Mohon tunggu...
winda ikariyani
winda ikariyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan siapa-siapa

Proses belajar tidak pernah berhenti sampai nafas ini berhenti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Pemisah Mimpi

30 November 2021   11:55 Diperbarui: 30 November 2021   12:20 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataku terpejam. Seseorang membangunkanku, menggoyangkan tubuhku berkali-kali. Tanpa mengeluarkan suara, satu katapun. Aku yakin itu pasti Mina. Malam baru saja dimulai, tapi dia membangunkanku saat aku ingin merajut mimpi. Aku tetap tidak ingin membuka mata. Akhirnya dia menyerah setelah berulangkali mencoba membangunkanku. Ah, sudahlah biarkan saja. Aku ingin memulai mimpi.

            Menarik selimut, aku terlelap mengarungi lautan mimpi. Bersama dengan khayalan malam merajut kisah bahagia. Bermain di langit ditemani dengan bintang-bintang yang berkelap kelip  bersama ayah, ibu dan juga Mina. Untung saja tadi aku tidak terbangun. Mungkin aku tidak bisa bermimpi indah seperti ini.  Dalam mimpi aku dan Mina merasa sangat bahagia. Bukan hanya dalam mimpi saja, dalam dunia nyata kami juga sangat bahagia.

            Sejak kecil aku dan Mina selalu bersama. Meskipun, di usia remaja kami harus ditinggal kedua orang tua untuk selamanya. Itu tidak menjadi alasan untuk mengakhiri hidup kami. Selagi kami masih bersama, segala kesedihan dan penderitaan tidak akan menjadi beban yang berarti. Kami saling berbagi, saling menguatkan, saling menghibur, dan saling bersama.

            Mimpi tidurku ini benar-benar indah. Membuatku tidak ingin membuka mata, mengakhiri cerita. Gelak tawa aku, ayah, ibu dan Mina sangat manis dan hangat untukku pada malam ini. Kebersamaan ini yang ingin selalu aku rasakan, walau hanya sekedar mimpi yang tidak nyata.

            "Kak, kamu harus turun dari langit sekarang!" pinta Mina tiba-tiba. Saat aku sedang asyik bermain dengan ayah dan ibu.

            Aku hanya diam. Tidak mengerti dengan Mina yang tiba-tiba memintaku untuk turun.

            Tangan Mina memegang tanganku. "Cepatlah, Kak!" pintanya lagi. Menatapku dengan bola matanya yang indah. Nanar saat memandangku.

            Aku tersenyum tipis. Aku yakin Mina hanya bercanda. "Memangnya kenapa, Mina? Aku masih mau bermain kalian di sini," jelasku dengan sedikit tertawa kecil.

            "Kau harus turun sekarang, Kak!" tegas Mina kepadaku.

            "Kau menyuruhku untuk turun. Lalu bagaimana denganmu, Min?" tanyaku.

            Mina menghela nafas sejenak. Membalikan badan dariku. Berjalan maju, mejauh. Tidak ingin menatapku yang sedang bertanya padanya. Masih terdiam, seperti menahan sesuatu dalam dirinya.

            "Aku tetap di sini, Kak," ucapnya datar padaku.

            Aku tertegun dengan jawaban Mina. Aku sangat yakin Mina sedang bercanda. Aku mendekatinya perlahan dari belakang. "Maksudmu? Aku tidak mengerti, Min. Kau pasti bercanda." selidikku pada Mina yang masih membelakangiku.

            "Tidak, Kak. Aku tidak bercanda. Aku tetap di sini dan kau harus turun dari langit sendiri sekarang, Kak!" tegas Mina.

            Aku menggelengkan kepala, masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mina. "Tidak-tidak kau pasti bercanda. Ayah, ibu lihat! Mina memintaku untuk turun dari langit sendiri. Sedangkan kalian masih ada di sini." Mataku beralih memandang ayah dan ibu. Mereka diam tanpa mengatakan apapun. Sesuatu menahan mereka untuk berkata. Hatiku berbisik, Apakah yang dikatakan Mina itu berarti benar?

            "Sudahlah, Kak. Cepat turunlah sekarang!" Mina memintaku lagi untuk pergi.

            "Tidak. Aku akan tetap di sini bersama kalian. Mengapa kau begitu memaksaku, Mina?" Aku benar-benar curiga dengan Mina. Sejak tadi dia memintaku untuk turun dari langit.

