Apa yang gadis itu fikirkan. Entahlah, keadilan seperti apa yang boleh kita harapkan? Aku berhenti sekolah dan menjadi tukang parkir di pasar Gintung ini untuk membantu emakku yang bekerja di pabrik tempe milik bude Jinem. Aku telah membiarkan semua harapanku tersengat matahari. Kujalani semua ini selama bertahun-tahun. Aku tak dapat menjadi nahkoda yang berlayar keliling dunia seperti impianku waktu kecil. Tapi buktinya, aku bisa menghidupi anak dan istriku sekarang.
***
Dari meja sebelah sini, kulihat seorang perempuan tua berjalan terseok-seok di dalam hujan di trotoar. Dia basah kuyup. Di kepalanya ada kantong plastik hitam yang dipasang sebagai tutup kepala. Pipinya basah. Entah hanya tirisan hujan, atau telah bercampur air matanya yang bercucuran. Kulirik gadis yang sedang menikmati hangatnya semangkuk bakso.
Matanya terpicing dan kulihat keningnya berkerut. Tiba-tiba saja ia menghujamkan garpu ke mangkuk bakso di depannya dan dengan histeris menusukkan garpu itu ke potongan-potongan bakso hingga berhamburan ke meja.
“Ya, Tuhan! Tak sepatutnya aku di sini!”
Laki-laki di di sampingnya berseru kaget.
“Sumi!”
Kembali kulihat ia menghempaskan sendok lalu berlari ke luar menembus hujan. Orang-orang berhenti menyuap dan bicara. Semua mata memandangi tubuhnya yang sontak kuyup. Pria di sampingnya berlari ke pintu, hendak mengejar. Tetapi urung, karena dia tidak siap diguyur hujan.
Gadis itu terus berlari menyeberang jalan ke arah tempat wanita tua itu berada. Kakinya tergelincir di tengah jalan yang licin oleh hujan sehingga ia jatuh terjengkang dan nyaris ditabrak ojek yang melaju kencang. Pengendara itu berteriak, tapi ia tak peduli. Bangkit dari aspal dan kembali berlari.
Di emperan toko seberang jalan itu, kulihat perempuan tua itu melangkah tersaruk-saruk dengan keranjang di jinjingan. Ternyata beliau adalah ibunya, dan gadis manis itu putri semata wayangnya, Sumini.
Lampung, 2011.