“Tapi kenapa? Kenapa aku?”
“Aku melihat kegelapan di dalam dirimu. Itu sempurna untuk bangsaku.”
Dahiku berkernyit. “Kegelapan? Kegelapan apa?”
“Kegelapan saat kau berharap kedua orangtuamu mati. Kau pernah punya harapan seperti itu kan?”
Aku terdiam. Tak mampu menyahut. Ingatanku melayang kepada kejadian itu.
“Kau berharap kedua orangtuamu mati saat mereka tak menyetujui hubunganmu dengan Rico, sehingga kau mau diajak lari dari rumah dan berkelana dari satu hotel ke hotel lain selama empat bulan. Tak ada yang lebih gelap ketimbang berharap kedua orangtua mati, demi alasan apa pun—apalagi yang seremehtemeh seorang Rico.”
Napasku terhela saling susul. Sesuatu yang besar seperti hendak menjebol dinding rongga dadaku, lalu tumpah dalam bentuk air mata.
“Jangan ingatkan aku pada hal itu! Aku sedang ingin menata semuanya, berbaikan lagi dengan mereka, setelah semua yang terjadi...”
“Harapan kematianmu kemudian berganti arah setelah tahu dirimu hamil dan Rico seperti lenyap ditelan Bumi. Lalu kau nyaris mati saat mengaborsi janinmu. Aku bisa mencarikan keberadaan dia untukmu, kalau kau tertarik menerjuni bisnis pembalasan dendam!”
Aku kembali menggeleng, namun kali ini dengan wajah jatuh tertunduk lemah.
“Tidak! Jangan. Aku tidak mau! Semua sudah cukup buruk. Aku tidak mau membuatnya tambah rumit.”