Mohon tunggu...
padmono anton
padmono anton Mohon Tunggu... -

saya adalah seorang petani desa di cianjur bagian selatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Apa Katamu?(4)

9 Januari 2011   00:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:48 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Oh iya! Kematangan manusiawi dan imani
adalah kunci baik-buruknya segala... segala tindakan manusia. Memang juga tetap
kita sadari, untuk menjadi matang itu juga tidak mudah dan membutuhkan proses
yang panjang dan bisa juga berbelit-belit, dan tadi... jatuh dan bangun. Jatuh
lagi dan bangun lagi..."

"Suster.. dengan penjelasan Suster, saya
menjadi agak mudah untuk memahami bahwa kita harus menghargai orang lain dalam
keadaan apa saja, entah ia bertindak jahat atau pun bertindak baik."

"Yang tidak kita hargai adalah tindakan
jahatnya. Dan lebih lanjut kita dipanggil untuk membantunya keluar dari
tindakan jahat itu. Tapi ini pun tidak begitu mudah, dan memerlukan sebuah
strategi yang tepat untuk memaksimalkan keberhasilannya."

"Tapi, saya masih bertanya-tanya, Suster.
Kalau orang bertindak jahat, pada detiknya itu tidak menyadari tindakan
jahatnya, berarti ia tidak bertanggungjawab atas tindakannya itu, dan
selanjutnya ia tidak bersalah, dan selanjutnya lagi ia tidak bisa dijatuhi
hukuman, dong?"

"Tik... saya pun sudah mempertimbangkan hal
itu. Tentu dalam sebuah pengadilan publik, saya yakin, gagasan tentang
ketidaksengajaan pada detik tindakan jahat tidak akan diakui. Sebab kalau itu
dipakai, di dunia ini tidak perlu ada penjara, karena tidak ada orang yang akan
dihukum. Pendekatan kita memang berbeda. Saya bukannya menentang adanya
pengadilan publik ataupun penjara, yang dihaluskan menjadi lembaga
pemasyarakatan. Saya hanya mau
menegaskan bahwa kalau orang tidak (mau) melakukan kejahatan, hendaknya
bukannya karena takut hukuman, melainkan karena sungguh menyadari bahwa
tindakan jahat memang berlawanan dengan martabat kita sebagai ciptaan Tuhan.
Singkatnya, sebagai ciptaan-Nya, kita tidak seharusnya melakukan tindakan yang berlawanan
dengan kehendak-Nya. Apabila kita tidak melakukan tindakan jahat hanya karena
takut hukuman, berarti kita belum merdeka. Kita masih dipenjara (diperbudak)
oleh ketakutan akan adanya hukuman yang akan menimpa kita. Dan juga, kita belum
menyadari bahwa kita dipanggil untuk menjadi kehadiran Tuhan di dunia ini. Tuhan itu baik, maka kita pun dipanggil menjadi
baik. Tuhan itu benar, kita pun
dipanggil untuk menjadi benar. Tuhan itu kudus, kita pun dipanggil untuk
menjadi kudus. Tuhan itu berbela rasa terhadap manusia, maka kita pun dipanggil
untuk berbela rasa terhadap sesama. Tuhan itu pengampun, kita pun dipanggil
untuk menjadi pengampun. Dan seterusnya. Singkatnya, kita dipanggil untuk
menyerupai Tuhan dalam segala sifatnya. Hanya saja... ya kembali lagi pada hal
yang selalu sama... hm, hm, hm... tidak mudah, dan membutuhkan perjuangan dan
pengurbanan. Tuhan memang senantiasa memanggil, namun meskipun misalnya kita
mampu mendengar panggilan itu, belum tentu juga serta-merta kita menjawabnya.
Dalam diri kita ada kehendak bebas yang membuka kemungkinan tanggapan kita pada
panggilan-Nya: bisa menolak, dan --yang diharapkan oleh Tuhan-- bisa mengikuti.
Kehendak bebas sendiri bersifat netral, bahkan itu merupakan anuerah dari Tuhan
yang khas hanya untuk manusia. Oleh sebab itu, berhadapan dengan panggilan Tuhan,
setiap manusia ditantang: apakah mau/bisa menggunakan kehendak bebasnya secara
tepat dan baik atau tidak?"

"Hmm.. tidak percuma saya memiliki
sahabat, seorang suster.." kata Watik sambil tersenyum bangga dan memandang
Maria. Ia sungguh senang mendengar penjelasan Maria.

"Hmm.. tidak percuma pula aku mempunyai
sahabat seorang... seperti kamu," balas Maria sambil tersenyum pula dan menggapai
bahu Watik dengan tangan kanannya.

"Tik, di awal tadi, kamu mengatakan
misteri relasi berhubungan dengan kasus
kita?" tanya Maria sesudah mereka terdiam sejenak dalam keceriaan.

"Iya! Saya punya masalah relasi dengan
Dewi, dan Suster sendiri mempunyai soal yang sama dengan teman suster di biara.
Nah, dengan menyadari adanya kualitas relasi yang berbeda-beda, lalu saya bisa
menerima bahwa kenyataan relasi saya dengan Dewi memang begitu. Memang, saya
berusaha untuk membangun agar relasi kami menjadi baik, tapi kenyataannya sulit
kan? Akhirnya.. tanpa saya kehilangan harapan bahwa situasi akan berubah, saya
harus menerima kenyataan bahwa saya memang tidak bisa membangun relasi dengan
Dewi sebaik saya membangun relasi dengan Suster. Hal itu tidak bisa saya
paksakan. Jika dipaksakan, tentulah stress
yang muncul. Frustrasi!"

Maria mengangguk. Dia pun membayangkan
relasinya dengan teman sebiaranya yang tidak kunjung membaik.

"Omong-omong,
saya sudah lapar, Tik," kata Maria sesudah mereka terdiam dalam pikirannya
sendiri-sendiri.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun