Fauzan memeriksa senjata AK 47 itu dari laras hingga popornya. Kemudian mengokangnya setelah melepaskan magazen. Fauzan memastikan senjata tersebut siap pakai.
Sorot kamera dengan blitz menyala dari berbagai media dan tv merekam semua proses tersebut untuk diberitakan.
Kenangan penyerahan senjata tersebut masih lekat di memoriku meski telah 11 tahun silam. Apalagi sosok Sapu Arang yg tampak seperti Tarzan jika dibandingkan dengan pasukan GAM lainnya.
......
Kembali bersama Sapu Arang yang sedang bermedia sosial seraya meneguk kopi susunya. Lamat kuperhatikan setiap gerakannya. Dia kemudian membakar ujung rokok kreteknya. Menghisapnya dalam dan terus asyik dengan smartphonenya. Sementara kacamata baca menempel diatas hidungnya.
Merasa bahwa dia sedang benar-benar santai, aku menyambanginya. Aku menyatakan padanya ingin berdiskusi tentang keadaannya sekarang. Keadaan secara ekonomi setelah menyatakan ikut turun gunung dari cita -cita merdeka.
Kala itu, Sapu Arang bersama 12 orang pasukan GAM, sedang berada di pegunungan Kampung Rawe. Mereka didatangi dua orang anggota GAM , Husni Jalil dan Bujang Gumara (Khalidin). Sapu Arang diperintahkan untuk turun dan menyerahkan senjata karena sudah ada Memorandum of Understanding (MoU) perdamaian.
Berat bagi Sapu Arang menerima berita perdamaian ini karena mengira berita yang diterimanya adalah kata "Merdeka"
Meski sudah damai, Sapu Arang tetap ekstra hati-hati. Dari Kampung Rawe, Sapu Arang menyeberangi Danau Luttawar menuju Kampung Kelitu di bagian Utara Danau.
Dari Kelitu, memanjat gunung terjal Kelitu menuju Bener Meriah disebelahnya. Lewat hutan berakhir  Ujungni Mpan.
Dikatakan Ibnu Sakdan alias Sapu Arang, secara pribadi tidak setuju dengan MoU. Karena mengacu pada sejarah Aceh yang mendeklarasikan menjadi sebuah negara Merdeka terpisah dari NKRI sejak tahun 1976. Berpuluh tahun mereka berjuang untuk merdeka.