Ketika terbangun, aku mendapati tubuhku remuk luar biasa hingga memaksaku untuk kembali menelan obat, kreatin.
Dan sudah sebulan, aku mencoba melakukan relaksasi Qigong. Aku ingin menemukan tidurku, tanpa pil-pil itu. Namun, seperti meneteskan air pada tanah yang bertahun-tahun tandus, aku harus sabar untuk menjadikannya subur kembali.
Saat aku mencoba mengosongkan pikiran, Â justru semakin banyak kenangan yang bermunculan. Aku melihat seorang anak kecil yang kurus di pojok ruang dengan cahaya temaram sedang meringkuk memeluk lutut. Terdengar isakan darinya bersama suara lecutan ikat pinggang, dan kata-kata tak pantas terus dilemparkan kepadanya. Seorang perempuan gempal entah darimana , datang sempoyongan bersama aroma alkohol yang menguar. Mereka berdua bertengkar, mengeluarkan umpatan-umpatan. Bahkan menyalahkan kehadiran anak kecil yang masih menangis itu di dunia. Si pria menampar pipi perempuan itu hingga memerah, lalu pergi begitu saja.
Kemudian, semua bayangan itu berpindah. Menampakkan anak kecil yang kurus itu kedinginan di emperan toko. Dia duduk merapat pada pintu plat menghindari tempias hujan. Dengan kotak kayu berisi aneka roti kering dan air kemasan. Wajah anak itu tak asing bagiku ...
Semakin lama, detak jantungku semakin terdengar jelas olehku. Detik jarum jam. Denyut nadi. Aliran darah. Rambut dan kukuku yang memanjang. Bahkan aku seperti bisa merasakan sel-sel dalam tubuhku membelah diri.
Apakah aku sudah menyatu dengan alam semesta? Seperti kata coach Qigong di youtube itu. Tapi, aku masih dapat mendengar berisik hujan menerpa atap seng. Suara orang-orang bersautan. Bising laju kendaraan di tengah malam. Lolongan anjing tetangga. Decak cicak kawin. Dengkuran kucing. Derit pintu diterpa angin. Gemerisik dedaunan di kebun belakang kamar kost. Masih ku baui juga asap pabrik pengasapan ikan dua puluh empat jam yang berjarak dua puluh meter dari kost. Kulitku juga masih merasakan lembab kasur, juga .. hangat air mengalir di pelipisku.
Aku merasakan seseorang memegang tanganku. Tangan itu begitu dingin. Sebuah bisikan pelan di telingaku membuat mataku mengerjap-ngerjap. Dia tiba-tiba memelukku. Aku tersenyum kepadanya. "Ada apa?" Tanyaku mencoba menyembunyikan apa yang aku rasakan.
"Jangan pernah merasa sendiri, aku akan selalu menemanimu. Jangan sedih lagi ..." Dia memelukku semakin erat.
Aku membalas pelukan itu. "Setelah berpisah denganmu waktu itu, aku tak pernah lagi bersedih."
 "Jangan berbohong padaku. Lihatlah, matamu sembab. Apa mimpi-mimpi buruk itu kembali lagi?" Aku merasakan hangat di pundakku. Dia menangis. Dia tak berubah, seperti ada keterikatan dia selalu dapat merasakan apapun sedihku. Serapi apapun ku simpan. "Kamu masih menyimpan benci kepada orang tuamu?"
Aku menggeleng pelan. Sebisa mungkin tetap mempertahankan senyum. "Tidak." Ku lepas pelukan. Kemudian memegang tangannya dan mengusap air mata di pipinya. Dengan susah payah menahan tangis ku sendiri ku katakan padanya, "Selamat tinggal ..."