Astaga, Luna! Apakah dia baik-baik saja?
Satu nama itu membuatku nyaris kalap. Secepat kilat aku keluar lalu menjebol pintu ruang utama kafe. Bunyi gaduh membuat semua menoleh kaget, termasuk para teroris. Keterkejutan yang hanya beberapa milidetik sudah cukup bagiku untuk melakukan sesuatu.
Aku melesat sebat menuju orang pertama dan kedua. Adrenalin tumpah membantu fokus dan akurasi gerakanku. Saat mereka baru akan berteriak mengancam dan saling mengingatkan, dengkulku sudah bersarang telak di dada pria itu, meretakkan empat batang tulang rusuknya. Laras senapan Kalashnikov yang hendak diarahkan ke kepalaku, kupuntir dengan telunjuk dan jari tengah, menuju ke kawannya.
Dan sudut tangan yang juga ikut terpuntir, membuat telunjuknya terjepit dan tak sengaja menekan pelatuk senapan, persis seperti yang kurencanakan. Terdengar letusan menggelegar dan jeritan para perempuan. Timah panas melesat menghunjam mata kaki pelaku kedua, membuat orang itu tumbang.
Lalu aku berputar di udara. Satu putaran sudah cukup melayangkan tendanganku menghajar dua kepala sekaligus. Di akhir putaran, tepat saat aku mendarat kembali di lantai kafe, aku melepas senjata-senjata bidik berukuran kecil dari pinggang. Empat bilah melesat ke arah pria yang tengah berjaga di pintu, melesak ke urat-urat tertentu di lengan dan tungkainya. Tak akan membunuhnya. Cukup untuk membuatnya lumpuh hingga pisau-pisau itu dilepas di meja operasi (ya, pisau-pisau itu didesain Janitra sedemikian rupa hingga tak bisa begitu saja dicabut kecuali dengan pembedahan).
Ia melengking seperti perempuan. Jatuh berdebum keras dengan kepala tiba terlebih dulu.
Sekarang tinggal pria terakhir. Dan persis seperti dugaan terburukku, saat aku hendak mengurusnya, tangan kirinya persis terulur ke arah Luna—hendak membuat gadisku itu sebagai tameng hidup!
Nyaris refleks, tinju kananku menghentak ke depan, mengirim pukulan jarak jauh untuk meledakkan udara guna membuat jarak antara Luna dan pria itu. Terdengar bunyi “Brepb!” keras, kafe sedikit bergetar seperti ada gempa, lalu Luna terdorong jatuh ke belakang.
Tanganku satunya lagi mencabut tongkat. Dengan itu, aku bergeser maju dan menggebuk lima kali. Sabetan pertama mematahkan laras senapan teroris itu. Patah sempurna, mirip pisau membelah keju. Yang kedua dan ketiga meretakkan tulang lengannya. Yang keempat dan kelima membuat sendi dengkulnya copot dan bergeser.
Dan saat pria itu melolong dengan tubuh merosot turun seperti sayuran, aku meluncur tepat untuk mencegah Luna ambruk tanpa kendali ke lantai. Tangan kananku berhasil menahan punggungnya—30 senti dari benturan dengan ubin kafe. Dan posisi kami sedemikian rupa sehingga kemudian wajah kami tepat berhadapan. Mataku tepat ke matanya. Aku bahkan bisa merasakan dengusan napas kaget dan takutnya membelai mukaku yang berlapis topeng.
Sesaat waktu seperti mati. Mata saling padang dalam jarak dekat sambil setengah berpelukan—mirip adegan sinetron!