Hari sudah pagi. Matahari masih redup di antara awan, gedung, kabel dan pepohonan. Sampai pada bongkahan-bongkahan. Dinding yang roboh. Atap pecah bertindih di atas tanah. Kayu-kayu lapuk. Debu. Asap tipis mengepul di balik semak-semak.
Ditariknya selembar papan di bawah bongkahan beton. Ada suara memecah keheningan.
"Apa ada bukumu yang tercecer?"Â
Ia menggeleng. Diletakkannnya papan di tangannya. Lalu mendekati selembar tripleks. Melongok ke bawahnya. Rambutnya menyapu pecahan dinding.
"Bukan. Bukan di situ kamarmu dulu. Di situ kursi tamu. Semua bukumu sudah kuikat di dekat trotoar. Di samping kulkas. Di dekat kompor."
"Aku sedang mencari gambar seorang laki-laki".
"Laki-laki? Oh tidak," Laki-laki tua bersuara terkejut. "Bukan usiamu. Belum usiamu untuk bercinta."
"Keadaan sedang susah. Hujan bisa datang kapan saja. Sebaiknya kau bantu Ibumu mengikat barang-barang".
"Ia bukan kekasihku. Hanya gambar seorang lelaki kurus."
"Siapa dia?"
"Kata Bu Guru, ia pernah berbicara 54 kali dengan orang-orang, bila hendak meruntuhkan bedeng-bedeng."
"Oh."
"Yang benar 56 kali". Laki laki tua bersemangat.Â
Tapi di atas puing-puing itu bukan hanya mereka berdua.
"57 kali", ada suara orang dari kejauhan.
"61 kali", terdengar suara dari arah lain.
"71 kali", suara yang lebih kencang.
Tempat itu jadi agak riuh. Orang-orang seperti memperdebatkan sesuatu yang kurang mereka mengerti.
"Tetapi untuk apa gambar itu?" Tanya laki-laki tua.
"Aku mau namanya saja. Dan tanggal-tanggal. Bu Guru sudah berpesan."
"Tidak ada tanggal. Itu hanya foto. Tidak biasa di foto ada tanggalnya. Kecuali foto wisuda atau foto kenang-kenangan."
Diintipnya lagi sela-sela reruntuhan. Ia menarik sebuah benda tipis dari bawah selembar seng berkarat. Diusap-usapnya. Ditiupnya. Ditiupnya lagi. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Ada seonggok kain lusuh tak jauh dari tempatnya berdiri. Berjingkat-jingkat diantara paku-paku bekas ia mengambil kain lusuh itu.Â
Disapukan ke benda di tangannya. Ditiupnya lagi. Ditundukkan mukanya ke benda itu. Didekatkan. Hingga benda itu bersembunyi di antara helai-helai rambutnya.
"Kacanya sudah pecah. Gambarnya luntur. Ada cairan yang tumpah ketika dibuldozer."
Dibawanya benda itu mendekat ke laki-laki tua.Â
"Apakah ini orangnya?"
"Aku tidak tahu pasti. Itu sudah luntur."
Dilapnya sekali lagi. Dibawanya ke tempat yang lebih terang. Diambilnya sobekan kardus dan dikipas-kipaskannya. Dibawanya kembali ke laki-laki tua.
"Apakah ini orangnya? Bukankah ini kelihatan kurus."
"Bagaimana aku tahu ia kurus apa tidak. Gambarnya sudah kabur."
"Mungkin mata Ayah yang sudah kabur."
"Mungkin. Tapi aku ingat di bagian bawah ada tulisan."
Diangkatnya foto itu, dicermatinya, diusap-usapnya bagian bawah. Ada tulisan yang tertutup pasir. Ditiupnya lagi.
"Benar, ini ada tulisannya."
"Coba kau baca, Nak."
"J-O-K-O-W-I", dibacanya tulisan itu.
"Apa?"
"J-O-K-O-W-I", dibacanya lagi dengan suara yang lebih keras.
Ada gerimis yang mulai turun. Angin menjadi agak dingin. Ia mengambil selembar kantung kresek dari tanah yang sudah terkena titik-titik air. Dirapikannya kantung itu. Dimasukkan foto itu ke dalamnya.
"Kamu titipkan Bu Guru saja. Barang kita sudah banyak".Â
Gadis kecil melangkah hati-hati di antara pecahan beton. Menenteng sebuah kantung plastik hitam. Berjalan meninggalkan orang-orang, di atas puing-puing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H