[caption caption="(Foto: 123rf)"][/caption]
“Selamat datang. Silakan duduk!”
Mataku mengerjap. Cahaya itu muncul mendadak. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan penglihatanku dengan sekitar. Aku menoleh sekeliling. Ini semacam kamar. Gelap sekali, dan entah di mana. Sumber cahaya hanya satu, bola lampu dengan cahaya berwarna kekuningan yang digantung rendah sekitar lima langkah di depanku.
Dan di sana, seorang pria muda duduk menunggu sambil menyilangkan kaki. Nampak sebuah kursi kosong di depannya. Tangannya terulur melambai ke kursi itu.
“Silakan! Santai aja.”
Aku menapak maju ragu-ragu. Duduk dengan ragu juga. Baru setelah dekat, aku menyadari rupa dan perawakan pria itu tak biasa. Dia jangkung, berkulit putih, berambut pirang, dan bermata hijau. Umurnya sebaya denganku, sekitar awal 20-an. Wajahnya berbentuk persegi dengan sepasang rahang yang menonjol tepat di bawah telinga. Semua membuatnya terkesan galak dan kejam, namun sorot matanya ramah.
“Kenalkan, namaku Johan. Johan Pieters,” ia mengajakku berjabat tangan, logatnya terdengar aneh karena jelas memang bukan penutur asli Bahasa Indonesia. “Aku dari Volendam, Belanda.”
Aku tersenyum, agak grogi. Pelan tapi pasti mulai menunjukkan gejala alamiah sebagai gadis muda terhadap pria bule tampan.
“Oh, iya. Aku Nina. Nina Martin.”
“Ya, aku tahu. Aku juga tahu empat tahun lalu kamu menulis buku berjudul Katy Perry: The Firework.
Aku ternganga.
“Dari mana kamu tahu itu?”
“Aku pernah membacanya. Lalu aku tertarik untuk mengajakmu bekerja sama. Berduet.”
“Duet? Bikin apa?”
Pria itu mendeham pelan. “Aku cerita saja kalau begitu, agar jelas duduk permasalahannya. Jadi sekian tahun yang lalu, aku pernah menikah dan punya anak. Nama istriku Marni. Dia gadis pribumi sepertimu. Manis sekali. Mengubah hidup sejak kali pertama melihatnya. Kami menikah, dan punya satu anak laki-laki. Kuberi nama dia Bima, menurut tokoh kedua Pandawa di kisah Mahabarata. Lalu, pada suatu malam, mereka datang, banyak sekali. Aku dihajar sampai tak berdaya. Marni dan Bima dibunuh tepat di depan mataku. Leher Bima bahkan digorok sampai putus, dan kepalanya dilempar ke arahku. Saat itu Bima masih belum genap berumur lima. Bukan tahun, tapi bulan...”
Aku terenyak. Tangan menutupi mulut yang ternganga.
“Ya, Allah...!”
“Sejak itu aku membalas dendam pada Konterman. Aku lakukan hal yang sama pada anak keturunannya. Mati dengan kepala terpisah dari badan...!”
Napasku sesak. Saat mengucapkan kalimat yang terakhir, Johan seperti bukan lagi cowok kulit putih tampan yang layak ditaksir. Lebih mirip singa. Atau setan.
Tapi detik berikutnya, setelah menarik napas panjang, ia kembali menatap hangat padaku.
“S-siapa itu Konterman?” membuatku berani bertanya padanya.
“Mantan atasanku di ketentaraan. Sesudah aku desersi dari militer untuk menikahi Marni dan membantu penduduk pribumi bercocoktanam dan mengajari mereka baca tulis, dia memburuku. Tak hanya mengincarku, dia juga menyuruh bunuh istri dan anakku, lalu memenjarakanku di tangsi di Batavia dan menyiksaku tiap hari selama lima bulan lebih. Erwin Konterman nama lengkapnya. Pangkatnya letnan. Sudah bukan manusia lagi menurutku. Lebih mirip iblis yang menitis ke jasad manusia.”
Dahiku spontan berkerut. “Pasukan? Tangsi? Batavia? Itu pasukan apaan kok masih pakai nama Batavia?”
“Tentara kolonial Hindia Belanda tentu saja. KNIL. Oh, ya, hampir lupa memberitahumu, aku mati tahun 1909 saat umurku jalan 21—kelaparan dan penuh luka membusuk karena penyiksaan di penjara bawah tanah. Ini 2016, jadi sudah 107 tahun aku mati. Ya, aku memang sudah menjadi arwah penasaran. Itu cara kalian manusia menyebut bangsa kami, bukan?”
Seluruh darahku seperti disedot keluar dari badan. Dingin menyergap ujung kepala hingga ujung kaki.
“Ap-apa...?”
“Dan dalam bentuk inilah aku mengajakmu bekerja sama.”
“Memangnya kerja sama untuk apa?”
“Melanjutkan misiku membalas dendam pada semua keturunan Konterman. Kamu jadi Handel-ku. Handel yang sebelumnya mati dibunuh polisi dua hari lalu. Aku perlu Handel baru, dan kamu sosok yang tepat untuk itu.”
“Handel? Apa itu?”
“Itu istilah ilmiah bangsa kami untuk menyebut sosok jasad manusia yang menjadi wadah bagi kami melakukan aksi-aksi di alam dunia. Kesurupan, tahu kan?”
Aku meneguk ludah. Kepalaku terangguk sendiri tanpa bisa kukendalikan.
“Nah, kamu jadi wadah untukku. Lalu aku pinjam tangan, kaki, mata, telinga, tenaga, dan kecerdasanmu untuk melakukan misiku.”
“Maksudmu, untuk balas dendam?” aku menyahut bloon.
Johan mengangguk. “Ya. Menghabisi satu demi satu nyawa semua kerabat dan keturunan Konterman. Dulu istrinya, lalu keenam anaknya. Satu anak kusisakan hidup agar masih bisa berketurunan. Lalu kubantai lagi satu-satu, dan kusisakan satu orang. Begitu seterusnya. Hanya satu saja di tiap generasi, semata agar bisa punya anak sehingga aku terus bisa menuntaskan dendamku. Sekarang yang hidup adalah keturunannya yang keenam dan ketujuh. Kebetulan semua masih ada di Indonesia, jadi tak akan terlalu sulit menemukan mereka satu demi satu.”
[caption caption="Katy Perry: The Firework"]
Perutku mendadak mual. “Demi Tuhan! Sampai kapan kamu akan terus melakukan itu?”
“Entah sampai kapan. Selama mungkin. Bisa saja sampai dunia ini kiamat.”
Aku menggeleng kuat-kuat. “Tidak! Aku tak mau. Itu terlalu keji. Apa bedanya kamu dengan dia kalau caramu begitu!?”
“Kamu tidak bisa menolak, Nina. Aku bisa saja dengan mudah masuk ke tubuhmu lalu membimbingmu naik tebing setinggi 100 atau 200 meter lalu terjun bebas. Selesai. Kamu mati muda di umur 22. Koran-koran akan memuat berita kematianmu sebagai aksi bunuh diri. Kamu mati. Aku tetap baik-baik saja, hanya perlu mencari Handel baru. Tentunya mati muda tidak temasuk dalam rencana kehidupanmu yang sekarang ini kan? Tak terlalu merepotkan juga kok.
Dari sisi lain, malah sebaliknya. Saat bersamaku, kau akan punya kekuatan, kecepatan, energi, dan refleks jauh di atas rata-rata manusia normal. Kalau kau mau, kau bisa memakai kostum dan topeng lalu membantai penjahat dengan nama alias sekeren Raven, Black Angel, atau Lone Eagle. Marvel Avengers pasti akan tertarik merekrutmu sebagai anggota. Oh, ya, aku juga tahu Marvel atau DC Comics atau The Big Bang Theory. Jangan kira karena aku makhluk kuno, aku lantas tak mengikuti perkembangan serial-serial TV!”
Spontan aku menarik badan menjauhinya. Kini pria tampan di depanku sudah benar-benar menjadi mirip setan. Badanku menggigil.
“Jangan aku...!” desisku, menggeleng lagi. “Tolong, cari yang lain! Aku sedang bahagia. Hidupku baik sekali. Aku sedang akan mendalami agama. Tolong! Kau pasti masih punya nurani. Tolonglah...!”
Seperti sengaja meledek, dia menirukan gelenganku sama persis.
“Tapi kenapa? Kenapa aku?”
“Aku melihat kegelapan di dalam dirimu. Itu sempurna untuk bangsaku.”
Dahiku berkernyit. “Kegelapan? Kegelapan apa?”
“Kegelapan saat kau berharap kedua orangtuamu mati. Kau pernah punya harapan seperti itu kan?”
Aku terdiam. Tak mampu menyahut. Ingatanku melayang kepada kejadian itu.
“Kau berharap kedua orangtuamu mati saat mereka tak menyetujui hubunganmu dengan Rico, sehingga kau mau diajak lari dari rumah dan berkelana dari satu hotel ke hotel lain selama empat bulan. Tak ada yang lebih gelap ketimbang berharap kedua orangtua mati, demi alasan apa pun—apalagi yang seremehtemeh seorang Rico.”
Napasku terhela saling susul. Sesuatu yang besar seperti hendak menjebol dinding rongga dadaku, lalu tumpah dalam bentuk air mata.
“Jangan ingatkan aku pada hal itu! Aku sedang ingin menata semuanya, berbaikan lagi dengan mereka, setelah semua yang terjadi...”
“Harapan kematianmu kemudian berganti arah setelah tahu dirimu hamil dan Rico seperti lenyap ditelan Bumi. Lalu kau nyaris mati saat mengaborsi janinmu. Aku bisa mencarikan keberadaan dia untukmu, kalau kau tertarik menerjuni bisnis pembalasan dendam!”
Aku kembali menggeleng, namun kali ini dengan wajah jatuh tertunduk lemah.
“Tidak! Jangan. Aku tidak mau! Semua sudah cukup buruk. Aku tidak mau membuatnya tambah rumit.”
“Sayang kau tidak dalam posisi untuk memilih ya atau tidak. Lagipula bukankah ini bagus buat karier menulismu? Aku memberimu banyak bahan bagus untuk kautulis jadi novel horor thriller. Tak sampai tiga novel, kau sudah akan setenar Rowling atau Meyer. Dan materimu asli, kejadian nyata, bukan khayalan siang hari bolong seperti milik mereka. Sebagai prolog, sudah kuberikan kisah pembuka yang manis untukmu.”
Aku mengangkat kembali wajahku, menatapnya nyalang. Jantungku berdetak keras oleh geliat firasat yang terasa pahit dan pekat.
“Apa maksudmu?”
“Soal kedua orangtuamu. Aku baru saja membimbingmu melakukan kegelapan pertamamu, yang dulu masih berupa harapan. Selamat! Kini harapanmu jadi nyata, oleh tanganmu sendiri. Nah, sekarang kau akan sadar, kembali menjadi dirimu sendiri. Kau akan terguncang sebentar. Tapi tak apa. Sesudah kau siap, aku akan kembali memasukimu untuk mulai berburu cucu buyut Konterman. Jangan khawatir! Kalau kemudian kau divonis pengadilan dan dipenjara, aku akan mencari cara agar kau bisa membebaskan diri. Itu bukan pengalaman pertama bagiku sepanjang satu abad ini. Dan semuanya selalu sukses tak terdeteksi. Oh, ya, by the way, bukumu tentang Katy Perry jelek sekali. Kau seharusnya malu pernah menulis sejelek itu. Lucunya, justru dari situlah aku bisa merasakan kepekatan jiwamu.”
Mataku menatap nanar. Ya, tepat saat jiwaku tengah pepat itulah aku mengerjakan buku itu. Kutulis ia di meja berbagai hotel yang pernah kusinggahi dalam pelarian bersama Rico.
“Baiklah. Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi... secepatnya.”
Mendadak kembali muncul berkas cahaya menyilaukan. Mataku terpejam. Ketika kembali terbuka, aku mendapati diriku tengah duduk di meja makan. Dan ingatanku seketika pulih. Aku di meja makan, sedang sarapan dengan Bapak dan Ibu, siap-siap berangkat kerja, lalu tadi sesuatu terjadi.
Aku termangu diam saat semua kepingan bisa disatukan. Pertemuan dengan Johan Pieters tadi. Kamar yang gelap dan seperti berada dalam jagat yang absurd.
Kesurupan? Itu tadi? Jadi seperti itu rasanya kalau jasadmu dimasuki jiwa lain?
Kemudian sesuatu menabrak telak panca indera dan kesadaranku. Rasa dingin yang tak nyaman menjalari tengkuk. Aliran darah seperti dihentikan saat kupandangi kedua belah tangan yang berlumuran darah pekat. Ada sebilah pisau besar di tangan kanan. Dan yang menetes-netes dari sisi tajam di bilahnya, jatuh membanjir ke permukaan meja, itu juga darah.
Di situ, berbaur dengan mangkuk dan piring hidangan sarapan, adalah beberapa gumpal benda padat berukuran besar yang berbentuk seperti lengan tangan dan kaki. Nanti dulu! Itu memang lengan tangan dan tungkai—dalam potongan-potongan terpisah!
Dan tepat di hadapanku teronggok dua butir kepala, dengan mata menatap kosong ke arahku.
Lalu sepenggal kalimat melintas di benakku.
“Kegelapan pertamamu”.
Aku ingin memekik dan melolong. Namun yang keluar justru suara tawa panjang. Keras sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H