Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tahafut al-Falasifah dan Kerancuan Filsafat Al-Ghazali (Membongkar Fitnah-Fitnah Teuku Zulkhairi)

19 April 2010   13:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 4851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang saya katakan di atas, Al-Ghazali adalah pengikut  aliran kritis yang lain bernama  Asy‘ariah yang muncul kira-kira satu generasi setelah kemunculan Mu'tazillah. Aliran ini dinamai demikian dengan mengambil nama Al Asy‘ari, tokoh yang lahir pada tahun 873 masehi.

Asy'ariyah ini adalah aliran kritis yang mencoba berada di tengah-tengah antara pandangan tradisional yang yang maunya melarang penggunaan segala hal yang berbau rasional dalam memahami agama (seperti paham Salafi dan wahabi yang marak belakangan ini) dengan pikiran rasional. Aliran Asy'ariah ini terkenal dengan konsepnya yang mengatakan bahwa akal tanpa dibantu dengan wahyu tidak akan bisa menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya.

Nah ketika Al-Ghazali menghantam filsafat kaum Mu'tazillah, Al-Ghazali bersandar pada cara pandang kaum Asy'ariyah ini.

Sebagaimana filsafat Mu'tazillah yang banyak bersintesa dengan alam pikiran Yunani, konsep Asy'ariah yang diadopsi oleh Al Ghazali sendiripun sebenarnya tidak bisa melepaskan argumennya dari pengaruh pemikiran para filsuf Yunani dari kelompok Skeptis dan terutama dari aliran filsafat Stoisisme-nya Zeno dari Citium (334-262 SM) [dalam sejarah sekolah filsfat Stoi (baca : STOA) ada dua Zeno, selain Zeno dari Citium ada lagi  Zeno dari Tarsus yang merupakan pemimpin keempat sekolah filsafat Stoi yang hidup sekitar tahun 200 SM] .

Dari aliran filsafat Stoisme ini, aliran Ays'ariyah yang dianut oleh Al-Ghazali mengadopsi epistemologi, sensasionalisme, nominalisme dan materialisme mereka.

Contoh besarnya pengaruh filsafat Stoi dalam cara pandang aliran ini adalah konsep Asy'ariah tentang kehendak Allah.

Dalam Tahafut al-Falasifa, halaman. hal 237, Al-Ghazali mengatakan "Manusia tidak (bisa dikatakan) baik atau jahat karena pembawaan, meskipun pada dasarnya manusia itu lebih cenderung menjadi baik ketimbang menjadi jahat". Ucapan Ghazali ini merujuk pada pandangan Asy'ariah yang mempercayai bahwa benar dan salah adalah urusan manusia yang tidak bisa disangkut pautkan dengan Tuhan.

Pandangan Asy'ariah ini jelas sangat dipengaruhi oleh aliran filsafat Stoisisme (Aliran filsafat yang pada masanya menentang habis ajaran aliran filsafat Epicurus yang menyatakan Hedonisme yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup).

Apa yang dikatakan oleh Al Ghazali yang didasari oleh konsep Asy'ariah ini kurang lebih sama dengan "Cui mali nihil est nec esse potest quid huic opus est dilectu bonorum et malorum?" yang artinya kurang lebih "Pilihan apa yang bisa membantu seseorang (berbuat jahat) bagi orang yang tidak memiliki sifat jahat dan juga tidak dimiliki (oleh sifat-sifat jahat itu)" yang merupakan argumen Skeptis dari Carneades yang pernah menjadi mahasiswa di sekolah filsafat Stoi, yang belajar logika di bawah bimbingan Diogenes (Kepala sekolaf filsafat Stoi ke-lima yang hidup sekitar tahun 230-150 SM). Perkataan Carneades ini disampaikan oleh  Cicero  dalam De natura deorum, iii. 15. 38.

Beberapa detail epistemologi khas Stoi ini misalnya disampaikan oleh Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din Ihya’ dimana Al-Ghazali mengatakan, Jiwa saat lahir adalah putih seperti kertas dan disanalah sifat dicetak (ini yang menjadi dasar konsep tabula rasa) , kemudian  Al-Ghazali juga mengatakan manusia memperoleh akan dan pengetahuan tentang baik dan benar pada umur 7 tahun (ini kemudian menjadi dasar anggapan dan cara pandang terhadap anak-anak selama ini yang belakangan oleh Jean Piaget, Erik H Eriksson dan para psikolog perkembangan lainnya telah dibuktikan salah, karena ternyata bayi sudah punya sifat dan karakter sejak masih di dalam perut)

Belakangan, oleh pengikutnya, apa yang dimaksud oleh Al-Ghazali sebagai Kehendak Allah yang menjadi rahasiaNya yang tidak bisa ditimbang dengan perhitungan-perhitungan yang berdasarkan akal itu juga termasuk hal-hal semacam jenis kelamin bayi di dalam perut, apakah hujan akan turun atau tidak di saat mendung. Konsep tauhid semacam ini yang merupakan warisan pemikiran Al-Ghazali tersebut masih sering diajarkan kepada saya oleh guru-guru ngaji saya semasa kecil di Takengen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun