Di Seladang Cafe, Sadikin seperti menemukan stylenya. Lelaki yang tak pernah memotong rambutnya ini pernah menguji nyali dan fisiknya . Caranya cukup ekstrim dan beresiko,yakni  berenang  di Danau Luttawar dari Timur ke Barat.
Dari Kecamatan Bintang hingga ke Takengon. Rute sepanjang 17 kilometer ini dilakukan Sadikin sendiri dan berhasil.
Sukses mengelola Seladang Cafe yang kini memiliki sembilan orang karyawan dan habiskan tiga kilo kopi arabica sehari, Gembel ternyata masih resah.
Resah karena jurang antara petani kopi dan pengusaha begitu lebar dan dalam. Padahal, banyak dari petani kopi yang menjadi anggota koperasi.
Dimana hampir semua koperasi kopi Gayo setiap tahun mendapat milyaran uang dari premium fee.
Premium fee ini diperoleh masing masing koperasi yang menjual kopinya di luar negeri dan konon dikembalikan kepada petani dalam berbagai bentuk bantuan fisik.
Namun,setiap tahun keadaan petani tak jua berubah. Masih miskin secara ekonomi dan berutang untuk berbagai keperluan rumah tangga pada toke kopi di kampung.
Menurut Gembel, ada jalur yang hilang dan terputus antara petani dan koperasi. Jika selama ini, kebanyakan premium fee dipakai untuk bangunan fisik dan berbagai pelatihan menaikkan sumber daya petani serta studi banding, hal itu belum mampu menaikkan ekonomi petani kopi Gayo secara nyata.
Lantas, dari balik  rambut gondrongnya , Gembel mencoba berbagi ide yang diharap menjadi salah satu solusi.
Dana milyaran rupiah per koperasi tersebut tidak lagi untuk fisik semata. Tapi ditata lebih apik dan bervisi ke depan dengan mengikuti perkembangan jaman dan teknologi.
Para pengurus koperasi harus mulai melirik anak -anak petani kopi ini untuk ikut membiayai pendidikan mereka. Artinya, kata Gembel, seperti Kartu Jakarta Printer (KJP), koperasi membuat rekening untuk biaya pendidikan anak petani kopi.