“En pointe! Yayy...!”
Tentu saja air mataku jatuh. Fara berdiri tegak dengan posisi sempurna, memeragakan pointe technique dengan sempurna, dan dengan binar mata penuh semangat yang sempurna pula.
Sebelah kaki lurus, bertumpu pada ujung jari di dalam pointe shoes. Kedua tangan terangkat ke atas, membentuk bayangan berbentuk mirip kuncup bunga. Dagunya sedikit terangkat ke atas, sebelum kemudian menoleh ke arahku dengan roman muka gembira.
“Gimana? Oke kan?” katanya. “Ini namanya bertahan di ujung pointe, Ma. Dan aku bisa kayak gini selama yang Mama mau. Dua jam? Tiga jam? Empat hari? Hahaha...!”
Aku tertawa, menyeka air yang terus menderas dari kedua sudut mata.
Ya, betul. Dia bisa bertahan dalam posisi itu sampai kapan saja semaunya. Dan dia bisa menari seindah dan semulus ini tadi hingga ia bosan sendiri. Setelah sekian lama, akhirnya tercapai juga keinginan gadis bungsuku yang masih berumur 10 tahun itu, yaitu ingin menari balet dengan penuh kebebasan. Bergerak ke mana pun, seperti apa pun, menuju semua arah yang ia inginkan.
Maka aku pun baru saja menjadi saksi sebuah penampilan yang amat menggetarkan. Jauh lebih indah daripada tarianku sekian puluh tahun lalu saat masih seusianya. Fara memang sangat berbakat, jauh melebihi siapapun di Riviera Classic Ballet School binaanku. Pirouette, glissade, arabesque, echappe, pas de bourre—semua yang pernah kuajarkan, dia lahap dengan sempurna.
Tanpa cacat.
Biasanya, murid hebat terlahir dari guru hebat. Khusus yang ini, tak perlu guru hebat pun, dia sudah hebat dengan sendirinya sejak awal. Dan itu bukan kata-kataku seorang. Semua yang pernah melihat penampilan Fara, dulu, berpendapat serupa.
Waktu itu bahkan beberapa tokoh terkemuka asosiasi pebalet Indonesia mengatakan bahwa Fara akan membawa masa depan baru bagi dunia balet di Indonesia. Bisa saja kelak di tangannya, balet akan menjadi salah satu tontonan seni terkemuka di sini, yang tak saja artistik dan berestetika tinggi, namun juga mampu menghidupi semua yang terlibat di dalamnya.
“Udah, cukup! Nggak perlu sampai dua jam atau empat hari. Setengah menit aja cukup.”
Fara tertawa. Ia menarik posisi pointe-nya, lalu berlari lincah ke arahku.
Sesaat kami saling bertatapan. Pandanganku sedikit agak kabur menatap paras ayunya, terhalang air mata. Aku sedikit membungkuk, agar bisa sejajar dengan mukanya. Mencoba menghidu aroma bedak bayi yang masih kerap kupupurkan kepadanya tiap hari.
“Mama jangan nangis...!” Fara memasang muka cemberut lucu, sambil meraba pipiku dengan tangan kanannya.
Aku menggeleng. Menyeka mata, yang justru makin basah.
“Mama nggak nangis karena sedih. Mama nangis justru karena bahagia. Kamu bahagia juga kan?”
Fara mengembangkan senyum, termanis yang pernah aku lihat seumur hidup. Gadis kecil itu mengangguk.
“Sangat, sangat bahagia. Dan biar lebih bahagia lagi, mungkin rencana yang dulu itu bisa segera diwujudkan.”
“Rencana yang mana, Sayang?”
“Gerakan Balet untuk Semua, yang kita obrolin awal-awal aku di sini. Anak-anak orang tak punya, anak jalanan, dan yatim piatu bisa ikut sekolah balet gratis di Riviera. Biar Riviera nggak dianggap hanya untuk anak-anak jet set.”
Aku tersenyum. “Yang itu sudah. Akun Twitter-nya langsung di-follow dua juta orang dalam sehari. Semua mendengar kisahmu, dan ingin bareng-bareng terlibat. Bahkan Bapak Presiden ikut me-retweet disertai komen balasan. Lalu dalam waktu dekat Mama akan dipanggil ke Istana menghadap beliau untuk mewujudkan itu. Dan Istana akan membantu semaksimal mungkin.”
Fara membelalak. “Really? Waah... Mama bisa selfie sama Presiden!”
Aku tertawa. “Semua berkat kamu, Sayang.”
Fara ikut tertawa. “Yah, seenggaknya nggak sia-sia kan aku ada di sini?”
Air mataku jatuh.
“Tentu saja tidak. Kamu seperti bidadari. Tak pernah sia-sia.”
Gadis kecilku mengangguk. “Good.So, mungkin Mama harus ke sana sekarang. Kita nggak mau ada perpisahan, bukan?”
“Tentu saja,” aku mengambil tisu untuk membersihkan mataku. “Tak ada perpisahan.”
“Lebih tepat kita saling bilang ‘Sampai ketemu lagi’...!”
Aku mengangguk. “Bener. Sampai ketemu lagi, Sayang...”
“Sampai ketemu lagi, Mama...” Fara melambaikan tangannya. “Dadah, Mama...! I love you. Always. Forever.”
Tanganku balas melambai. Balas mengucapkan kalimat serupa, namun tak ada suara yang keluar.
***
Begitu tiba di dekat ruang isolasi, semua merubung mendekat dengan wajah-wajah berlinang air mata. Lalu Dania mendekat dan menubrukku. Ia memeluk erat, lama sekali, tanpa kata.
Kubiarkan saja ia begitu. Kutunggu tangisnya pecah, namun sekian saat berlalu dalam sunyi.
“Mama sempet ketemu dia kan?” tanya gadis sulungku yang dua bulan lagi akan menikah itu. “Barusan aku dari kafe. Kebetulan melewati kamar sal Bougenville yang kosong. Aku lihat Mama di sana. Ingin masuk juga, tapi aku tahu sesuatu terjadi di sini. Jadi aku langsung kemari.”
Aku mengangguk. Kusangka air mata akan jatuh lagi, tapi tidak.
“Mama ke Juli si indigo ya?”
“Iya. Mama ketemu temenmu itu, minta dibukain mata batin. Dan doa Mama terkabul. Barusan Fara bisa mewujudkan keinginan terbesarnya setahun terakhir ini—menari balet di depan penonton, meski penontonnya cuma satu orang...”
Dania mempererat pelukannya. Ia berbisik ke telingaku,
“Kita nggak akan nangis kan, Ma? Sebab Fara pasti sedang bahagia-bahagianya sekarang ini...”
Aku mengangguk. “Tentu saja tidak. Kita nggak akan menangis.”
Detik ini, semua kenangan akan Fara Dewayani kembali melintas di benak sejelas gambar dari proyektor. Ia yang mulai tertarik balet sejak umur 7 tahun, lalu kulatih pelan-pelan dan menunjukkan bakat yang luar biasa besar. Terbesar dari semua yang pernah aku latih. Semua ia kuasai dengan cepat. Dan ia langsung siap menuju pementasan besar pertamanya dua tahun kemudian—repertoar balet The Swan Lake karya Tchaikovsky di hall utama Riviera Building.
Lalu mendadak penyakit kejam itu merenggut semuanya. Merampas hak orang-orang untuk menyaksikan penampilannya, dan melihatnya mengubah dunia tari balet Indonesia pada masa depan. Fara divonis terkena ALS (amyotrophic lateral sclerosis) alias Lou Gehrig’s Disease, yang juga menyerang Stephen Hawking. Bedanya, kami tak punya teknologi secanggih yang dimiliki Hawking. Dan Fara juga masih terlalu kecil untuk bertarung dengan penyakit sejahat itu.
Maka hari-hari selama setahun ini, kami sekeluarga hanya bisa menatap Fara yang makin menjauh dari dunia yang dicintainya. Yang memungkinkannya untuk bergerak lepas, terbang bebas, meliuk dan berderap ke arah mana pun yang ia mau. Ia dikhianati tubuhnya sendiri. Terpaksa hanya bisa memendam dalam-dalam semua keinginan itu.
Saat ia sudah benar-benar tak mampu menggerakkan sekujur tubuhnya kecuali bola mata, kerap ia bangun tidur dengan sinar penuh binar di sana. Meski tanpa kata, aku tahu ia baru saja bermimpi menari balet di gedung-gedung pertunjukan termegah di Australia, Eropa, atau Amerika. Dan kurasa itu sudah cukup baginya sebagai pengobat rindu.
“Bapak Presiden sedang menuju kemari, ingin bertemu Mama,” bisik Dania kemudian. “Dan ribuan orang ada di luar sana, menyalakan lilin dan menaruh karangan bunga untuk Fara—gadis cilik yang tak mampu bergerak namun semangat dan inspirasinya saat ini mampu menggerakkan satu bangsa...”
Aku mengangguk-angguk. Kali ini mataku basah. Ya, semua tak lepas dari teman-teman Dania yang mengisahkan Fara ke mana-mana. Terlebih karena, justru setelah tersungkur karena penyakitnya, Fara jadi penuh ide. Ia memberi banyak instruksi padaku untuk melakukan banyak hal buat masyarakat. Gerakan Balet untuk Semua itu tadi salah satunya.
Ia juga menyumbangkan tabungannya untuk mendirikan sekolah buat anak-anak jalanan, memintaku membagikan album musik klasik pada para terpidana koruptor agar mereka “mulai mengenali indahnya hati dan nggak cuman angka duit”, menulis surat pada Presiden tentang cita-citanya supaya tak ada lagi anak-anak yang tak sekolah (suratnya kubawa waktu aku diundang ke acara Kick Andy seminggu lalu), dan meminta pada semua orang agar jatuh cinta sehingga mabuk kepayang dan tak lagi mengumbar kebencian hanya karena beda agama atau beda ukuran mata.
Lalu tanda tagar “#AkuAdalahFara” menjadi trending topic bahkan hingga ke seluruh dunia dua pekan terakhir ini. Dan semua berpuncak ketika kemarin beberapa orang pebisnis besar datang menjenguk. Lalu mereka mengumumkan akan patungan membangun sebuah gedung pertunjukan besar di Tangerang untuk pergelaran musik klasik, balet, dan opera. Gedung pertunjukan itu akan diberi nama Gedung Fara Dewayani, untuk mengenang inspirasi yang telah diberikannya pada bangsa ini.
“Ayo, Ma...! Fara pasti ingin dijenguk Mama untuk yang terakhir kalinya.”
Aku mengangguk. Dania dan para kerabat memapahku menuju pembaringan Fara di ruang isolasi.
Sesaat kemudian, yang kulihat bukan dia yang diselubungi kain putih hingga kepala, melainkan en pointe yang sempurna tadi.
Sebab dia akan bertahan di sana selamanya. Selama yang dia mau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H