Mohon tunggu...
Wisnu Dewa Wardhana
Wisnu Dewa Wardhana Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

Seorang pembelajar dan pengagum pemikiran Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pajak 12 Persen, Penderitaan 100 Persen

23 Desember 2024   13:25 Diperbarui: 23 Desember 2024   13:29 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: fnn.co.id

Bicara soal anggaran atas kebijakan baru. Tentu tidak bisa lepas dari rencana makan siang bergizi gratis. Sejak awal, saya kurang suka dengan program ini. Pertama, itu membutuhkan biaya yang banyak. Kedua, rakyat jadi patuh dan bergantung pada pemerintah. Padahal, anggaran tersebut bisa dioptimalkan di sektor lain seperti pendidikan yang bisa membuka peluang untuk mentas dari kemiskinan jadi lebih besar. Kita masih belum menyinggung soal kemungkinan korupsi di program itu.

Belum lagi soal bagaimana pengelolaan pajak. Beberapa orang berpendapat bahwa pajak memang tidak dapat dielakkan dalam elemen bernegara. Tapi, penarikan pajak dari rakyat harus diimbangi dengan pelayanan yang baik oleh pemerintah. Entah dalam rupa transportasi publik, pendidikan, keamanan, ekonomi, dan semacamnya.

Nyatanya tidak.

Hampir setiap hari kita disuguhkan oleh perilaku dan pernyataan bodoh oleh pejabat publik. Orang-orang yang gajinya dibayar dari uang pajak. Uang rakyat.

Siapa yang tidak geram ketika tahu uang pajaknya digunakan untuk membiayai polisi yang represif terhadap rakyat, budaya foya-foya anak pejabat, dan, salah satu yang paling hina, dipakai untuk membayar influencer atau buzzer untuk mengelabui rakyat?

Korupsi terjadi di mana-mana. Tidak kenal waktu. Tidak ada empati. Masih segar di kepala ingatan korupsi dana haji dan kongkalikong kebutuhan rakyat saat pandemi. Bagaimana kita bisa percaya untuk menitipkan uang pada mereka yang punya sejarah buruk dalam pengelolaan uang?

Saya tidak begitu paham ekonomi, tapi akibat dari kenaikan PPN jelas berpotensi memberikan dampak yang bertolak belakang dengan harapan awal pemerintah. PPN naik, daya beli rendah, dan ekonomi mandek. Di saat itu, mungkin, pemerintah akan hadir sebagai penyelamat dengan bantuan sosial.

Tapi, buat apa ribut soal rencana PPN ini jika ujungnya pemerintah malah kuwalahan dan kembali menyuapi rakyat dengan bantuan sosial?

Tanggapan Pemerintah

Sri Mulyani, Menteri Keuangan, berkilah bahwa PPN Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan negara lain. Ia merujuk pada negara-negara yang tergabung dalam G20 seperti Brazil dengan 17%, lalu Afrika Selatan dan India yang masing-masing mematok PPN sebesar 15% dan 18%. Sekilas benar, tapi aneh.

Aneh karena hanya melakukan perbandingan pada besarnya nilai PPN. Bagaimana dengan pendapatan per kapita dari negara-negara tersebut? Bagaimana mereka mengelola uang dan sejenisnya? Itu juga perlu diperhatikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun