" Selama ini aku bercerita pada anak kita jika kau telah tewas karena kecelakaan di laut. Mayatmu tak ditemukan. "
" Tak hanya itu. Kala kami ke pantai, aku bahkan mengajarinya berdoa untukmu, " ucap mantan istrinya penuh isak. " Maaf, selama ini surat-suratmu aku buang. "
" Anak kita kini sudah punya seorang ayah yang penuh cinta kasih. Aku mohon kau bisa mengerti semua ini. Semua uang yang kau kirimkan masih aku simpan. Jika kau tak keberatan akan aku kembalikan. " tambahnya.
Dengan badan lunglai, lelaki itu pergi. Satu per satu kemegahannya mulai berjatuhan.
Satu-satunya tempat yang bisa membahagiakannya kini hanya rumah masa kecilnya dulu. Tempat dimana ayahnya berada. Tempat dimana dia bisa berbagi cerita. Tapi ternyata sang ayah sudah menjadi pikun karena dimakan usia. Sang ayah berkali-kali memanggil lelaki itu dengan Herly, nama adiknya. Dan ironisnya, lelaki itu dengan spontan membenarkan sebutan itu. Sebab bertahun-tahun, tak pernah ada yang memanggilnya Heri.
" Tak apalah, aku toh bisa menunjukkan pada para tetangga jika aku tak hanya telah bangkit dari keterpurukanku. Aku bahkan mampu meraih kejayaan yang lebih tinggi, " ucapnya dalam hati sebelum dia menghadiri acara petemuan RT di kampungnya.
Maka dengan penuh kepercayaan diri, lelaki itu menghampiri kerumuman para tetangga yang sedang becengkrama.
Tanpa diduga, seorang tetangga menyapa lebih dulu, " Herly, apa khabarmu ? "
Belum sempat lelaki itu menjelaskan siapa dirinya, tetangga itu menyerocos, " Â Kamu sekarang gemuk dan putih. Beda dengan dulu. "
" Gaya rambutmu sekarang beda. Tapi sekarang kamu tampak lebih pendek, " ucap yang lain. " Penampilanmu benar-benar berubah. Tampak lebih keren. Â "
" Aku bukan Herly. Aku Heri, " ucap lelaki itu dengan ragu. Sebab nama Heri bekas narapidana menjadi beban dalam dirinya.