Saya lupa terakhir kali menaruh harapan pada siapapun yang mengurus negara ini. Terlalu banyak ingatan buruk yang memenuhi kepala. Dan, sepertinya, pemerintah senang memupuk ingatan buruk itu dengan selalu memberikan gebrakan dalam jangka waktu tertentu untuk memastikan rasa muak saya tidak surut.
Wacana kenaikan PPN yang sebelumnya 11% menjadi 12% adalah pemicu amarah paling baru yang disponsori oleh pemerintah, menteri keuangan, dan setiap orang yang menyetujui keputusan itu.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang melekat pada setiap barang dan jasa yang rakyat konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap barang yang kamu beli akan dikenai tambahan biaya untuk membayar pajak jenis ini.
Beberapa barang yang bebas PPN mencakup kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial. Meskipun, jika kita bedah lagi, setiap produk atau jasa yang beredar akan tetap terdampak oleh kenaikan PPN. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau.
Begini, bisa saja sembako tidak kena PPN, tapi bagaimana dengan distribusi yang melibatkan kendaraan dan segala bentuk perawatannya? Elemen-elemen penyusun dari barang dan jasa yang diniatkan bebas pajak tetap terdampak. Maka, kenaikan PPN, dengan kondisi seperti saat ini, dapat dinilai sebagai kebijakan yang dungu dan perlu segera dibatalkan.
Tidak ada alasan yang cukup meyakinkan untuk menaikkan PPN saat ini!
Saya menemukan satu kesamaan dari setiap berita dan kutipan yang coba menjelaskan kenapa PPN naik menjadi 12% dan mulai berlaku per 1 Januari 2015 nanti. Alasannya adalah meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran.
Tentu pemerintah melengkapinya dengan detail-detail informasi yang mulia seperti pembangunan infrastruktur, pemerataan pendidikan, dan sebagainya. Tapi, ada banyak hal janggal yang membuat keputusan soal PPN ini menjadi seolah akal-akalan pemerintah untuk memalak rakyat.
Maksud saya, jika memang pemerintah merasa ada kebutuhan yang mendesak dan perlu uang banyak, mestinya mereka perlu koreksi diri sendiri dahulu. Kabinet sekarang yang gemuk, lengkap dengan jabatan baru seperti staf khusus utusan Presiden, tentu memakan banyak anggaran. Kenapa tidak melakukan efisiensi pada badan sendiri terbih dahulu?
Berantas judi online, tindak tegas pelaku korupsi, batasi agenda pelesir pejabat yang berlindung dibalik dalih rapat kerja. Banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk menambah uang negara, tapi pemerintah lebih senang memalak rakyatnya.
Bicara soal anggaran atas kebijakan baru. Tentu tidak bisa lepas dari rencana makan siang bergizi gratis. Sejak awal, saya kurang suka dengan program ini. Pertama, itu membutuhkan biaya yang banyak. Kedua, rakyat jadi patuh dan bergantung pada pemerintah. Padahal, anggaran tersebut bisa dioptimalkan di sektor lain seperti pendidikan yang bisa membuka peluang untuk mentas dari kemiskinan jadi lebih besar. Kita masih belum menyinggung soal kemungkinan korupsi di program itu.
Belum lagi soal bagaimana pengelolaan pajak. Beberapa orang berpendapat bahwa pajak memang tidak dapat dielakkan dalam elemen bernegara. Tapi, penarikan pajak dari rakyat harus diimbangi dengan pelayanan yang baik oleh pemerintah. Entah dalam rupa transportasi publik, pendidikan, keamanan, ekonomi, dan semacamnya.
Nyatanya tidak.
Hampir setiap hari kita disuguhkan oleh perilaku dan pernyataan bodoh oleh pejabat publik. Orang-orang yang gajinya dibayar dari uang pajak. Uang rakyat.
Siapa yang tidak geram ketika tahu uang pajaknya digunakan untuk membiayai polisi yang represif terhadap rakyat, budaya foya-foya anak pejabat, dan, salah satu yang paling hina, dipakai untuk membayar influencer atau buzzer untuk mengelabui rakyat?
Korupsi terjadi di mana-mana. Tidak kenal waktu. Tidak ada empati. Masih segar di kepala ingatan korupsi dana haji dan kongkalikong kebutuhan rakyat saat pandemi. Bagaimana kita bisa percaya untuk menitipkan uang pada mereka yang punya sejarah buruk dalam pengelolaan uang?
Saya tidak begitu paham ekonomi, tapi akibat dari kenaikan PPN jelas berpotensi memberikan dampak yang bertolak belakang dengan harapan awal pemerintah. PPN naik, daya beli rendah, dan ekonomi mandek. Di saat itu, mungkin, pemerintah akan hadir sebagai penyelamat dengan bantuan sosial.
Tapi, buat apa ribut soal rencana PPN ini jika ujungnya pemerintah malah kuwalahan dan kembali menyuapi rakyat dengan bantuan sosial?
Tanggapan Pemerintah
Sri Mulyani, Menteri Keuangan, berkilah bahwa PPN Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan negara lain. Ia merujuk pada negara-negara yang tergabung dalam G20 seperti Brazil dengan 17%, lalu Afrika Selatan dan India yang masing-masing mematok PPN sebesar 15% dan 18%. Sekilas benar, tapi aneh.
Aneh karena hanya melakukan perbandingan pada besarnya nilai PPN. Bagaimana dengan pendapatan per kapita dari negara-negara tersebut? Bagaimana mereka mengelola uang dan sejenisnya? Itu juga perlu diperhatikan.
Bahkan, besarnya nilai PPN bisa dibilang tidak berbanding lurus dengan penyerapannya. Lihatlah Jepang dengan PPN hanya 10%, lalu Singapura 9%, dan Swiss yang cuma 8,1%. Negara-negara itu dilihat secara kasat mata jauh lebih baik ketimbang Indonesia dilihat dari pelbagai sisi.
Tidak ada urgensi menaikkan PPN jika pengelolaannya masih dipertanyankan. Apalagi, Indonesia baru keluar dari pandemi dan dalam proses bangkit, tapi ditodong pemerintah untuk menyetor upeti pada mereka yang punya citra buruk dalam penanganan uang rakyat.
Sementara itu, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menyebutkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% bukanlah keinginan pemerintah. Ia beralasan keputusan itu telah dirundingkan bersama sebagai Undang-Undang dengan wakil rakyat di DPR.
Data menunjukkan semua fraksi sepakat, kecuali PKS, dan rancangan itu berlanjut dan segera efektif di tahun depan. Hasil itu membuatnya beranggapan bahwa kenaikan itu merupakan keinginan rakyat -- yang telah diwakilkan.
Omong kosong.
Jika memang pemerintah berpihak rakyat, PPN ini tidak akan naik melihat kondisi sekarang. Kalau pun memang berniat membatalkan, sebenarnya pemerintah bisa, khususnya presiden, mengubah atau menunda undang-undang tersebut.
Itu pun kalau pemerintah memang benar-benar peduli dengan rakyatnya. Sedangkan kita sebagai rakyat hanya bisa merasakan suasana kebatinan di penghujung tahun, dan menyambut awal tahun dengan "merry crisis and happy new fear".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H