Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Senandung Cinta dari Selat Malaka "16" (TMN 100 H)

30 Maret 2016   16:00 Diperbarui: 30 Maret 2016   16:27 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber fhoto/Hr Medan Bisnis"][/caption]

Sebelumnya

Lama mereka terdiam. Meilan tenggelam dengan pikirannya sendiri. Sementara ibunya memandangi Meilan juga tampa berkata kata. Diluar Udara Sinaboi, telah mulai redup. Angin dari selat Malaka terasa begitu sejuk, masuk menyelusup keruangan dimana Meilan dan ibunya berada. Namun hati Meilan tak sesejuk tiupan angin Selat Malaka itu.

Setelah usai sholat Subuh, Azis berkemas untuk berangkat ke kota Bagan Siapi Api. Pakaian dan surat surat untuk keperluan mendaptar di SMA Negeri Bagan Siapi Api sudah dimasukkannya kedalam tas nya tadi malam. Tas itu kemudian diikatkannya diatas boncengan sepedanya. Tadi malam dia telah menceritakan bahwa dia akan mendaftar disekolah SMA Negeri di kota Bagan Siapi Api. Waktu ia menyampaikan keiinginan nya itu ibunya tidak banyak menbantahnya, hanya ada beberapa hal yang dipesankan oleh ibunya. Dan pagi ini pesan itu diulang ibunya kembali.

“ Zis, sesampainya kau nanti kerumah uwakmu, sampaikan pesan ibu”, katanya kepada Azis yang mengkemasi barang barangnya.

“ Iya bu? “, jawabnya lalu mengeluarkan sepeda yang akan dibawanya ke Bagan Siapi Api.

“Ditempat uwakmu itu, kau jangan membuat persoalan, bantu dia dalam mengerjakan pekerjaannya”. Azis hanya menganggukkan kepalanya.

“ Berapa hari kau disana?”, Tanya wanita itu.

“ Mungkin hanya dua tiga hari bu, Setelah selesai mendaftar aku kembali pulang ke Sinaboi”, jawanya tanpa menoleh kepada ibunya.

“Uang kita tidak ada nak, inilah kau bawa untuk mendaftar?”, ibunya memberikan uang tiga ratus ribu . Azis mengambil uang itu tanpa banyak komentar. Karena dia sendiri mengetahui keaadaan mereka.

“ Pandai pandailah kau menggunakan uang itu?”. Pesan ibunya lagi.

“ Iya bu”.

“ Bontot yang ibu siapkan udah kau bawa?”.

“ Belum bu, aku hampir lupa”. Azis masuk keruangan dapur dan mengambil bontot yang disiapkan oleh ibunya untuk dijalan. Bontot itu disiapkan oleh ibunya sebelum ia sholat Subuh. Ada nasi satu bungkus, ikan dan sayur, serta satu botol mineral teh manis, dan beberapa potong kue kering. Azis mengambil bungkusan besar itu dan membawanya keluar. Bungkusan itu diletakkannya distang sepedanya.

“ Bu, aku berangkat ?”, Azis mencium tangan ibunya. Ada tetesan bening yang sejuk membasahi tangannya. Azis tahu kalau ibunya itu menangis.

“ Iya, hati hati kau dijalan?”, Wanita separoh banya itu memeluknya dan mencium kepalanya.

Ada juga perasaan sedih dihati Azis. Walaupun jarak Sinaboi dengan kota Bagan Siapi Api hanya dua puluh lima kilo meter, bisa ditempuh dalam perjalanan satu jam, namun kepergiannya ini, meninggalkan rasa sedih yang sangat.

Dia mengayuh sepedanya meninggalkan rumahnya yang semakin jauh, dan meninggalkan Sinaboi secara perlahan lahan.. Angin yang bertiup dari laut Selat Malaka terasa begitu sejuk subuh itu, membuat Azis merasa segar. Jalanan dari Sinaboi menuju kota Bagan Siapi Api, masih terasa sepi, hanya satu dua kenderaan yang melintas. Dia sedikitpun tidak merasa takut dijalan yang sepi itu.

Diatas sepeda yang dikayuhnya, Azis terbayang akan masa masa ketika dia masih kecil bersama ayahnya. Kemanapun mereka pergi tidak pernah memakai sepeda, walaupun sepeda di kampungnya merupakan transport yang sangat penting. Keluarganya sewaktu ayahnya masih hidup, tidaklah merupakan keluarga yang kaya raya, tapi melainkan adalah keluarga yang sederhana dan berkecukupan. Termasuk dalam hal transport ayahnya membeli sepeda motor untuk mereka.

Tapi kini semua itu telah berakhir, seiiring dengan kepergian ayahnya untuk selama lamanya. Hidup memanglah seperti roda pedati, berputar pada sumbu dan rotasi pada garisnya. Hari ini mungkin kehidupan membuat kita lupa akan segala galanya, karena kita memiliki harta, kekuasaan, dan apa saja yang ada bisa untuk dibeli, karena uang yang kita miliki berlimpah.

Tapi mungkin besok, apa yang kita miliki telah musnah dengan sekejap mata. Benarlah apa yang dikatakan didalam kitab suci Al-Qur’an itu, segala sesuatu yang kita miliki adalah, merupakan amanah dan titipan yang diberikan oleh tuhan. Suatu saat titipan itu akan diambilnya kembali.

Jam satu siang Azis telah sampai di desa Sungai nyamuk. Iya memarkirkan sepedanya dihalaman sebuah Mushollah. Kemudian dia mengambil wudhuk, untuk melaksanakan sholat Dzuhur. Dia tampak  berdoa  dengan khusuk setelah sholat. Tak terasa air matanya menetes membasahi bajunya. Sesekali tangannya menyeka air mata yang menetes itu. Walaupun sesungguhnya dia telah mencoba untuk menahan rasa sedihnya, namun dalam doa yang dibacakannya, ternyata dia tak punya kekuatan untuk menahan airmatanya itu.

Dengan langkah gontai, Azis keluar dari Mushollah. Matanya tampak memerah saga, memberi tanda kalau remaja tanggung ini baru saja menumpahkan rasa sedih dan dukanya dihadapan sang khaliknya.

Dia duduk dibangku batu diruang parkir Mushollah itu. Dibukanya bungkusan bontot yang disiapkan oleh ibunya tadi pagi.  Diambilnya nasi yang dibungkus dengan daun pisang, kemudian seekor ikan yang digoreng pakai sambal, dan sedikit sayur kangkung yang direbus oleh ibunya dengan sedikit kuahnya yang hitam, karena tak memakai bumbu yang lengkap.

Dengan lahapnya Azis menyantap makanan itu. Sesekali terlihat pula iya meneguk air the manis yang warnanya pucat karena kekurangan teh. Namun sedikitpun azis tak mengeluhkan hal itu.

Penjaga Mushollah yang tadi sama sama sholat dengannya menghampirinya. Laki laki tua itu duduk dibangku sebelah dekat Azis.

“ Pak mari makan?”, ketika laki laki itu duduk didekatnya.

“ Sudah nak, terimakasih”, jawab orang tua itu, Azis melanjutkan suapan nasinya.

“ Anak dari mana?”, orang tua itu bertanya, karena tidak biasa dia melihat orang yang melintas di desanya makan dengan membawa bontot, karena hampir disepanjang jalan di desanya ada warung kopi dan warung yang menjual nasi.

“ Dari Sinaboi Pak?”, kata Azis sambil melirik kearah orang tua itu

“ Rumahnya di Sinaboi?”, Tanya Bapak itu lagi

“ Iya Pak”, jawab Azis

“ Mau kemana rupanya, Bapak lihat disepedamu ada tas”,

“ Aku mau ke Bagan Siapi Api”.

“ Mau bekerja disana?”, susul si Bapak bertanya

“ Tidak Pak, aku mau mendaftar sekolah di kota Bagan Siapi Api”.

“ Ooo, jadi kesana kau naik sepeda itu?”, Si Bapak memandang sepeda yang diparkirkan Azis di tiang atap ruangan parkir.

“ Iya Pak”.

“ Kenapa tak naik sepeda motor. Atu mobil tambang, Bagan Siapi Api itukan jauh”. Azis diam sejenak. Dipandanginya sepedanya, dan kemudian dilayangkannya arah pandangannya ke jalanan yang ada didepannya.

“ Aku tak punya sepeda motor, sedangkan untuk naik mobil tambang, uang ku tak mencukupi “, jawab Azis, suaranya sunguh lirih. Yang membuat orang tua itu terdiam. Azis menyelesaikan suapan terakhirnya. Dia kemudian kembali meneguk teh manis sari botol mineral itu. Selesai itu Azis mengumpulkan sisa sisa makanannya, lalu dibuangkannya jauh kesemak semak disamping Mushollah.

“ Pak aku permisi, karena perjalananku masih jauh”, kata azis kepada orang tua itu.

“ Oh, iya nak, paling dari sini sekitar satu jam lagi sampailah kau ke kota bagan Siapi Api”. Kata si bapak. Azis menyalami orang tua itu, kemudian menaiki sepedanya dan mengayuhnya secara perlahan.

“ Hati hati kau di jalan?”, kata orang tua itu setengah menjerit mengatakannya.

“ Iya Pak terimaksih”, balas azis dengan suara yang menjerit pula.

Setengah jam dia sudah melintasi Desa Sungai nyamuk, sebuah mobil honda Cervy warna putih metalik memotong jalan nya. Azis cukup mengenali mobil itu. Mobil milik Apek Haipeng orang tua Meilan. Apakah ada Meilan didalamnya? kata azis bertanya pada hatinya sendiri.

Dugaan azis memang benar. Mobil yang baru saja memotong jalannya, didalamnya ada Meilan. Karena hari itu Meilan yang diantar orang tuanya juga berangkat ke kota Bagan Siapi. Api. Dari dalam mobil Meilan sempat melihat azis mengayuh sepedanya. Ada rasa hiba dihati putrid Apek Hai ini. Tapi apa mau dikatakannya karena didalam mobil ada papa dan ibunya.

Meilan yang duduk dibangku belakang, mencuri pandang melihat arah belakang, iya masih melihat Azis yang sedang mengayuh sepedanya, pandangannya semakin lama semakin jauh membuat Azis nyaris tak kelihatan.

“ Apa yang kau lihat kebelakang? “ , Tanya papanya sambil menyetir mobilnya. Orang tua Meilan itu melihat putrinya lewat kaca spion yang ada didalam mobil.

“ Tak melihat siapa siapa Pa?”, jawab Meilan dengan gugup.

“ Apa kau melihat anak yang naik sepeda tadi?”, susul papanya terus bertanya.

“ Tidak Pa”. jawabnya berbohong. Pada hal benar apa yang dikatakan papanya kalau dia melihat kebelakang untuk melihat Azis yang naik sepada. Papanya diam dan tak bertanya lagi. Sementara Meilan bermain dengan pikiran dan hatinya sendiri.

 

Bersambung…….

 

Bagan Siapi Api 2016

 

Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan  100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana

 

“ Cerita yang di kemas dalam bentuk Nopel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka, jika ada nama dan tempat serta kejadian yang sama atau mirip terulas dalam nopel ini hanyalah secara kebetulan saja. Tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya “ (Penulis)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun