Mohon tunggu...
padmono anton
padmono anton Mohon Tunggu... -

saya adalah seorang petani desa di cianjur bagian selatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Apa Katamu?(4)

9 Januari 2011   00:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:48 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh ya! Secara umum, dalam kondisi
normal, kita memang tetap dituntut untuk jujur. Hanya saja... ada situasi-situasi
tertentu dengan berbagai pertimbangan yang matang-bukan sekedar sambil lalu--,
memaksa kita untuk tidak jujur. Patokan umum tetap jelas. Kejujuran adalah
sebuah nilai yang luhur dan harus diperjuangkan."

"Nah, nampaknya itulah salah satunya
mengapa saya memahami adanya sebuah misteri relasi, Suster. Terimakasih
Suster.. Suster semakin menguatkan pemahaman saya."

"Tapi, saya berpendapat: betul saya amat
setuju pada gagasanmu tentang perbedaan kualitas relasi pada setiap orang yang
berbeda. Akan tetapi, bukan berarti kita lalu membenci orang yang dengannya
kita bisa membangun relasi secara mendalam."

"Tentu, Suster. Saya pun sudah
mempertimbangkan itu. Justru dengan itu saya berusaha untuk menghargai orang
lain, bukan membencinya; meskipun hal ini bukanlah hal yang mudah. Contoh
konkret Suster, tentang relasi saya dengan Dewi. Suster kan tahu relasi saya
dengan Dewi amat buruk. Tapi saya tidak membencinya, melainkan saya berusaha
menyadari bahwa memang tidak bisa dipaksakan mutu relasi saya dengan Dewi sama
dengan mutu relasi saya dengan Suster misalnya. Memang... ya terus terang saja
Suster.. ya saya ini orang lemah, kadang-kadang muncul rasa jengkel juga."

"Tik.. kalau boleh saya usul, kualitas
relasi yang kamu beberkan tadi lebih baik tidak menggunakan kata "baik",
"sedang" dan "buruk". Sepertinya kata-kata bernuansa tidak enak. Bagaimana
kalau menggunakan istilah: "mendalam", "sedang" dan "dangkal", sehingga
kedengarannya netral. Saya membayangkan segala relasi yang terbangun dengan
orang lain itu baik. Hanya saja "baik"-nya berbeda-beda, ada yang mendalam, ada
yang sedang dan ada yang dangkal. Ya, memang sih... muatannya tetap sama. Ini
hanya usul."

"Betul, Suster. Itu bagus. Terimakasih.
Saya memang masih mencari-cari istilah yang tepat."

"Tapi.." Maria tak jadi berkata. Entahlah
ia mau berkata apa.

Sesudah agak lama hening, Watik berkata,
"Suster ada yang saya lupa berkaitan dengan pemahaman misteri relasi tadi.
Yaitu, mengenal secara cermat orang lain itu amat penting, sehingga kita bisa
menentukan mutu relasi macam apa yang bisa terbangun. Relasi baik macam apakah
yang bisa terbangun. Mengenal pribadi yang lain secara jauh, menurut saya, akan
sangat membantu bagaimanakah kita harus bersikap dan bertindak secara tepat di
depan orang itu."

"Oh ya! Itu memang modal dasar apa bila
kita mau membangun relasi yang baik. Hanya saja perlu diingat, jangan sampai
kita jatuh pada mengadili orang lain. Memang amat tipis bedanya antara menilai
dan mengadili orang lain. Menilai orang lain dan juga situasi bukanlah tindakan
yang salah, bahkan itu merupakan tuntutan logis bagi setiap manusia yang diberi
karunia akal budi dan kehendak bebas untuk mencermati segala sesuatu yang
didengar, dilihat dan dirasa. Hanya saja bila hal itu lalu dilanjutkan dengan
merendahkan atau menjelek-jelekkan orang yang dicermatinya tentunya itu sebuah
pengadilan, dan kita tidak ada hak untuk itu. Dan perlu kita ingat, patokan
atau ukuran percermatan/penilaian bukanlah perasaan suka atau tidak suka kita
atas pandangan, sikap dan perilaku seseorang, melainkan norma-norma, baik norma
sosial maupun norma iman. Amat berbahaya jika kita menilai orang hanya
berdasarkan perasaan kita sendiri. Oleh sebab itu untuk bisa menilai secara
memadahi, kita terlebih dahulu mesti sedikit-sedikit, syukur kalau bisa banyak, memahami norma-norma sosial dan iman
itu. Syukur-syukur lagi sudah berusaha (mampu) menghayatinya."

"Saya sungguh menyadari itu, Suster.... Ya,
kata Suster tadi benar, bila kita berusaha untuk mengenal pribadi lain secara fair memang bukan bertujuan untuk
merendahkan atau membencinya, melainkan agar kita bisa berlaku atau bersikap
secara tepat di depan pribadi itu, sehingga menghindarkan kemungkinan-kemungkinan
yang jelek. Lebih jauh lagi, agar kita bisa menghargai pribadi itu. Kalau kita
tidak mengenalnya, bagaimana kita bisa menghargainya? Betul kan? Apabila kita
tidak bisa menghargai, bagaimana kita bisa membangun relasi dengan mendalam?"

"Saya setuju, Tik! Memang kalau kita
tidak mengetahui latar belakang seorang pribadi tertentu, kita tidak tahu
dengan pasti, mutu relasi macam apa yang musti kita bangun. Hal ini amat terasa
jika kita baru saja berkenalan dengan seseorang. Bukankah waktu baru sekali
bertemu, kita masih meraba-raba, semacam apakah pribadi orang itu. Selanjutnya
kita pun masih gamang, relasi seperti apakah yang harus kita bangun. Betul itu
sungguh alamiah, dan berkembang melalui sebuah proses, yang bisa saja lambat,
pun pula bisa cepat."

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun