Sejenak Mak Ratmi menarik nafas “Tukang kredit itu datang 2 hari sekali ke rumah saya Pak Hakim. Karena tidak ada uang, saya selalu bilang akan bayar besok. Namun sudah 2 kali dia datang saya belum juga punya uang. Dia kesal dan marah-marah”.
“Karena tidak ingin ada keributan, saya kasih uang modal jualan kue lepek binti ke tukang kredit. Padahal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami mengandalkan dari hasil jualan” mata Mak Ratmi berkaca-kaca dan kembali tertunduk.
“Apakah saudari mencuri gas untuk dijual dan uangnya untuk membeli bahan-bahan kue lepek binti?” Hilman mencoba menebak alur fikir terdakwa.
“Iya Pak Hakim. Awalnya saya ke toko itu untuk pinjam bahan-bahan membuat kue lepek binti tetapi tidak diberi. Karena tidak ada pilihan lain, saya ambil 2 gas di depan toko namun tertangkap tangan dan saya dilaporkan ke Polisi”
Hilman mengajukan pertanyaan terakhir “Kenapa saudari tidak mencari pinjaman ke tempat lain?”
Tanpa jeda Mak Ratmi langsung menjawab “Sebelum datang ke toko itu, saya ke tetangga-tetangga Pak Hakim. Karena kehidupan tetangga juga pas-pasan, mereka tidak memiliki uang lebih untuk saya pinjam”.
***
1 minggu kemudian sidang kembali digelar. Agendanya pembacaan putusan. Putusan Majelis Hakim tidak bulat. 2 Hakim menyatakan terdakwa bersalah dan 1 Hakim dissenting opinion. Terdakwa pun dijatuhi hukuman 1 bulan penjara. Vonis itu lebih ringan dari tuntuan Jaksa karena terdakwa dinilai kooperatif serta tidak berbelit-belit saat menjawab pertanyaan.
“Apakah saudari akan mengajukan banding atas putusan ini?” tanya Ketua Majelis Hakim usai membacakan putusan.
“Tidak Pak Hakim” jawab Mak Ratmi.
“Pak Jaksa, apakah akan mengajukan banding?”