Dengan langkah gontai, Azis keluar dari Mushollah. Matanya tampak memerah saga, memberi tanda kalau remaja tanggung ini baru saja menumpahkan rasa sedih dan dukanya dihadapan sang khaliknya.
Dia duduk dibangku batu diruang parkir Mushollah itu. Dibukanya bungkusan bontot yang disiapkan oleh ibunya tadi pagi. Diambilnya nasi yang dibungkus dengan daun pisang, kemudian seekor ikan yang digoreng pakai sambal, dan sedikit sayur kangkung yang direbus oleh ibunya dengan sedikit kuahnya yang hitam, karena tak memakai bumbu yang lengkap.
Dengan lahapnya Azis menyantap makanan itu. Sesekali terlihat pula iya meneguk air the manis yang warnanya pucat karena kekurangan teh. Namun sedikitpun azis tak mengeluhkan hal itu.
Penjaga Mushollah yang tadi sama sama sholat dengannya menghampirinya. Laki laki tua itu duduk dibangku sebelah dekat Azis.
“ Pak mari makan?”, ketika laki laki itu duduk didekatnya.
“ Sudah nak, terimakasih”, jawab orang tua itu, Azis melanjutkan suapan nasinya.
“ Anak dari mana?”, orang tua itu bertanya, karena tidak biasa dia melihat orang yang melintas di desanya makan dengan membawa bontot, karena hampir disepanjang jalan di desanya ada warung kopi dan warung yang menjual nasi.
“ Dari Sinaboi Pak?”, kata Azis sambil melirik kearah orang tua itu
“ Rumahnya di Sinaboi?”, Tanya Bapak itu lagi
“ Iya Pak”, jawab Azis
“ Mau kemana rupanya, Bapak lihat disepedamu ada tas”,