Mohon tunggu...
Wulan Ews
Wulan Ews Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir dan dibesarkan di kota tapis berseri sebagai sulung dari dua bersaudara. Secara jujur mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk melahirkan kata- kata, apalagi jika harus menuangkannya dalam bentuk tulisan, tapi ia mencoba untuk masuk ke dalamnya dan menikmati kesempatan untuk mengekspresikan diri, kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumini

3 November 2011   13:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:06 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiba-tiba kulihat gadis itu tersedak. Matanya merah. Kasihan sekali.

***

Sambil kunikmati sebatang kretek dan sesekali melirik ke meja gadis manis itu, kusapukan pandangan ke luar. Memperhatikan orang-orang yang  melintas. Ada yang berpayung, bahkan ada yang hanya menutup kepala dengan telapak tangan. Sebuah angkot tua mogok di tengah jalan dan  membuat kemacetan kecil. Jeritan klakson putus asa mengalahkan bunyi hujan. Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang perempuan tua yang tampak berjalan terseok-seok menerobos hujan. Sepertinya hendak menyebrang.  Perempuan tua itu duduk termangu di emperan sebuah toko di seberang jalan sana. Kulihat matanya memandangi tenggok jualannya yang basah. Pecel siram dan jajanan pasar lainnya.  Pasar Gintung sepi sekali sore ini.  Sudah sore, tetapi uang tak juga didapat. Tak tega, aku sengaja menghampirinya. Membeli pecel siram dan jajanan lainnya Rp.5.000,00 saja. Ya, lima ribu  rupiah saja, sebab istriku di rumah takkan suka. Rasa pecelnya selalu asin dan jajanannya terlalu kecil.

“Sore-sore jangan melamun, Mak,” kataku menyapanya dengan maksud bercanda. Akupun tahu bagaimana pahitnya mencari hidup di pasar. Sebab aku sendiri juga hanya tukang parkir.  Harga-harga yang kian mahal tidak menguntungkan pedagang. Sebaliknya, orang-orang jadi jarang ke pasar. Apalagi sekarang semakin banyak warung serba ada, pasar swalayan, atau minimarket yang membuat orang enggan berpeluh-peluh menelusuri lorong pasar yang becek dan apek. Perempuan tua itu tersenyum kecil. Aku dapat melihat binar kegembiraan di matanya begitu dia mengetahui aku menghampirinya.

“Beli pecel  dan gorengan Git?”

“Seperti biasa, Mak. Lima ribu saja”

Dia segera mengambil koran beralaskan daun pisang, kemudian membungkuskan pecel siram asin , dagangannya.

“Hari ini gimana, Mak?”

“Haduh Gito, sama saja seperti kemaren.  Sepi ”

Perempuan itu memasukkan pecel yang kupesan tadi beserta jajanan pasar yang kuminta, lalu membungkus kantong plastik itu.  Tak lupa ia menambahkan seiris ubi goreng. Perempuan itu selalu melebihkan jajanan setiap kali aku membeli dagangannya.

“Ah, ini kan dijual, Mak”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun