Mohon tunggu...
wood street
wood street Mohon Tunggu... Akuntan - From Neverland

Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Terlupakan

16 September 2023   22:22 Diperbarui: 16 September 2023   22:26 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang lelaki merasa jadi orang yang terlupakan selepas dari bertahun tahun hidup di penjara. Istrinya telah meninggalkannya. Hanya soal waktu, pengadilan mengetok palu sidang perceraian mereka. Dia begitu terpukul kala anaknya nyaris tak mengenalinya lagi. Dan ketika dia menemui ayahnya, hanya kata-kata menyakitkan yang terdengar. Tak hanya itu, hampir semua saudaranya tak henti menyalahkannya. Menuding dia penyebab sang ibu sakit parah hingga meninggal dunia. Hanya adiknya, satu-satunya saudara yang masih peduli.

Sang adik yang jenius dan berprestasi dalam sekolahnya kini  memilih menjadi petani. Tinggal di daerah terpencil. Tempat dimana hanya dia satu-satunya orang yang bergelar sarjana.  Tempat dimana petani masih dibodohi para tengkulak.

Lelaki itu memutuskan tinggal disana. Dia berharap dapat memulai hidup baru. Namun kesunyian desa tak mampu menenangkan jiwanya. Sebagai anak lelaki yang pernah yang menjadi kebanggaan keluarga, hasrat untuk kembali meraih kejayaan meledak. Disisi lain, kegelisahan mencengkeram hatinya. Diliputi rasa bersalah. Dihantui ketakutan. Takut melangkah. Takut bergerak. Takut kekeliru. Takut gagal. Dia kehilangan kepercayaan dirinya.  

 " Aku merasa disingkirkan dari dunia ini. Aku orang terbuang. Aku seperti sampah, " ucapnya bekeluh kesah.

 " Kakak tak perlu khawatir menjadi sampah. Setiap hari aku dan teman-temanku mengumpulkan sampah. Kami olah menjadi pupuk. Jadi sampah sangat berguna bagi kami. "

 " Aku tak bisa tinggal disini. Tapi aku sulit diterima di duniaku yang lama. Dengan label bekas narapidana aku sulit mencari kerja. Aku sulit merintis usaha. Orang susah percaya padaku. Aku harus merubah identitasku. "

Sang adik pun terperangah dan bingung. Otaknya yang cerdas tak mampu menangkap maksud sang kakak.

" Lalu, maksud kakak ? " tanyanya masih dengan dengan nada bingung.

" Aku ingin meminjam identitasmu. Aku ingin meminjam KTP, akte kelahiran dan ijazahmu. Untuk mencari kerja. Bukankah wajah kita mirip. Apalagi sekarang aku tak lagi segemuk dulu. Pasti tak ada orang yang curiga.  Kau tidak keberatan ?"

" Tidak. Tapi ... "

" Jangan khawatir, aku tak ingin mengulangi kesalahanku. Aku siap bekerja keras. Merintis dari bawah. Aku hanya ingin kembali bekerja. Kembali menjadi seorang ayah. Kembali menjadi anak yang bisa dibanggakan. Aku hanya ingin kembali bahagia."

" Tinggal disini, kakak bisa juga bahagia. Seperti aku. "

" Ayah tak mungin bangga jika aku tinggal disini, " ucap sang kakak lirih tapi menghujam.

Kini tak ada kalimat lain yang bisa diucapkan dari mulut sang adik sebab Sang Ayah tak pernah setuju dengan jalan hidupnya.

" Petani-petani bodoh itu tak butuh orang sepintar kau ! " Kalimat dari sang ayah masih teriang-ngiang di telinganya.

Akhirnya sang adik menyerahkan semua dokumen yang diminta sang kakak, sembari berucap, " Tempat ini selalu terbuka untuk kakak. "

***

Disebuah kota besar yang ada diseberang pulau, lelaki itu memulai hidup baru. Dengan identitas baru, dia mulai melamar kerja. Tak mudah mendapatkan kerja walau berbekal ijazah dengan nilai memuaskan. Tapi tak juga sulit, bagi mereka yang pantang menyerah dan mau bekerja keras. Pekerjaan rendahan dengan gaji kecil, akhirnya dia peroleh.

Berbekal pengalaman kerjanya di masa lalu, lelaki itu dapat melaksanakan seluruh pekerjaannya dengan sangat baik. Atasannya pun sangat puas. Berbekal tekadnya untuk kembali sukses, lelaki itu pun mulai merangkak ke atas walau perlahan.

Dengan bangga dia mengirimkan buah tangan dan surat kepada ayahnya. Kini sang ayah tersenyum bahagia kala lelaki itu menelepon berkirim khabar.

Dengan bangga lelaki itu mengirimkan surat dan hadiah kepada anaknya. Kepada mantan istrinya dia berjanji akan rutin mengirim uang untuk membiayai sekolah anaknya.

Sedikit kebanggaan telah membuatnya semakin percaya diri. Lelaki itu mulai membangun jaringan pergaulan. Ini tak sulit. Penjara telah mengajarkan dia cara bergaul dengan beragam orang. Dari orang kaya, pejabat hingga penjahat kelas teri. Dari orang licik dan serakah hingga orang yang tertindas tanpa bisa berbuat apa-apa.

Maka jaringan pergaulan lelaki itu terus semakin melebar. Dia pun berpindah-pindah tempat kerja untuk meraih posisi yang semakin tinggi. Dan tentu saja gaji yang tinggi pula.

Dia pun sudah terbiasa memperkenalkan dirinya sebagai " Herly". Nama milik adiknya. Namanya "Heri" perlahan mulai luntur dalam ingatannya. Bahkan terkadang dia kagok menyebut namanya kala berbicara dengan sang ayah. Heri sang bekas narapidana kini telah benar-benar bermetamorfosa menjadi Herly seorang eksekutif muda.

***

Suatu ketika perusahaan property tempat lelaki itu bekerja dibuat bingung dengan ulah gerombolan preman terorganisir yang mengganggu proyek pembangunan sebuah pusat perbelanjaan. Terpercik ide dalam otak lelaki itu. 

Dia lantas menemui pimpinan perusahaan dan menyatakan sanggup menjinakkan para preman itu dengan kompensasi jabatan dan gaji yang jauh lebih tinggi . Tawaran yang sempat membuat para pimpinan perusahaan tertawa. 

Tapi setelah lelaki itu mempresentasikan sebagian rencananya, maka tawaran itu menjadi sulit ditolak bagi pimpinan perusahaan tersebut. Sebelum lelaki itu diizinkan bergerak, atasannya menyodorkan selembar surat pernyataan, sambil berkata, " Perusahaan tak ingin bertanggungjawab jika kamu celaka. Jika terjadi anarkisme jangan bawa nama perusahaan apalagi namaku."

Tanpa harus berpikir panjang, lelaki itu menandatanganinya. Baginya puncak kesuksesan adalah segalanya. Dan kesempatan kini ada di depan mata.

Maka perjudian terbesar dalam hidupnya kini dimulai. Lelaki itu bergerak bersama jaringannya. Preman-preman jalanan yang selama ini dia kenal menjadi pendukung langkahnya. Sejumlah aparat yang selama ini dia akrabi, disiapkan sebagai senjata pamungkas. Kemudian jaring dia tebar bersama umpan. Saat umpan dimakan sang lawan, justru lelaki itu dengan merendah menemui pimpinan gerombolan preman. Menawarkan sejumlah pekerjaan. 

Menawarkan kehangatan persahabatan. Maka tak butuh waktu terlalu lama kesepakatan pun tercapai. Lelaki itu lantas menghadap pimpinannya dengan membawa kemenangan. Nama lelaki itu pun diam-diam menjulang di kalangan pengusaha. Kini kesuksesan telah diraihnya.

***

Dengan gemerlap dunia yang ada dalam genggaman, tak ada lagi halangan bagi lelaki itu untuk kembali pulang. Untuk kembali bisa medekap erat anak kesayangannya. Untuk membuat ayahnya kembali bangga. Maka ketika libur panjang   tiba, lelaki itu-dengan segala kemegahannya- mendatangi rumah mantan istrinya. Untuk memadamkan kerinduan pada anaknya yang menyala-nyala. Namun hanya kekecewaan yang dia dapati.

" Selama ini aku bercerita pada anak kita jika kau telah tewas karena kecelakaan di laut. Mayatmu tak ditemukan. "

" Tak hanya itu. Kala kami ke pantai, aku bahkan mengajarinya berdoa untukmu, " ucap mantan istrinya penuh isak. " Maaf, selama ini surat-suratmu aku buang. "

" Anak kita kini sudah punya seorang ayah yang penuh cinta kasih. Aku mohon kau bisa mengerti semua ini. Semua uang yang kau kirimkan masih aku simpan. Jika kau tak keberatan akan aku kembalikan. " tambahnya.

Dengan badan lunglai, lelaki itu pergi. Satu per satu kemegahannya mulai berjatuhan.

Satu-satunya tempat yang bisa membahagiakannya kini hanya rumah masa kecilnya dulu. Tempat dimana ayahnya berada. Tempat dimana dia bisa berbagi cerita. Tapi ternyata sang ayah sudah menjadi pikun karena dimakan usia. Sang ayah berkali-kali memanggil lelaki itu dengan Herly, nama adiknya. Dan ironisnya, lelaki itu dengan spontan membenarkan sebutan itu. Sebab bertahun-tahun, tak pernah ada yang memanggilnya Heri.

" Tak apalah, aku toh bisa menunjukkan pada para tetangga jika aku tak hanya telah bangkit dari keterpurukanku. Aku bahkan mampu meraih kejayaan yang lebih tinggi, " ucapnya dalam hati sebelum dia menghadiri acara petemuan RT di kampungnya.

Maka dengan penuh kepercayaan diri, lelaki itu menghampiri kerumuman para tetangga yang sedang becengkrama.

Tanpa diduga, seorang tetangga menyapa lebih dulu, " Herly, apa khabarmu ? "

Belum sempat lelaki itu menjelaskan siapa dirinya, tetangga itu menyerocos, "  Kamu sekarang gemuk dan putih. Beda dengan dulu. "

" Gaya rambutmu sekarang beda. Tapi sekarang kamu tampak lebih pendek, " ucap yang lain. " Penampilanmu benar-benar berubah. Tampak lebih keren.  "

" Aku bukan Herly. Aku Heri, " ucap lelaki itu dengan ragu. Sebab nama Heri bekas narapidana menjadi beban dalam dirinya.

" Heri ? Jadi sekarang kamu mengubah namamu juga. Keren juga nama barumu. "

 Kepala lelaki itu pening seketika. Dia benar-benar telah menjadi orang yang terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun