Mohon tunggu...
Wisnu Dewa Wardhana
Wisnu Dewa Wardhana Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

Seorang pembelajar dan pengagum pemikiran Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pajak 12 Persen, Penderitaan 100 Persen

23 Desember 2024   13:25 Diperbarui: 23 Desember 2024   13:29 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: fnn.co.id

Saya lupa terakhir kali menaruh harapan pada siapapun yang mengurus negara ini. Terlalu banyak ingatan buruk yang memenuhi kepala. Dan, sepertinya, pemerintah senang memupuk ingatan buruk itu dengan selalu memberikan gebrakan dalam jangka waktu tertentu untuk memastikan rasa muak saya tidak surut.

Wacana kenaikan PPN yang sebelumnya 11% menjadi 12% adalah pemicu amarah paling baru yang disponsori oleh pemerintah, menteri keuangan, dan setiap orang yang menyetujui keputusan itu.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang melekat pada setiap barang dan jasa yang rakyat konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap barang yang kamu beli akan dikenai tambahan biaya untuk membayar pajak jenis ini.

Beberapa barang yang bebas PPN mencakup kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial. Meskipun, jika kita bedah lagi, setiap produk atau jasa yang beredar akan tetap terdampak oleh kenaikan PPN. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau.

Begini, bisa saja sembako tidak kena PPN, tapi bagaimana dengan distribusi yang melibatkan kendaraan dan segala bentuk perawatannya? Elemen-elemen penyusun dari barang dan jasa yang diniatkan bebas pajak tetap terdampak. Maka, kenaikan PPN, dengan kondisi seperti saat ini, dapat dinilai sebagai kebijakan yang dungu dan perlu segera dibatalkan.

Tidak ada alasan yang cukup meyakinkan untuk menaikkan PPN saat ini!

Saya menemukan satu kesamaan dari setiap berita dan kutipan yang coba menjelaskan kenapa PPN naik menjadi 12% dan mulai berlaku per 1 Januari 2015 nanti. Alasannya adalah meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran.

Tentu pemerintah melengkapinya dengan detail-detail informasi yang mulia seperti pembangunan infrastruktur, pemerataan pendidikan, dan sebagainya. Tapi, ada banyak hal janggal yang membuat keputusan soal PPN ini menjadi seolah akal-akalan pemerintah untuk memalak rakyat.

Maksud saya, jika memang pemerintah merasa ada kebutuhan yang mendesak dan perlu uang banyak, mestinya mereka perlu koreksi diri sendiri dahulu. Kabinet sekarang yang gemuk, lengkap dengan jabatan baru seperti staf khusus utusan Presiden, tentu memakan banyak anggaran. Kenapa tidak melakukan efisiensi pada badan sendiri terbih dahulu?

Berantas judi online, tindak tegas pelaku korupsi, batasi agenda pelesir pejabat yang berlindung dibalik dalih rapat kerja. Banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk menambah uang negara, tapi pemerintah lebih senang memalak rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun