Bahkan, besarnya nilai PPN bisa dibilang tidak berbanding lurus dengan penyerapannya. Lihatlah Jepang dengan PPN hanya 10%, lalu Singapura 9%, dan Swiss yang cuma 8,1%. Negara-negara itu dilihat secara kasat mata jauh lebih baik ketimbang Indonesia dilihat dari pelbagai sisi.
Tidak ada urgensi menaikkan PPN jika pengelolaannya masih dipertanyankan. Apalagi, Indonesia baru keluar dari pandemi dan dalam proses bangkit, tapi ditodong pemerintah untuk menyetor upeti pada mereka yang punya citra buruk dalam penanganan uang rakyat.
Sementara itu, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menyebutkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% bukanlah keinginan pemerintah. Ia beralasan keputusan itu telah dirundingkan bersama sebagai Undang-Undang dengan wakil rakyat di DPR.
Data menunjukkan semua fraksi sepakat, kecuali PKS, dan rancangan itu berlanjut dan segera efektif di tahun depan. Hasil itu membuatnya beranggapan bahwa kenaikan itu merupakan keinginan rakyat -- yang telah diwakilkan.
Omong kosong.
Jika memang pemerintah berpihak rakyat, PPN ini tidak akan naik melihat kondisi sekarang. Kalau pun memang berniat membatalkan, sebenarnya pemerintah bisa, khususnya presiden, mengubah atau menunda undang-undang tersebut.
Itu pun kalau pemerintah memang benar-benar peduli dengan rakyatnya. Sedangkan kita sebagai rakyat hanya bisa merasakan suasana kebatinan di penghujung tahun, dan menyambut awal tahun dengan "merry crisis and happy new fear".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H