsi sekaligus mewadahi aspirasi dan apresiasi masyarakat terhadap persoalan sumberdaya arkeologi di wilayahnya. Juga seringkali merumuskan bersama usulan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arekologi tersebut.

Jadi arkeologi komunitas itu justru bisa menjembatani pengetahuan. Pengetahuan antara peneliti, dengan pakem keilmuan arkeologinya, dengan masyarakat yang mewarisi kebudayaan sekaligus pengetahuannya. Selain itu, juga bisa 'mendidik' memiliki cara pandang yang lebih ilmiah. 

Hal ini karena seringkali, pengetahuan mereka sebatas mewarisi secara turun temurun pengetahuan yang di dengarnya. Yang dituturkan dari generasi ke generasi. 

Akibatnya lebih banyak kadar biasnya, daripada fakta yang lebih rasional dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Disitulah peneliti arkeolog (arkeolog) memberikan penjelasan ilmiahnya kepada masyarakat. 

Jadi melalui arkeologi komunitas, justru banyak keutamaan yang dihasilkan. Pertama; menghimpun lebih banyak informasi masyarakat. Kedua; menghimpun lebih banyak apresiasi dan aspirasi masyarakat. Ketiga; mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat terhadap hak sejarah dan budayanya.

Keempat; Penelitian lanjutan melalui arkeologi lebih terarah dan bisa dipertanggungjawabkan, sekaligus tak menafikkan salah satu pihak tanpa mengesampingkan teori-teori ilmiahnya. 

Kelima; Penelitian arkeologi dapat dilakukan dengan menggabungkan antara metode ilmiah arkeologi dan metode pendekatan yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat. Hal ini dapat menjembatani antara peneliti dan masyarakat dan pengetahuannya.

Keenam; Melalui pendekatan ini dapat mempertemukan beragam perspektif dalam masyarakat terhadap sejarah dan budayanya. Ketujuh; Melalui metode ini dapat menggali gagasan masyarakat berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya dalam merumuskan persoalan sumberdaya arkeologi, serta perencanaan untuk penyelesaian masalah melalui pengelolaan sumberdaya arkeologi.

Kedelapan; Hal ini juga menjadi jalan menuju pemasyarakatan arkeologi yang lebih mengakar. Publik memahami arkeologi, bersedia melestarikan sumberdaya arkeologi dan memiliki cara pandang dalam pengelolaan sumberdaya budaya dan arkeologi. 

Pada prinsipnya, pengetahuan bukan hanya milik peneliti atau arkeolog. Masyarakat tak hanya menjadi obyek, tetapi menjadi subyek utama dalam penelitian, perencanaan dan pengelolaan sumberdaya arkeologi.

Komunitas Arkeologi, Peduli Warisan Budaya

Pengalaman saya bergelut di dunia arkeologi, menjumpai bahwa komunitas itu tumbuh dengan sendirinya. Masyarakatlah sesungguhnya komunitas itu sendiri. Dalam hal komunitas arkeologi, tumbuh karena ada kepedulian yang sama. 

Tumbuhnya kepedulian karena pengetahuan. Masyarakat mengetahui dan memahami bagaimana arkeologi bekerja. Masyarakat memahami bagaimana warisan budaya itu dimaknai. Lalu timbullah kepedulian melestarikannya. 

Pendekatan arkeologi komunitas yang partisipatif, menempatkan dan memberi ruang yang sama kepada masyarakat, justru membuat masyarakat lebih dihargai. Masyarakat merasa pengetahuan tentang warisan budaya, yang diperolehnya juga dengan cara diwariskan oleh leluhurnya secara turun temurun, dihargai dan mendapat tempat. Disitulah justru menjadi kunci, lahirnya komunitas-komunitas masyarakat di pedesaan peduli terhadap warisan budaya. 

Memang diakui, komunitas yang tumbuh bukan karena dibentuk oleh peneliti, termasuk saya di dalamnya. Tetapi tumbuh dengan sendirinya. Komunitas yang lahirpun tidak mewujud lembaga yang organik dan memiliki struktur. 

Seringkali justru hanya sekelompok masyarakat yang tergerak bersama. Sehingga kadangkala, rasa tergerak ini membuat masyarakat sangat responsif. Memberi informasi tentang penemuan situs baru di lingkungan mereka. Memberikan laporan tentang kasus-kasus kerusakan situs dan sebagainya, kepada kami yang sudah dianggap sebagai mitra atau partner yang sama-sama peduli terhadap warisan budaya. 

Sekali lagi bukan peneliti yang membentuk komunitas. Tapi justru masyarakatlah yang tergerak sendiri membangun komunitas. Walaupun beberapa komunitas semakin meningkat energinya, setelah kami bekerja bersama di lapangan. 

Di Maluku, tepatnya di Banda Naira misalnya. Pertemuan kami para peneliti arkeologi beberapa kali dengan sekelompok pemuda peduli warisan budaya, seperti memberi energi dan semangat baru. Ada komunitas di Banda Naira, menamakan dirinya Komunitas Parduli Negeri (Parneg), dimana sahabat saya, Bang Ancha. 

Orang mengenalnya dengan panggilan Ancha Parneg, adalah tokoh pemuda Banda Naira sekaligus sebagai Ketua Komunitas Parduli Negeri. Mereka adalah pemuda-pemuda yang berdedikasi terhadap pelestarian cagar budaya Banda Naira. Sebagai sebuah lembaga non profit, mereka seakan-akan bekerja menjaga negeri. 

Misalnya, tanpa dibayar, mereka membersihkan halaman Istana Mini Banda Naira. Awalnya mereka hanya mebersihkan halaman, memotong rumput dengan alat yang mereka punyai sendiri. Selain itu, setiap minggu pagi, mereka beberapa orang anggota Parneg, memungut sampah-sampah di pinggir pantai di Banda Naira. 

Mereka memahami, bahwa banda Naira adalah destinasi wisata. Juga kaya akan bangunan-bangunan cagar budaya peninggalan kolonial, sebagai daya tarik utama wisata, selain obyek wisata alamnya. Namun, kata mereka pemerintah tak cukup energi, juga tak cukup peduli untuk menjaga dan melestarikannya. Melestarikan sumberdaya budayanya, juga lingkungannya. 

Kepedulian mereka, menggerakkan hati Camat Banda Naira, memberi bantuan berupa mesin pemotong rumput dan juga gerobak pengangkut sampah. Suatu ketika, Balai Arkeologi Maluku, tempat saya bekerja dulu, juga memberikan bantuan tiga buah mesin pemotong rumput di tahun 2016. 

Di awal sebelum terbentuknya Komunitas Parneg, beberapa pemuda kami libatkan penelitian arkeologi partisipatif. Beberapa pemuda itu, kami tugaskan sebagai tenaga lokal, yang membantu kami untuk survei dan juga ekskavasi. Di malam harinya, sambil ngopi kami diskusi. Tentang tinggalan sejarah dan budaya Banda Naira, juga masyarakatnya. Juga peran penting Banda Naira, di mata Indonesia dan dunia. 

Mereka sangat paham dengan Banda Naira, rumahnya. Budayanya. Kepedulian dan kecintaan terhadap Banda Naira semakin bertumbuh. Ketika saya meninggalkan Maluku, saya hanya berharap, komunitas itu tetap hidup dan menggenerasi. Hanya itu harapan saya. 

Jadi di dunia arkeologi, pengalaman yang saya jumpai, kiat berkomunitas itu kuncinya adalah cara pandang bersama. Saling memberi pengetahuan itu yang penting dan terutama. Dengan pengetahuan yang sama, memposisikan diri yang sama, justru akan menciptakan sikap kepedulian yang sama. 

Dunia arkeologi adalah dunia warisan budaya. Dunia mencintai warisan budaya. Memposisikan diri dalam kedudukan yang sama, lalu saling memberi pengetahuan, maka dengan sendirinya menciptakan rasa peduli yang sama. Komunitas itu tumbuh, dari soal kebersamaan. Masyarakatlah, komunitas itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun