“Dari mana kamu tahu itu?”
“Aku pernah membacanya. Lalu aku tertarik untuk mengajakmu bekerja sama. Berduet.”
“Duet? Bikin apa?”
Pria itu mendeham pelan. “Aku cerita saja kalau begitu, agar jelas duduk permasalahannya. Jadi sekian tahun yang lalu, aku pernah menikah dan punya anak. Nama istriku Marni. Dia gadis pribumi sepertimu. Manis sekali. Mengubah hidup sejak kali pertama melihatnya. Kami menikah, dan punya satu anak laki-laki. Kuberi nama dia Bima, menurut tokoh kedua Pandawa di kisah Mahabarata. Lalu, pada suatu malam, mereka datang, banyak sekali. Aku dihajar sampai tak berdaya. Marni dan Bima dibunuh tepat di depan mataku. Leher Bima bahkan digorok sampai putus, dan kepalanya dilempar ke arahku. Saat itu Bima masih belum genap berumur lima. Bukan tahun, tapi bulan...”
Aku terenyak. Tangan menutupi mulut yang ternganga.
“Ya, Allah...!”
“Sejak itu aku membalas dendam pada Konterman. Aku lakukan hal yang sama pada anak keturunannya. Mati dengan kepala terpisah dari badan...!”
Napasku sesak. Saat mengucapkan kalimat yang terakhir, Johan seperti bukan lagi cowok kulit putih tampan yang layak ditaksir. Lebih mirip singa. Atau setan.
Tapi detik berikutnya, setelah menarik napas panjang, ia kembali menatap hangat padaku.
“S-siapa itu Konterman?” membuatku berani bertanya padanya.
“Mantan atasanku di ketentaraan. Sesudah aku desersi dari militer untuk menikahi Marni dan membantu penduduk pribumi bercocoktanam dan mengajari mereka baca tulis, dia memburuku. Tak hanya mengincarku, dia juga menyuruh bunuh istri dan anakku, lalu memenjarakanku di tangsi di Batavia dan menyiksaku tiap hari selama lima bulan lebih. Erwin Konterman nama lengkapnya. Pangkatnya letnan. Sudah bukan manusia lagi menurutku. Lebih mirip iblis yang menitis ke jasad manusia.”