[caption caption="(Foto: 123rf)"][/caption]
“Selamat datang. Silakan duduk!”
Mataku mengerjap. Cahaya itu muncul mendadak. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan penglihatanku dengan sekitar. Aku menoleh sekeliling. Ini semacam kamar. Gelap sekali, dan entah di mana. Sumber cahaya hanya satu, bola lampu dengan cahaya berwarna kekuningan yang digantung rendah sekitar lima langkah di depanku.
Dan di sana, seorang pria muda duduk menunggu sambil menyilangkan kaki. Nampak sebuah kursi kosong di depannya. Tangannya terulur melambai ke kursi itu.
“Silakan! Santai aja.”
Aku menapak maju ragu-ragu. Duduk dengan ragu juga. Baru setelah dekat, aku menyadari rupa dan perawakan pria itu tak biasa. Dia jangkung, berkulit putih, berambut pirang, dan bermata hijau. Umurnya sebaya denganku, sekitar awal 20-an. Wajahnya berbentuk persegi dengan sepasang rahang yang menonjol tepat di bawah telinga. Semua membuatnya terkesan galak dan kejam, namun sorot matanya ramah.
“Kenalkan, namaku Johan. Johan Pieters,” ia mengajakku berjabat tangan, logatnya terdengar aneh karena jelas memang bukan penutur asli Bahasa Indonesia. “Aku dari Volendam, Belanda.”
Aku tersenyum, agak grogi. Pelan tapi pasti mulai menunjukkan gejala alamiah sebagai gadis muda terhadap pria bule tampan.
“Oh, iya. Aku Nina. Nina Martin.”
“Ya, aku tahu. Aku juga tahu empat tahun lalu kamu menulis buku berjudul Katy Perry: The Firework.
Aku ternganga.