“Dari 3 Hakim, 1 masuk surga dan 2 masuk neraka” tutur Ust. Asmuni, penceramah kultum sebelum shalat tarawih.
Gaya bicaranya yang menarik serta mudah dimengerti membuat jamaah antusias mendengarkan materi yang disampaikan. Hilman duduk bersila di shaf surau bagian tengah sambil mengisi buku catatan Ramadhan.
Ust. Asmuni kembali melanjutkan kultum “Jabatan sebagai Hakim merupakan amanah yang..….”
“Permisi mas. Pesanannya, caffe latte tanpa tambahan makanan ringan” suara ramah pelayan wanita Cafetaria membuyarkan lamunannya tentang ceramah Ust. Asmuni beberapa tahun silam. Hilman membalas dengan anggukan kepala.
Pelayan itu meletakan segelas kopi hangat. Aromanya yang khas membuat Hilman tidak sabar untuk mencicipi. Sejak dipindah tugas dari Mamuju Utara ke Bengkulu 3 bulan lalu, Cafetaria menjadi tempat kongkow yang paling sering didatangi, sekadar untuk menikmati senja.
***
2 minggu lalu di ruang sidang Pengadilan Negeri Bengkulu, Jaksa membaca tuntutan. Kasus pencurian. “Terdakwa telah mengambil 2 tabung gas LPG berukuran 5,5 Kg di toko kelontong milik Koh Mirham”
“Terdakwa telah melanggar Pasal 362 KUHP sehingga dituntut 2 bulan penjara” kalimat terakhir Jaksa membuat terdakwa, Mak Ratmi, tertunduk lesu.
Pak Machsun, Ketua Majelis Hakim, mengajukan pertanyaan kepada terdakwa. “Apakah ada pernyataan Jaksa yang saudari sangkal?”
“Gak ada Pak Hakim” jawab Mak Ratmi yang duduk di kursi persakitan tanpa didampingi Pengacara.
“Saudari mengakui telah mencuri 2 tabung gas?” Pak Machsun mulai mencecar terdakwa.
“Iya Pak Hakim, saya mengambil 2 gas di toko itu”. Mak Ratmi terus menjawab pertanyaan-pertanyaan tanpa memberikan alibi.
Hilman yang semula hanya diam akhirnya bersuara “Apakah saudari sejak awal berencana mencuri?”
“Saya tidak merencakannya Pak Hakim. Ide itu muncul tiba-tiba”
“Kenapa saudari tiba-tiba ingin mencuri?” Hilman mendalami jawaban terdakwa.
Mak Ratmi diam sejenak. Suasana ruang sidang menjadi hening. “Saya butuh modal Pak Hakim”.
“Modal untuk apa?” Tanya Hilman sambil mengerutkan dahi.
“Saya pedagang kue lepek binti”. Lanjut Mak Ratmi.
“Lalu?” tanya Hilman yang masih belum memahami keterkaitan antara jawaban terdakwa dengan pertanyaan yang diajukan.
“Sejak 2 hari sebelum mengambil tabung gas itu, saya tidak berjualan. Gak punya modal”.
Mak Ratmi meneruskan jawabannya “Modal jualan, saya berikan ke tukang kredit. Sudah satu minggu saya tidak mampu bayar angsuran kredit. Biasanya suami yang bayar tapi sekarang lagi sakit. Dia tertimpa tangga saat bekerja sebagai kuli bangunan”
Hilman menyimak pernyataan terdakwa dengan teliti.
Sejenak Mak Ratmi menarik nafas “Tukang kredit itu datang 2 hari sekali ke rumah saya Pak Hakim. Karena tidak ada uang, saya selalu bilang akan bayar besok. Namun sudah 2 kali dia datang saya belum juga punya uang. Dia kesal dan marah-marah”.
“Karena tidak ingin ada keributan, saya kasih uang modal jualan kue lepek binti ke tukang kredit. Padahal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami mengandalkan dari hasil jualan” mata Mak Ratmi berkaca-kaca dan kembali tertunduk.
“Apakah saudari mencuri gas untuk dijual dan uangnya untuk membeli bahan-bahan kue lepek binti?” Hilman mencoba menebak alur fikir terdakwa.
“Iya Pak Hakim. Awalnya saya ke toko itu untuk pinjam bahan-bahan membuat kue lepek binti tetapi tidak diberi. Karena tidak ada pilihan lain, saya ambil 2 gas di depan toko namun tertangkap tangan dan saya dilaporkan ke Polisi”
Hilman mengajukan pertanyaan terakhir “Kenapa saudari tidak mencari pinjaman ke tempat lain?”
Tanpa jeda Mak Ratmi langsung menjawab “Sebelum datang ke toko itu, saya ke tetangga-tetangga Pak Hakim. Karena kehidupan tetangga juga pas-pasan, mereka tidak memiliki uang lebih untuk saya pinjam”.
***
1 minggu kemudian sidang kembali digelar. Agendanya pembacaan putusan. Putusan Majelis Hakim tidak bulat. 2 Hakim menyatakan terdakwa bersalah dan 1 Hakim dissenting opinion. Terdakwa pun dijatuhi hukuman 1 bulan penjara. Vonis itu lebih ringan dari tuntuan Jaksa karena terdakwa dinilai kooperatif serta tidak berbelit-belit saat menjawab pertanyaan.
“Apakah saudari akan mengajukan banding atas putusan ini?” tanya Ketua Majelis Hakim usai membacakan putusan.
“Tidak Pak Hakim” jawab Mak Ratmi.
“Pak Jaksa, apakah akan mengajukan banding?”
“Kami akan fikir-fikir terlebih dulu Yang Mulia”
***
Segelas kopi yang sejak tadi diseruputnya hampir habis. Fikirannya kembali teringat pada persidangan kemarin siang. Dirinya dissenting opinion terhadap putusan Majelis Hakim. Dalam memutus perkara, Hilman tidak ingin menggunakan kacamata kuda seperti kebanyakan Hakim yang memutus perkara berdasar pada pertimbangan hukum semata.
Ada hal lain yang semestinya perlu dipertimbangkan. Kemanusiaan misalnya. Mak Ratmi tidak merencanakan pencurian, korban pun tidak mengalami kerugian berarti dan pencurian itu dilakukan karena keterpaksaan bukan karena kebiasaan sehingga menurutnya hukuman penjara dirasa tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan.
Ceramah Ust. Asmuni kembali terngiang. Sambil tersenyum dia bergumam “kira-kira aku masuk dalam golongan 1 hakim atau 2 hakim?”
“Yang masuk dalam golongan 2 hakim, mungkin yang mau menerima suap dari pengacara atau pihak yang berkepentingan” ujar Hilman pada dirinya sendiri.
Setelah memastikan kopi dalam gelas tidak tersisa, Hilman memasukan smartphone miliknya ke dalam tas selempang lalu beranjak berdiri menuju pintu keluar Cafetaria.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H