“Bakso dua.” Laki-laki itu menyahut sambil tak putus memandang gadis di sebelahnya. “Mau jumbo urat atau telur, Sum?”
Gadis itu tampak melemparkan pandang . “Terserah saja.”
“Jumbo urat dua porsi.” Kata laki-laki itu pada pelayan.
Seorang pelayan menyajikan dua gelas es teh manis di depan gadis itu dan pria di sampingnya. Lagi-lagi ia menyibakkan rambutnya Kulihat gadis itu berusaha tersenyum kecil. Tetapi di mataku tampak robek. Lebih menjengkelkan dari cibiran mbok Kromo yang peot. Ingin sekali kuhampiri meja itu dan menumpahkan mangkuk bakso yang ada ke muka gadis itu, juga ke muka laki-laki yang rambutnya kribo seperti sarang burung itu. Tapi tak kulakukan. Aku hanya memperhatikan mereka dengan geram dari sini. Kulihat pemandangan jalan di luar. Hujan tak henti-henti.
Barangkali gadis itu akan berkata seperti ini:
“Akupun berhak untuk menikmati hidupku yang muda, bukan?”
“Ibuku menderita. Aku lebih lagi. Aku letih dan biarkan aku sejenak merasa senang dengan orang yang kusukai.”
Ia akan menyeringai sedikit menampakkan giginya yang berserak.
“Apa aku salah? Kalau iya, kenapa aku harus jadi anak perempuan miskin yang lakinya tak bertanggung jawab?”
Ia mungkin akan berteriak hingga urat lehernya menegang.
“Ini tidak adil!”