Begitu tiba di dekat ruang isolasi, semua merubung mendekat dengan wajah-wajah berlinang air mata. Lalu Dania mendekat dan menubrukku. Ia memeluk erat, lama sekali, tanpa kata.
Kubiarkan saja ia begitu. Kutunggu tangisnya pecah, namun sekian saat berlalu dalam sunyi.
“Mama sempet ketemu dia kan?” tanya gadis sulungku yang dua bulan lagi akan menikah itu. “Barusan aku dari kafe. Kebetulan melewati kamar sal Bougenville yang kosong. Aku lihat Mama di sana. Ingin masuk juga, tapi aku tahu sesuatu terjadi di sini. Jadi aku langsung kemari.”
Aku mengangguk. Kusangka air mata akan jatuh lagi, tapi tidak.
“Mama ke Juli si indigo ya?”
“Iya. Mama ketemu temenmu itu, minta dibukain mata batin. Dan doa Mama terkabul. Barusan Fara bisa mewujudkan keinginan terbesarnya setahun terakhir ini—menari balet di depan penonton, meski penontonnya cuma satu orang...”
Dania mempererat pelukannya. Ia berbisik ke telingaku,
“Kita nggak akan nangis kan, Ma? Sebab Fara pasti sedang bahagia-bahagianya sekarang ini...”
Aku mengangguk. “Tentu saja tidak. Kita nggak akan menangis.”
Detik ini, semua kenangan akan Fara Dewayani kembali melintas di benak sejelas gambar dari proyektor. Ia yang mulai tertarik balet sejak umur 7 tahun, lalu kulatih pelan-pelan dan menunjukkan bakat yang luar biasa besar. Terbesar dari semua yang pernah aku latih. Semua ia kuasai dengan cepat. Dan ia langsung siap menuju pementasan besar pertamanya dua tahun kemudian—repertoar balet The Swan Lake karya Tchaikovsky di hall utama Riviera Building.
Lalu mendadak penyakit kejam itu merenggut semuanya. Merampas hak orang-orang untuk menyaksikan penampilannya, dan melihatnya mengubah dunia tari balet Indonesia pada masa depan. Fara divonis terkena ALS (amyotrophic lateral sclerosis) alias Lou Gehrig’s Disease, yang juga menyerang Stephen Hawking. Bedanya, kami tak punya teknologi secanggih yang dimiliki Hawking. Dan Fara juga masih terlalu kecil untuk bertarung dengan penyakit sejahat itu.