Mohon tunggu...
Winda Sasmito
Winda Sasmito Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat sastra

Karena Menulis adalah Menenangkan Hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Senja

30 Oktober 2021   10:53 Diperbarui: 30 Oktober 2021   10:55 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gadis Senja. Aku menyebutnya seperti itu. Ketidaksengajaan menghafal kebiasaannya dalam beberapa minggu ini. Menangkap damai dari sosokmu yang pendiam. Kau selalu datang saat langit mulai menampakkan semburat jingganya. Memilih tempat bagian kanan di taman kafe ini. Tepat menghadap ke barat. Menikmati rona kemerahan, menyaksikan gradasi yang mengagumkan. 

Dua cangkir cappuccino panas selalu kamu pesan. Menemanimu duduk termenung menatap langit, sendiri. Ya sendiri... Aku jelas melihatnya selalu seperti itu setiap hari. 

Apakah kau sedang menunggu seseorang? Atau? Ahh...lelaki mana yang tega membiarkan seorang wanita anggun sepertimu menunggu lama. Ingin rasanya aku menyapamu, tetapi seseorang seperti aku tak berani melakukan itu. Hanya menatapmu dengan berbagai pertanyaan dalam benakku. 

Anehnya aku pun melakukan hal yang sama sepertimu, menatap jingga dari siluet wajahmu. Hingga aku tersadar kau telah pergi selepas matahari sempurna menghilang. 

Kulihat selembar kertas tertinggal di mejamu.

"Cappucinomu sudah dingin, besok kusiapkan lagi untukmu..."

Deg!!!

***

Hari ini aku kembali siap meracik kopi dengan aroma yang selalu istimewa dan tentunya kubuat dengan penuh kasih sayang.

"Halo Banyu" tiba-tiba suara melengking milik sahabatku, Anggit membuyarkan lamunanku.

"Dasar, ngagetin aja." Aku mencoba kembali fokus dengan kopi-kopi di depanku.

"Dilarang ngelamun menjelang magrib, hati-hati loh nanti kesambet." Ucap Anggit sambil tertawa renyah.

Aku hanya geleng-geleng kepala. Dialah sahabat kecilku yang sampai saat ini masih selalu menemaniku, lebih tepatnya menggangguku. Entah itu di rumah, di kampus, hingga tempat kerja. Rasanya yang kulihat hanya muka jailnya saja yang sering bersliweran di depan mata. Terkadang aku merasa ingin sekali menghindarinya, sehari saja. Tetapi Anggit tetap saja selalu ada alasan untuk menemuiku.

Seperti biasa, aku selalu membiarkan Anggit duduk di cafe ku sambil menikmati kopi buatanku. Setelah itu, dia akan asik sendiri dengan tumpukan buku yang selalu dibawanya. Tentu saja, jika dia sudah membuka buku maka tugasku hanya satu, menunggunya selesai baca.

Langit jingga mulai tampak menghiasi langit. Ada perasaan gelisah dalam hatiku. Sepertinya gadis senja itu tidak muncul, sudah hampir 30 menit lebih dari biasanya, sama sekali tidak ada tanda-tanda ia akan datang.

"Kamu sedang menunggu orang?" tiba-tiba Anggit sudah berdiri di depanku.

"Tidak. Tidak menunggu siapa-siapa?" Jawabku.

"Jelas-jelas dari tadi kamu lihat jam terus. Masih mau berbohong?" Anggit sewot menampilkan muka sok tahunya yang kumat lagi.

"Capuccino panasnya 2 ya."Suara seorang gadis yang beberapa hari ini membuatku penasaran.

"Oke, siap. Ditunggu ya." Jawabku dengan ramah. Namun seperti biasa gadis itu hanya membalasku dengan anggukan kepala, kemudian diam dan pergi selepas membayar di kasir.

Kusiapkan pesanannya dengan cepat. Sebenarnya ada partnerku yang biasa gantian, namun entahlah khusus gadis ini adalah sebuah kesempatan yang tidak boleh aku lewatkan.

"Silahkan kopinya. Sendirian saja, Mbak?" tanyaku sambil meletakkan 2 cangkir kopi hangat di depannya.

Dia menoleh kepadaku, tetapi tidak menjawab. Tatapan matanya yang teduh membuatku jadi tidak enak hati karena sudah bertanya yang tidak seharusnya.

"Maaf, silahkan. Selamat menikmati." Aku berkata sambil meninggalkannya sendiri.

 Tentu saja ada perasaan tidak puas. Apa salahnya bertanya, meskipun dia mau menjawab atau tidak. Tapi semakin diamati semakin membuat hatiku penasaran. Untuk apa dia memesan dua cangkir kopi, sementara selalu datang sendirian?. 

Selepas senja, biasanya ia akan pergi dan meninggalkannya begitu saja. Dan aku akan menghitung mundur, setengah jam dari sekarang.

"Apa gadis itu menarik perhatianmu?" Tiba-tiba Anggit menepuk pundakku, membuyarkan lamunan yang penuh tanda tanya.

"Mmmm, susah untuk aku jelaskan," Jawabku sambil tersenyum. 

"Kalau tertarik, dekatin. Ajak kenalan, bisa tanya nama dan alamatnya. Kalau tidak tertarik? Jangan dilihatin terus, nanti bisa-bisa kamu kena sanksi karena membuat orang tidak nyaman."Lanjut Anggit.

"Haha bisa aja. Mana ada undang-undangnya begitu." Jawabku.

"Eeehh, jangan salah jelas ada. Kesalahan pertama kamu ngeliatin orang terus tanpa izin. Kedua kamu nyakitin hati orang yang ada disampingmu." Anggit berkata seolah tanpa koma dan titik.

"Di sampingku?" 

Aku tertawa. Sudah jelas di sampingku hanya ada Anggit. Sejak kapan Anggit bisa sakit hati. Yang aku tahu, Anggit selalu mengejekku habis-habisan. Dia selalu bilang kalau aku tidak punya keberanian untuk menyukai seseorang. Ya memang benar juga, sampai saat ini aku belum pernah mempunyai pacar atau paling tidak orang yang aku sukai. Kalau dipikir-pikir aneh juga ya. Mengapa justru gadis senja yang aneh itu yang menarik perhatianku. 

Langit jingga mulai meninggalkan peraduannya. Lampu warna warni siap menyuguhkan keindahannya. Malam mulai datang ditemani bintang-bintang yang siap menghiasi langit. 

Banyu menatap meja di sudut taman sebelah kanan. Gadis itu masih sendiri. Tak berselang lama, ia beranjak dan siap-siap meninggalkan tempatnya. Banyu bergegas ke arahnya.

"Sudah mau pulang, mbak?" Tanya Banyu ragu-ragu.

Dia hanya mengangguk.

"Jika tidak keberatan bolehkah kita berkenalan? Saya Banyu." Lanjut Banyu.

"Saya Anggit." Tiba-tiba Anggit sudah mendekati gadis itu. Banyu hanya bisa melotot kepada Anggit, yang dibalasnya dengan senyum jahilnya.

"Salam kenal, aku Aya" Ucap gadis itu dengan sopan.

"Nama yang simple dan cantik, Aya." Kata Anggit dengan ramah. 

Kadang Banyu heran, mengapa Anggit selalu terlihat mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Bahkan Aya terlihat ramah kepada Anggit.

"Terima kasih." Jawab Aya sambil tersenyum. Ah, mengapa senyum itu rasanya begitu mendamaikan hatiku. Padahal aku tahu, ia tersenyum ke Anggit bukan padaku.

"Aya lagi nunggu seseorang? Kopinya sudah disiapkan 2." Kata Anggit dengan polosnya sambil duduk di samping Aya.

Aya hanya menggeleng.

"Dia tidak akan pernah datang lagi." Jawab Aya. Raut mukanya berubah, jelas terlihat kesedihan yang luar biasa. Aya menunduk, kemudian diam. 

Aku sungguh rasanya ingin menjitak Anggit. Bagaimana mungkin Anggit bisa bertanya seperti itu. 

"Maaf ya Aya, temanku ini suka sok tahu." Banyu berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba sunyi.

"Tidak apa-apa. Mungkin, hari ini adalah terakhir kalinya juga aku minum kopi di sini." Aya terlihat memainkan gelasnya.

"Tempat ini adalah favorit dia. Tetapi aku jarang mau menemaninya. Aku egois, hingga akhirnya aku baru menyadari begitu kehilangannya." Aya menjelaskan.

"Maksudnya? Pacarmu?" Tanya Anggit to the point.

Aya mengangguk.

"Tepatnya calon suamiku. Undangan pernikahan kami bahkan baru selesai dicetak. Tepat di hari itu, kami berjanji bertemu di cafe ini tetapi takdir berkata lain. Tuhan memanggil dia." Ucap Aya lirih.

Kulihat kesedihan begitu mendalam di wajah Aya. Inikah yang membuatnya selalu memesan 2 cangkir kopi?. Banyu merasa bersalah karena ia mengganggapnya gadis aneh. Namun dibalik itu semua, ia melihat sebuah ketegaran dan kekuatan yang dikumpulkan olehnya.

"Maafkan Aku dan temanku yang sudah lancang bertanya dan membuatmu mengingat kesedihanmu lagi. Semoga baliau tenang di alam sana." Banyu mencoba menghibur Aya. Sementara Anggit terlihat diam dan ikut merasakan kesedihan Aya.

"Terima kasih. Tidak apa-apa." Jawab Aya.

"Maaf Aku tidak bisa lama lagi di sini. Aku hanya bisa berpesan, hargailah orang yang paling kalian sayangi, hargai pasangan kalian. Terkadang kita tidak tahu berapa lama waktu yang tersisa untuk bisa bersama." Lanjut Aya sambil pamit dan meninggalkan aku dan Anggit yang masih termangu. 

Aku dan Anggit saling berpandangan. Mengapa tiba-tiba menjadi canggung. Anggit terlihat buru-buru meninggalkanku sendiri. Ia duduk di kursinya. Entah...rasanya baru pertama kali juga aku menatap Anggit dengan benar. Dari balik tumpukan buku Anggit terlihat sangat manis.

"Apakah pesona gadis senja tergantikan oleh Anggit si jahil itu?" batin Banyu.

Ah, hidup memang misteri. Terkadang ada yang pergi, ada pula yang datang. Aneh, sama seperti perasaanku sendiri yang tidak bisa ditebak.

Senja yang indah, ia datang sejenak namun setelah itu pergi dengan sendirinya, menyisakan sunyi. Namun tidak kali ini, aku merasa ada yang lebih berwarna, menatap langit dengan orang yang selama ini selalu ada untukku. Anggit. Apakah ini Cinta?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun