Maka hari-hari selama setahun ini, kami sekeluarga hanya bisa menatap Fara yang makin menjauh dari dunia yang dicintainya. Yang memungkinkannya untuk bergerak lepas, terbang bebas, meliuk dan berderap ke arah mana pun yang ia mau. Ia dikhianati tubuhnya sendiri. Terpaksa hanya bisa memendam dalam-dalam semua keinginan itu.
Saat ia sudah benar-benar tak mampu menggerakkan sekujur tubuhnya kecuali bola mata, kerap ia bangun tidur dengan sinar penuh binar di sana. Meski tanpa kata, aku tahu ia baru saja bermimpi menari balet di gedung-gedung pertunjukan termegah di Australia, Eropa, atau Amerika. Dan kurasa itu sudah cukup baginya sebagai pengobat rindu.
“Bapak Presiden sedang menuju kemari, ingin bertemu Mama,” bisik Dania kemudian. “Dan ribuan orang ada di luar sana, menyalakan lilin dan menaruh karangan bunga untuk Fara—gadis cilik yang tak mampu bergerak namun semangat dan inspirasinya saat ini mampu menggerakkan satu bangsa...”
Aku mengangguk-angguk. Kali ini mataku basah. Ya, semua tak lepas dari teman-teman Dania yang mengisahkan Fara ke mana-mana. Terlebih karena, justru setelah tersungkur karena penyakitnya, Fara jadi penuh ide. Ia memberi banyak instruksi padaku untuk melakukan banyak hal buat masyarakat. Gerakan Balet untuk Semua itu tadi salah satunya.
Ia juga menyumbangkan tabungannya untuk mendirikan sekolah buat anak-anak jalanan, memintaku membagikan album musik klasik pada para terpidana koruptor agar mereka “mulai mengenali indahnya hati dan nggak cuman angka duit”, menulis surat pada Presiden tentang cita-citanya supaya tak ada lagi anak-anak yang tak sekolah (suratnya kubawa waktu aku diundang ke acara Kick Andy seminggu lalu), dan meminta pada semua orang agar jatuh cinta sehingga mabuk kepayang dan tak lagi mengumbar kebencian hanya karena beda agama atau beda ukuran mata.
Lalu tanda tagar “#AkuAdalahFara” menjadi trending topic bahkan hingga ke seluruh dunia dua pekan terakhir ini. Dan semua berpuncak ketika kemarin beberapa orang pebisnis besar datang menjenguk. Lalu mereka mengumumkan akan patungan membangun sebuah gedung pertunjukan besar di Tangerang untuk pergelaran musik klasik, balet, dan opera. Gedung pertunjukan itu akan diberi nama Gedung Fara Dewayani, untuk mengenang inspirasi yang telah diberikannya pada bangsa ini.
“Ayo, Ma...! Fara pasti ingin dijenguk Mama untuk yang terakhir kalinya.”
Aku mengangguk. Dania dan para kerabat memapahku menuju pembaringan Fara di ruang isolasi.
Sesaat kemudian, yang kulihat bukan dia yang diselubungi kain putih hingga kepala, melainkan en pointe yang sempurna tadi.
Sebab dia akan bertahan di sana selamanya. Selama yang dia mau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H