            "Sekarang bukan waktumu, untuk berada di sini, Kak. Mengertilah!" Kini Mina membalikan badan. Menatapku, matanya sudah berubah. Menelaga. Begtu juga dengan ayah dan ibu.

            "Maksudmu? Aku semakin tidak mengerti, Mina?" tanyaku penuh penasaran dengan sikap Mina padaku.

            Mina mendekatiku. Tangannya memegang bahuku. "Aku mohon maafkan aku, Kak. Kau harus tetap berada di sana. Ini bukanlah waktumu." Mina mendorongku, menjatuhkanku dalam lubang hitam.  Wajah ayah, ibu dan Mina memudar bersama lubang hitam yang perlahan menutup. Aku terjatuh. Terbangun dari tidur.

            Aku terkejut. Setiap orang yang bermimpi jatuh pasti akan terkejut ketika bangun. Nafasku tersengal-sengal. Keringat dingin mengucur di sekujur badanku. Mimpi itu begitu nyata. Indah dan menyakitkan. Aku duduk memandangi Mina yang masih tidur di sampingku. Syukur, hanya mimpi bukan kenyataan. Aku mengatur nafas dan menarik selimutku kembali. Melanjutkan tidur malam.

***

            Mataku terbangun. Bukan karena Mina membangunkanku. Sinar matahari meraba-raba jendela. Menyapa mataku yang terpejam. Aku terbangun dengan mata sedikit rabun. Mengumpulkan kesadaran. Menengok ke samping untuk melihat seseorag yang selalu ada ketika aku bangun. Namun, seketika aku membelalakan mata. Mina tidak ada. Duduk terkesiap. Mengusap-usap kedua mata. Memastikan apa yang aku lihat tidak salah. Kembali memejamkan mata dan membukanya. Mina tetap tidak ada.

            Aku membuang selimut. Beranjak ke ruang tamu. Tetap tidak ada. Halaman depan, tidak ada bedanya. Tiba di dapur, aku lega ternyata Mina sedang menyiapkan makanan. Aku sangat takut mimpiku tadi malam menjadi kenyataan. Akan tetapi, baru kali ini Mina bangun lebih awal dari aku. Bahkan sepagi ini dia sudah menyiapkan sarapan. Mina yang merasa aku sedang berdiri memandanginya. Melihat kearahku.

            "Kau sudah bangun, Kak?" tanya Mina sambil tersenyum manis padaku. Tangannya masih berjumpalitan menyiapkan sarapan.

            Berjalan perlahan, medekati Mina. Aku menarik kursi makan. Duduk memandangi Mina yang baru kali ini sibuk menyiapkan sarapan untukku. "Ada apa denganmu, Min? Tidak seperi biasanya  kamu bangun awal dan menyiapkan sarapan untukku?"

            "Tidak ada apa-apa, Kak. Aku hanya ingin melayanimu sesekali," ujar Mina dengan  tersenyum.

            "Ah, tidak usah. Selama ini aku sudah terbiasa melakukan ini semua. Lagi pula aku merasa senang bisa mengurusmu."

            "Maka dari itu, Kak. Aku ingin sesekali yang mengurusmu. Selagi masih ada waktu," ujar Mina datar.

            Aku mengernyitkan dahi mendengar kalimat Mina yang terakhir. "Maksudmu selagi ada waktu?" tanyaku penuh curiga.

            Tangan Mina seketika berhenti ketika mendengar pertanyaan dariku. Terdiam tanpa menjawab apapun. Lagi-lagi Mina membalikan badan, mengalihkan pandangannya padaku seperti dalam mimpi. "Bukan apa-apa, Kak. Maksudku kalau kau nanti tidak mengizinkan aku untuk mengurusmu lagi. Tentu aku tidak mempunyai waktu untuk mengurusmu," jawab Mina  dengan kembali tersenyum. Senyum yang terpaksa.

            "Oh, seperti itu," ucapku mengerti maksud Mina. Meskipun, dalam hatiku ada keraguan dengan jawabannya itu.

            Kini Mina membalikan badan. Menghidangkan sarapan di atas meja. "Baiklah, mari kita bersama!" ajak Mina. Tangannya lagi-lagi sibuk menghidangkan makanan di piringku.

            "Aku bisa sendiri. Kau tidak perlu sampai seperti ini," ucapku seakan tidak menyukai sikap Mina yang terlalu mengurusku. Sebenarnya aku memang tidak menyukainya. Mina hanya tersenyum tidak menjawab apapun. Aku mulai menyantap makanan yang dibuat Mina. Saat makanan mendarat di lidahku rasanya sangat lezat. Ditambah lagi yang memasak ini adalah adikku yang amat sangat kusayangi. Aku memejamkan mata. Mengunyah perlahan, merasakan semua rasa yang ada di dalam lidah. Sangat sempurna.

            "Bagaimana rasanya, Kak? Apakah tidak enak?" tanya Mina penasaran. Wajahnya tampak sekali ketakutan. Aku diam sejenak.

            "Sssaaannggggaaattt enak," jawabku singkat.

            "Benarkah?" tanyanya lagi. Tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Aku hanya menganggukan kepala sambil menikmati makanannya.

            Mina tersenyum senang sekali dengan jawabnku. "Aku senang kalau kakak menyukainya. Oh, ya, Kak. Aku ingin seharian ini  bermain di laut tempat kita bermain dulu."

            Aku memberhentikan kunyahanku. Menelannya langsung ke dalam perut. "Kenapa kamu tiba-tiba ingin ke sana?"

            "Aku hanya ingin bermain saja. Sepertinya kita juga sudah lama tidak main di sana."

            Aku menganggukan kepala. "Baiklah, tapi makanlah dulu!" pintaku pada Mina. Aku kembali mengambil makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Begitu juga dengan Mina. Kami lanjut makan bersama.

***

            Cuaca hari ini begitu cerah. Sebiru langit dan air laut, sebirunya hari ini. Aku dan Mina bermain-main ceria. Mulai dari membuat istana pasir, kejar-kejaran sampai memercikan air satu sama lain. Gelak tawa membaluti laut dan pasir putih. Sampai tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Matahari yang tadi aku berada di atas kepala kini sudah berada di bawah bayangan kaki laut. Mengakhiri permainan kami. Sebelum aku dan Mina pulang, kami ingin menikmati jejak keindahan matahari sebentar.

            "Kak, bila kau sebagai bumi. Apakah kau sedih apabila ditinggal matahari?" mata Mina masih memandangi kepergian matahari. Begitu juga denganku.

            "Mungkin," jawabku singkat. Tentu semua orang akan sedih bila ia ditinggalkan oleh sesuatu yang menyinari hidupnya, itu yang ada di dalam pikiranku.

            "Seharusya kau tidak perlu sedih, Kak. Meskipun, sinar matahari tidak lagi menyinari bumi. Bukan berarti ia pergi. Matahari masih bersama dengan bumi, tapi hanya saja bumi tidak bisa melihat di keberadaannya. Jarak yang memisahkan mereka. Namun, sejatinya mereka sangat dekat. Jauh bukan terletak pada jarak dan tempat, tapi pada ingatan dan do'a. Bila tidak pernah terbayang dalam ingatan dan tidak pernah melangitkan do'a. Bahkan berada sedekat apapun itu akan tetap terasa jauh," ucap Mina dengan jelas. Kata-kata yang Mina lontarkan benar-benar indah seperti sinar senja yang akan lenyap. Aku hanya terdiam.

***

            Malam kembali datang. Aku dan Mina mengisi malam yang panjnag dengan tidur seperti biasanya. Sebelum aku tidur, kupandangi wajah Mina lamat-lamat yang sudah terlelap tidur. Dalam sekejap mataku ikut tertutup menyusul Mina. Selang beberapa lama, aku yang semula tidur tidak merasakan apa-apa. aku kembali bermimpi persis seperti kemarin malam. Namun, kali ini mimpi itu benar-benar terasa nyata. Aku kembali terbangun. Melihat Mina yang masih tidur di sampingku.

            Kali ini hatiku mendorongku untuk membangunkan Mina. Aku sedikit menggeserkan badanku, membangunkan Mina perlahan. Namun, tidak respon apa-apa. Mina hanya terdiam tidak terbangun atau sekedar menjawab panggilanku. Perasaanku semakin kalut tidak menentu. Aku memeriksa nafas hidung Mina. Berharap ada hembusan nafas yang keluar, tapi tidak aku rasakan sama sekali. Tangisku pecah. Mina pergi meninggalkaku. Menyusul ayah dan ibu. Pergi ke langit.

            "Mengapa kau tidak mengajakku, Mina?" jeritku Memecah keheningan malam.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun