Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Hai, selamat membaca. Semoga Allah bahagiakan kita hari ini. Aamiin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tidur

22 September 2024   09:15 Diperbarui: 27 September 2024   20:32 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hei, ayolah. Sudah lama kamu tak mengunjungiku. Kita bahas hal-hal lain saja yang lebih 'insightful'. Misalnya, tentang ... elit global. Atau mengapa Amerika memilih membantu Ukraina dan mengecam Rusia, tapi tidak kepada Palestina? Alih-alih membantu Yahudi Israel ... Atau tentang tagar marriage is scary dan fear mongering lain yang lagi hangat-hangatnya menghajar akal dan nurani anak muda? Atau ..  bahas tentang pengalihan isu pejabat hari ini?"

"Maka dari itu, sudah bertahun-tahun kamu menjauh dariku, aku ingin tau kabarmu. Kabar hatimu. Apakah kamu sudah membaik atau masih sama." Dia merubah posisi duduknya. Kini kakinya berselonjor bebas. "Sebelum bahas dunia dan kesemrawutannya, mari lakukan baby-step dengan memahas duniamu. Aku ingin memastikan duniamu baik-baik saja dulu."

Persahabatan kita memang unik. Kataku dalam hati. Kamu selalu dapat mengetahui apapun isi kepalaku. Dan hari ini, kamu datang. Tanpa basa-basi. 

"Mengapa aku suka nulis hal-hal suram, ya? Emm jujur, karena ... aku tidak bisa menuliskan hal-hal bahagia yang ku alami." Jawabku setelah meneguk setengah botol air.

"Mengapa tidak bisa?"

"Mengapa ...?" Aku mengulang tanyanya. Suaraku mengambang. Pikiranku seperti mencoba meraih rangkaian kata imajiner di udara. Jariku mengetuk-ngetuk botol air yang masih ku pegang. "Karena ..." aku mengambil jeda. " ... aku tidak tau." Kemudian aku menghempaskan diri di atas kasur lantai tipis satu-satunya di kamar.

Untuk beberapa saat, kami hanya terdiam. Dia yang masih terpaku dengan bacaannya, dan aku yang dipaku pikiranku sendiri. "Ya sudahlah. Kamu istirahat saja. Kita lanjut besok." Ujarnya. Aku hanya melihat ke arahnya tanpa berkata apa-apa. Seperti belasan tahun aku telah mengenalnya akan percuma jika aku menyuruhnya tidur juga, karena dia tak pernah tidur.

Perlahan, alunan musik kecapi mandarin dari ponselku mulai memenuhi kamar. Ku biarkan seonggok tubuhku telentang, melonggarkan setiap ruas persendian. Ku pejamkan mata. 

Kedua telapak tanganku bersejajar rapi di bawah pusar, membentuk pola segitiga terbalik pada pertemuan sesama ibu jari dan jari telunjuk. Sekarang aku mulai bernapas manual, menyadari setiap tarikan oksigen dan hembusannya yang halus dan konsisten. 

Ku biarkan seluruh energiku tertarik ke tulang belakang. Membiarkan ia menyatu disana. Ku ikuti setiap gerakan yang ku ingat dari belajar secara daring tentang relaksasi ala Qigong.

Sembilan tahun, aku tak pernah lagi merasakan tidur nyenyak. Dan lima tahun terakhir ini, aku harus menelan pil-pil penenang yang begitu banyak setiap malam. Dua butir berwarna putih, dua butir berwarna kuning pucat dan sebutir besar kapsul berwarna merah muda. Aku tau, menelan pil-pil itu hanya membuatku tak sadar seperti mayat hidup, bukan tidur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun