Aya hanya menggeleng.
"Dia tidak akan pernah datang lagi." Jawab Aya. Raut mukanya berubah, jelas terlihat kesedihan yang luar biasa. Aya menunduk, kemudian diam.Â
Aku sungguh rasanya ingin menjitak Anggit. Bagaimana mungkin Anggit bisa bertanya seperti itu.Â
"Maaf ya Aya, temanku ini suka sok tahu." Banyu berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba sunyi.
"Tidak apa-apa. Mungkin, hari ini adalah terakhir kalinya juga aku minum kopi di sini." Aya terlihat memainkan gelasnya.
"Tempat ini adalah favorit dia. Tetapi aku jarang mau menemaninya. Aku egois, hingga akhirnya aku baru menyadari begitu kehilangannya." Aya menjelaskan.
"Maksudnya? Pacarmu?" Tanya Anggit to the point.
Aya mengangguk.
"Tepatnya calon suamiku. Undangan pernikahan kami bahkan baru selesai dicetak. Tepat di hari itu, kami berjanji bertemu di cafe ini tetapi takdir berkata lain. Tuhan memanggil dia." Ucap Aya lirih.
Kulihat kesedihan begitu mendalam di wajah Aya. Inikah yang membuatnya selalu memesan 2 cangkir kopi?. Banyu merasa bersalah karena ia mengganggapnya gadis aneh. Namun dibalik itu semua, ia melihat sebuah ketegaran dan kekuatan yang dikumpulkan olehnya.
"Maafkan Aku dan temanku yang sudah lancang bertanya dan membuatmu mengingat kesedihanmu lagi. Semoga baliau tenang di alam sana." Banyu mencoba menghibur Aya. Sementara Anggit terlihat diam dan ikut merasakan kesedihan Aya.