Mohon tunggu...
Winda Sasmito
Winda Sasmito Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat sastra

Karena Menulis adalah Menenangkan Hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sendal Jepit

17 Februari 2022   17:07 Diperbarui: 17 Februari 2022   17:19 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sendal jepit/canva

Hai namaku Milea. Gadis Bandung tapi tenang, aku bukan pasangannya Dilan ya. Aku sekarang tinggal di Bogor, yang katanya terkenal dengan julukan kota hujan. Nah pas sekali berbicara hujan maka aku akan teringat dengan barang yang selalu aku bawa kemana pun selain payung. Rasanya aku tidak bisa lepas dari benda satu ini, coba tebak apa? Yap! Sendal jepit.

Aku selalu suka dengan sesuatu yang simpel. Dan menurutku sendal jepit itu sangat mewakili. Rasanya sangat nyaman saja jika menggunakannya. Mulai dari sendal jepit merk legendaris hingga yang sudah berlebel tetap pilihanku tak berubah, sendal jepit.

"Bun, ayo cepat nanti takut keburu hujan. Belum lagi kalau macet." Suamiku tiba-tiba sudah berdiri di sampingku yang masih sibuk masuk-masukin mainan si kecil ke dalam kotak mainan.

"Oh iya, Yah. Siap." Jawabku cepat.

"Dek, ayo kita berangkat." Aku memanggil adikku.

"Iya, Teh." Jawabnya.

Hari ini kami memang mau mengantar adik bungsuku ke bandara. Sebetulnya dia bisa sendiri, tetapi berhubung kami juga libur kerja jadi memutuskan untuk mengantarnya. Lagipula keberangkatan dia kali ini cukup jauh dan akan beberapa bulan.

Setelah berpamitan kepada ibu dan ayah, kami langsung berangkat. Sempat juga aku mengecup anakku yang memang sementara tidak diajak ke luar, karena khawatir pulangnya terlalu malam. 

"Semoga lancar semuanya." Ibu melambaikan tangannya.

Ah, tak ada yang lebih mengharukan memang saat melihat seorang ibu yang melepas kepergian anaknya.

***

Jalanan cukup macet, pemandangan seperti ini menjadi hal biasa di ibu kota. Kami memutuskan menggunakan Bus Damri ke Bandara, dengan alasan lebih mudah dan tidak perlu repot-repot cari parkiran. Mobil sengaja disimpan di parkiran umum di dekat Pool Damri Bogor.

"Rasanya baru pertama kali ini aku ke bandara international." kataku sambil melihat-lihat sekeliling ruangan yang begitu luas, bersih dan tenang.

"Tapi bukan pertama kali dong ke Bandara 3." Jawab suamiku senyum-senyum sambil menunjuk lambang salah satu maskapai terbaik negeri ini.

"Hehe, jangan mengingatkan pengalaman itu lagi." Jawabku sambil tertawa.

 "Kenapa, A?" Tanya adik kepada suamiku penuh penasaran.

"Noh, tetehmu yang manis ini bisa-bisanya tali sendalnya copot menjelang boarding." Jawab suamiku sambil tertawa.

"Aishhh...jangan salah, itu menjadi pengalaman yang mengesankan walaupun sedikit memalukan." Jawabku enteng.

"Bagaimana tidak memalukan, keadaan darurat tidak pada waktu dan tempat yang tepat." Suami tertawa sambil mengucek-ngucek kepalaku dengan gemas.

"Sekarang mah aman." Jawabku sambil nunjuk sendal yang kupakai. Tentu saja ini sendal baru dan kualitasnya sudah tidak diragukan.

***

Hari itu, untuk pertama kalinya aku dan suami membawa si kecil naik pesawat. Mudik, lebih tepatnya. Usianya si kecil baru 2 tahun, pas lagi senangnya lari-larian. Ketika melihat bandara yang luas, langsung saja kegirangan bolak balik, menarik-narikku untuk jalan. Tak ada yang aneh saat itu, namun tiba-tiba berubah menjelang boarding.

"Jeprettt..." aku memandang tak percaya sendalku putus. Bukan sendal jepit yang kupakai harian loh. Ini merk yang cukup terkenal, dan aku membelinya di salah satu mall besar di kotaku, namun tetap model tali jepit. Entah gimana ceritanya tiba-tiba talinya lepas.

"Walah, kok bisa?" Suamiku heran.

"Gimana Yah?" Tanyaku mulai panik.

"Bawa sendal atau sepatu cadangan?"

"Gak." Jawabku pasrah. Kebiasaanku adalah tidak pernah membawa cadangan. Koper yang kubawa, penuh dengan perlengkapan anak yang masih balita. Selain itu memang aku selalu malas membawa cadangan sendal atau sepatu saat pergi. Terlihat suamiku mulai mondar mandir, aku tahu dia lagi berfikir keras untuk menyelamatkan istrinya yang sedang malu. Mencari toko sepatu saat ini tidak memungkinkan waktunya.

"Bunda bawa peniti?." Tiba-tiba suamiku bertanya dan menghampiriku.

"Ada. Ini Yah." Aku melepaskan salah satu peniti di kerudungku.

Sekejap, ia mengambil sendalku. Beruntungnya adalah peniti yang aku gunakan ukuran cukup besar dan alhasil sementara menyelamatkan sendalku.

"Alhamdulillah, makasih Yah." Rasanya seperti baru lepas dari ujian sekolah, Plong.

Suamiku hanya tersenyum melihat aku kegirangan. 

"Jangan lincah-lincah ya, nanti sendalnya gak kuat." Ucapnya sambil cepat-cepat mengajakku masuk ke ruang boarding.

Ah, bahagia sekali rasanya tidak percuma sendal ini putus, karena aku bisa melihat bagaimana suamiku tanggap membantu isterinya. 

Aku hanya senyum-senyum sendiri. Ini sebenarnya bukan pertama kali juga aku ada masalah dengan sendal. Teringat kejadian saat masih kuliah. Entah bagaimana caraku berjalan, tiba-tiba sendal jepitku lepas dan jatuh ke dalam got samping pintu masuk area kampus. Antara bingung dan malu tapi rasanya aku tidak bisa berbuat apa-apa.

"Milea, kok bisa?" Respon Cika, sahabatku yang berjalan di samping.

"Gak ngerti." Jawabku sambil nyengir. Antara pengen nangis tapi juga pengen ketawa melihat sebelah sendalku sudah nyebur got.

"Hahaha...asli kamu kocak banget, bisa-bisanya itu sendal bisa lepas." Tiba-tiba Cika tertawa terbahak-bahak.

Orang-orang yang kebetulan melintas ikut melirikku.

"Ssssstttt, jangan kenceng-kenceng ketawanya. Malu." Aku mencubit tangannya Cika.

"Aww...sakit, sakit. Hehehe iya iya." Jawabnya masih ketawa.

"Kamu langsung ke kampus aja, aku pergi dulu." Aku langsung lari tanpa menunggu persetujuan Cika. Tujuanku satu, balik kosn mengambil sepatu. 

***

"Jangan senyum-senyum sendiri. Ayo minum dulu." Suamiku sudah menyodorkan segelas minuman kepadaku.

"Terima kasih."

Bandara internasional terlihat lebih lengang, berbeda dengan penerbangan domestik. Setelah mengantar adikku cek in, aku dan suami bergegas ke luar. Cuaca malam ini sepertinya lebih gelap. Masih terlihat suasana syahdu selepas hujan. Aroma yang khas, setelah hujan.

"Bogor...bogor." Suara Bapak di depan itu sontak membuat suami beranjak dan menarik lenganku.

"Ayo, mumpung ada bus Damri sekarang kita pulang aja. Kalau gak sekarang nanti harus nunggu bus berikutnya."

Terus terang aku baru saja menikmati suasana malam. Namun akhirnya aku ikut berlari juga. Tepat saat kaki kananku menginjak anak tangga pertama pintu busnya, kaki kiri yang masih di bawah tiba-tiba terasa berat, terinjak seseorang.

"Jeprutttt..."

"Yaa...putus. Ayah?" Sontak aku berbalik dan melihat tali sendalku yang sudah copot. 

"Sorry, gak sengaja sayang." Jawab suamiku sambil tersenyum ke arahku. Mukanya yang babyface membuatku ingin mencubitnya. Lihat saja, bagaimana kisah sendalku yang terulang lagi.

"Mohon maaf jadi naik Mbak sama Mas nya?" t

anya Pak kondektur.

"Oh, iya Pak, jadi." Jawab suamiku. 

"Bunda masuk duluan."

Hmmm, aku akhirnya masuk ke dalam Bus dengan mentengteng sendalku.

Rasa maluku akhirnya tertutupi saat busnya mulai jalan dan lampu pun mati.

"Bun, coba sini penitinya." Suamiku berbisik.

"Gak bawa, Yah. Lagian ini sendal lebih tebal karetnya dibanding yang sebelum-sebelumnya." Jawabku.

"Masa gak bawa peniti? Bunda kan pakai kerudung."

"Lah, ini namanya pastan Ayah. Pasmina instan, jadinya gak pakai peniti." Jawabku.

"Oohh...ternyata ada ya kerudung yang gak pakai peniti." Ucapnya polos.

"Wah, gak ada cara lain. Gimana ini?" Lanjutnya seolah bertanya pada dirinya sendiri.

Ada rasa kesal sebenarnya, bagaimana bisa dia menginjak sendalku sekuat itu. Tapi melihatnya merasa bersalah, aku rasanya tidak sanggup untuk marah.

"Udah Yah, gak apa-apa. Santai aja, toh gak ada yang lihat sendal Bunda copot, gelap." Ucapku ringan. 

Padahal sebenarnya pikiranku sudah menerawang ke depan. Bersiap-siap merencanakan apa yang harus dilakukan pada saat nanti turun. Berlari ke parkiran, cari mobil dan langsung masuk. Tentu saja dengan satu catatan tanpa sendal. Yang terpenting adalah menyiapkan mental dan muka tebal ini, lupakan malu. 

"Setelah sampai Bogor, Ayah beliin sendal baru." Bisiknya kepadaku.

Aku hanya tersenyum membalas niat baiknya. Perjalanan kali ini sungguh di luar prediksi. Memang perlu untuk legowo dengan situasi yang terkadang tidak mendukung, nikmati saja. Satu hal yang tidak akan berubah, aku tetap suka sendal jepit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun