Fara tertawa. Ia menarik posisi pointe-nya, lalu berlari lincah ke arahku.
Sesaat kami saling bertatapan. Pandanganku sedikit agak kabur menatap paras ayunya, terhalang air mata. Aku sedikit membungkuk, agar bisa sejajar dengan mukanya. Mencoba menghidu aroma bedak bayi yang masih kerap kupupurkan kepadanya tiap hari.
“Mama jangan nangis...!” Fara memasang muka cemberut lucu, sambil meraba pipiku dengan tangan kanannya.
Aku menggeleng. Menyeka mata, yang justru makin basah.
“Mama nggak nangis karena sedih. Mama nangis justru karena bahagia. Kamu bahagia juga kan?”
Fara mengembangkan senyum, termanis yang pernah aku lihat seumur hidup. Gadis kecil itu mengangguk.
“Sangat, sangat bahagia. Dan biar lebih bahagia lagi, mungkin rencana yang dulu itu bisa segera diwujudkan.”
“Rencana yang mana, Sayang?”
“Gerakan Balet untuk Semua, yang kita obrolin awal-awal aku di sini. Anak-anak orang tak punya, anak jalanan, dan yatim piatu bisa ikut sekolah balet gratis di Riviera. Biar Riviera nggak dianggap hanya untuk anak-anak jet set.”
Aku tersenyum. “Yang itu sudah. Akun Twitter-nya langsung di-follow dua juta orang dalam sehari. Semua mendengar kisahmu, dan ingin bareng-bareng terlibat. Bahkan Bapak Presiden ikut me-retweet disertai komen balasan. Lalu dalam waktu dekat Mama akan dipanggil ke Istana menghadap beliau untuk mewujudkan itu. Dan Istana akan membantu semaksimal mungkin.”
Fara membelalak. “Really? Waah... Mama bisa selfie sama Presiden!”