Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Namaku Elang

7 April 2016   12:17 Diperbarui: 7 April 2016   22:44 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Foto: monkeymotoblog)"][/caption]Dia tetap cantik menawan seperti biasanya. Mataku nyaris tak lepas darinya sepanjang sore ini di Coffee Drip. Luna yang menawan, Luna yang seksi, Luna yang setiap bagian dari dirinya selalu merasuk hingga ke mimpi.

“Mau pesan dulu?” tanya dia.

“Boleh,” aku mengangguk sambil mengalihkan mata darinya.

Sebab jika tidak, dia akan menangkap basah aku sedang menatapnya lekat. Melihat rambut halusnya yang sedikit kemerahan, wajahnya yang berkulit bersih seperti bintang film, dan lengan jenjangnya yang hadir sempurna karena sore ini dia memakai atasan yang nyaris tak berlengan.

Waiter dipanggil, dan kami segera saja asyik merenungi buku menu.

Perutku menginginkan chicken cordone atau salmon steak, namun otakku tak bisa teralih dari Luna.

Apa pun, aku harus menikmati momen ini detik demi detik. Bagi seorang outsider di kampus sepertiku, bisa ketemuan berdua saja dengan mahasiswi sepopuler Luna adalah suatu anugerah besar. Dan meski urusannya sekadar permintaan tolong untuk menjadi webmaster laman resminya, kuanggap ini tetap sebagai sebuah kencan.

Sebab kapan lagi hal seperti ini akan terulang? Kami cukup sering ketemu di kampus. Namun agak berat membayangkan dia akan membuka hidupnya untuk cowok sepertiku—yang kalau di film-film remaja Hollywood pasti dicitrakan sebagai para nerd atau computer geek berkacamata tebal. Padahal aku tak berkacamata.

“Mau langsung ngobolin website atau makan dulu?” tanya Luna kemudian.

“Makan dulu aja.”

“Oke.”

Luna menyahut singkat, lalu sibuk dengan ponselnya.

Aku mengalihkan mata ke arah lain,  tepat ketika seorang waitress cantik melangkah kemari sambil membawakan minuman pesananku dan Luna.

Dan aku sempat heran karena gelas yang diletakkan di meja menimbulkan bunyi seperti ledakan keras.

Lalu ada jeritan-jeritan, suara ledakan lain, juga gelas pecah, dan hampir semua pengunjung kedai bangkit berdiri penuh rasa ingin tahu.

Aku ikut berdiri, menoleh ke arah yang ditatap semua orang. Dan baru sepersekian detik sesudahnya aku menyadari bahwa ada hal lain yang terjadi di luar sana.

Dari jendela lebar kafe terlihat situasi tak seperti biasanya. Orang-orang di trotoar jalan berlarian sambil memekik dan menjerit. Dan ada suara ledakan lagi. Bukan ledakan tepatnya, melainkan letusan—beberapa kali saling susul.

Kemudian terlihat olehku sosok beberapa pria berbusana serba hitam dan bertopeng menembakkan senjata api ke banyak arah. Atas, samping, depan—seperti asal menembak.

Napasku tertahan di dada seiring para pengunjung kafe yang mulai kacau dan berteriak-teriak ketakutan.

Teroris?

Aku mulai menghitung. Ada lima orang, setidaknya yang bisa terlihat dari sini. Dua di antaranya memisahkan diri. Kutatap sesaat pintu depan kafe, tempat beberapa pria hendak berlari keluar. Otakku bekerja cepat. Dua laki-laki bersenjata api laras panjang itu bisa saja menuju kemari.

Akankah terjadi tindak penyanderaan?

Lalu kuamati Luna. Ia pun mulai panik, mirip yang lainnya. Jelas ia sedang tak ingat bahwa ada aku bersamanya. Cepat, tanpa suara, aku ambil tas punggungku, lalu melesat ke arah toilet. Persis seperti kata-kata Janitra dulu, selalu bawa baju seragam dan perlengkapan di mana pun berada. Meski kemungkinannya sangat kecil, tetap akan selalu ada kejadian di mana sedikit aksi diperlukan.

Seperti saat ini.

Aku berganti baju dan memakai perlengkapan tepat ketika dari ruang depan kafe terdengar teriakan-teriakan ancaman bernada gahar yang ditingkah jeritan lain lagi.

Dugaanku betul. Ada penyanderaan!

***

sesaat tertatap olehku bayanganku di cermin toilet. Sekilas penampilanku mirip ninja. Seragam tempur ketat dan kedok berwarna serba gelap. Bedanya, punyaku bukan biru gelap (ninja berseragam biru gelap, bukan hitam pekat seperti di film-film Hollywood!), melainkan merah tua. Di jidat topengku, terpasang sulaman lambang matahari emas. Di punggung tersandang senjata utamaku, berupa sebatang tongkat pendek berujung runcing. Dan di sekitar pergelangan di sarung tangan serta ikat pinggang adalah aneka macam senjata bidik berukuran kecil yang kadang aku sendiri susah mengingatnya.

Detik-detik seperti ini, aku selalu teringat semua rangkaian pelatihanku selama satu dekade di Pulau Tak Bernama, oleh Janitra. Dia menculikku saat aku masih berumur lima tahun, melatihku spartan dalam bidang ilmu apa saja—termasuk bela diri dan penggunaan senjata—untuk sesatu yang ia sebut Jalan Akhir pada masa depan. Entah apa pula itu. Dan demi menuju hari penentuan itu, aku harus melatih semua kemampuanku dalam mengabisi siapa saja yang menjadi musuh bagiku.

Bukan, bukan semacam “menegakkan keadilan dan kebenaran” seperti jargon komik atau cerita silat picisan. Tapi siapapun. Bisa orang jahat. Bisa pula orang baik-baik. Asal tengah berlawanan posisi denganku. Barangkali, kalau yang kuhadapi adalah geng teroris seperti sekarang ini, bolehlah motto agung itu pas diterapkan padaku.

Lalu kuletakkan telapak tangan di lantai toilet. Kata Janitra, kekuatan ini dinamai Nurus Bumi—menembus ke dalam tanah—sehingga sanggup “melihat” dunia sekitar dalam radius 30 meter lewat vibrasi energi yang diterima Bumi. Dan setelah 10 tahun melatihnya, plus aksi-aksiku di luaran sepanjang dua tahun ini, aku sudah menguasainya dengan brilian.

Cepat sekali aku melihat dengan pikiranku apa yang terjadi di ruangan utama kafe. Para teroris berjumlah empat orang, semua bersenjata laras panjang. Mereka menyandera semua yang ada di kafe—pasti hendak menuntut uang tebusan atau tuntutan lain pada aparat berwenang, dengan keselamatan para sandera sebagai taruhannya.

Dua berada di sekitar meja barista. Satu di tengah. Satu lagi menjaga pintu. Dan orang kedua tepat berada di dekat mejaku bersama Luna tadi.

Astaga, Luna! Apakah dia baik-baik saja?

Satu nama itu membuatku nyaris kalap. Secepat kilat aku keluar lalu menjebol pintu ruang utama kafe. Bunyi gaduh membuat semua menoleh kaget, termasuk para teroris. Keterkejutan yang hanya beberapa milidetik sudah cukup bagiku untuk melakukan sesuatu.

Aku melesat sebat menuju orang pertama dan kedua. Adrenalin tumpah membantu fokus dan akurasi gerakanku. Saat mereka baru akan berteriak mengancam dan saling mengingatkan, dengkulku sudah bersarang telak di dada pria itu, meretakkan empat batang tulang rusuknya. Laras senapan Kalashnikov yang hendak diarahkan ke kepalaku, kupuntir dengan telunjuk dan jari tengah, menuju ke kawannya.

Dan sudut tangan yang juga ikut terpuntir, membuat telunjuknya terjepit dan tak sengaja menekan pelatuk senapan, persis seperti yang kurencanakan. Terdengar letusan menggelegar dan jeritan para perempuan. Timah panas melesat menghunjam mata kaki pelaku kedua, membuat orang itu tumbang.

Lalu aku berputar di udara. Satu putaran sudah cukup melayangkan tendanganku menghajar dua kepala sekaligus. Di akhir putaran, tepat saat aku mendarat kembali di lantai kafe, aku melepas senjata-senjata bidik berukuran kecil dari pinggang. Empat bilah melesat ke arah pria yang tengah berjaga di pintu, melesak ke urat-urat tertentu di lengan dan tungkainya. Tak akan membunuhnya. Cukup untuk membuatnya lumpuh hingga pisau-pisau itu dilepas di meja operasi (ya, pisau-pisau itu didesain Janitra sedemikian rupa hingga tak bisa begitu saja dicabut kecuali dengan pembedahan).

Ia melengking seperti perempuan. Jatuh berdebum keras dengan kepala tiba terlebih dulu.

Sekarang tinggal pria terakhir. Dan persis seperti dugaan terburukku, saat aku hendak mengurusnya, tangan kirinya persis terulur ke arah Luna—hendak membuat gadisku itu sebagai tameng hidup!

Nyaris refleks, tinju kananku menghentak ke depan, mengirim pukulan jarak jauh untuk meledakkan udara guna membuat jarak antara Luna dan pria itu. Terdengar bunyi “Brepb!” keras, kafe sedikit bergetar seperti ada gempa, lalu Luna terdorong jatuh ke belakang.

Tanganku satunya lagi mencabut tongkat. Dengan itu, aku bergeser maju dan menggebuk lima kali. Sabetan pertama mematahkan laras senapan teroris itu. Patah sempurna, mirip pisau membelah keju. Yang kedua dan ketiga meretakkan tulang lengannya. Yang keempat dan kelima membuat sendi dengkulnya copot dan bergeser.

Dan saat pria itu melolong dengan tubuh merosot turun seperti sayuran, aku meluncur tepat untuk mencegah Luna ambruk tanpa kendali ke lantai. Tangan kananku berhasil menahan punggungnya—30 senti dari benturan dengan ubin kafe. Dan posisi kami sedemikian rupa sehingga kemudian wajah kami tepat berhadapan. Mataku tepat ke matanya. Aku bahkan bisa merasakan dengusan napas kaget dan takutnya membelai mukaku yang berlapis topeng.

Sesaat waktu seperti mati. Mata saling padang dalam jarak dekat sambil setengah berpelukan—mirip adegan sinetron!

Aku baru terbangun oleh sebuah suara teriakan keras.

“Di luar masih ada empat lagi!”

Kudorong halus Luna agar berdiri tegak lagi, sebelum aku melesat ke depan menjebol pintu.

 ***

Aku pura-pura terhuyung saat dibimbing petugas polisi berseragam kaos “TURN BACK CRIME” itu. Dan Luna menyambutku dengan lega.

“Ya ampun, Fandy! Kamu baik-baik saja? Kamu tadi ngilang ke mana?”

“Saudara Fandy kami temukan di gudang belakang,” petugas reserse berkumis tipis itu menjelaskan. “Agaknya para pelaku memukulnya sampai pingsan lalu mengurungnya di sana. Istirahat dulu di sini ya. Anda berdua nanti boleh pulang sesudah memberikan keterangan pada petugas.”

Luna mengangguk. “Ya, Pak. Baik. Terima kasih.”

Reserse itu meninggalkan kami, ikut sibuk dengan rekan-rekannya melakukan olah TKP dan menanyai para mantan sandera. Dan aku meneruskan aktingku dengan duduk kepayahan sambil memegangi jidatku.

“A-ada apa? Apa yang terjadi barusan?” tanyaku pelan.

“Kita baru saja disandera. Ada serangan teroris kayak di Thamrin dulu itu!” sahut Luna cepat, lalu menatap ke arah lain. “Tuh breaking news-nya!”

Aku mengikuti arah mata Luna. Tampak Daniar Achri tengah menyampaikan laporan breaking news di Kompas TV dengan wajah tegang.

“...Ini bukan penampakan aksi pertama dari sosok misterius berbaju serba merah itu. Sebelumnya, sosok ini tertangkap kamera video amatir pada peristiwa kebakaran permukiman warga di Marunda dan saat menghalau aksi ormas anarkis yang berusaha menghentikan acara diskusi buku di kampus ITB Bandung. Berikut kembali kami tayangkan rekaman video amatir yang menangkap aksinya saat menggagalkan aksi teror di kafe Coffee Drip beberapa waktu yang lalu...”

Layar berganti menayangkan gambar buram nyaris tak jelas hasil rekaman dengan kamera ponsel. Di sana, lewat ambilan long shot yang di-zoom in, tampak sesosok pria berbaju dan berkedok merah tua tengah menghajar beberapa pria berbaju serba hitam di depan pintu sebuah bangunan, yang tak lain adalah kafe ini.

Aku pura-pura melongo. “Masya Allah! Siapa itu?”

Superhero. Superhero dunia nyata. Tadi dia ada di sini, menyelamatkanku! Dan kami sempat sebentar saling lihat. Tahu tidak? Kayaknya dia menyukaiku...!”

Aku meneguk ludah. Mata Luna masih menatap layar televisi, sambil mengulas senyum yang seperti tak mau usai.

“...Hingga saat berita ini kami turunkan, kami masih mencoba meminta keterangan kepada pihak kepolisian, mengenai siapa jati diri pria misterius yang telah menggagalkan aksi teror tersebut.”

Aku menatap lekat wajah Daniar Achri di televisi. Kalau mau tahu, namaku Elang. Yah, setidaknya, itu nama baru yang diberikan Janitra dulu di Pulau Tak Bernama. Tapi tentu saja itu tak mungkin. Tak akan terjadi. Sekali identitasku terbongkar, Janitra sendiri yang akan turun tangan menjatuhkan hukuman mati padaku.

Lalu kurenungi wajah ayu Luna, yang masih juga terpancang di layar—mengharap rekaman video itu diputar kembali. Napas terhela dalam-dalam.

Tatapan mata memang tak pernah berbohong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun