Mohon tunggu...
Win Ruhdi Bathin
Win Ruhdi Bathin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani kopi

saya seorang penulis, belajar menulis.....suka memoto, bukan fotografer...tinggal di pedalaman Aceh sana. orang gunung (Gayo). Kini coba "bergelut" dengan kopi arabika gayo olahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kombatan Pemetik Kopi

10 Oktober 2017   22:49 Diperbarui: 10 Oktober 2017   23:15 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sapu Arang, asyik bermedia sosial

Dia datang sendiri. Berkendara roda dua. Kami menyebutnya honda. Walau mereknya yamaha atau suzuki. Terkadang dia datang mengenderai mobil. Lelaki kekar berkulit gelap ini mengenakan jaket. Seperti kebanyakan lelaki di sini. Setelah memarkirkan hondanya, dia mengucap salam sambil mengangkat tangan. Menyalami enam orang yg sudah duduk terlebih dahulu di warkop yg kini disebut cafe.

Mereka saling kenal. Lelaki yg dulu gondrong tak terurus ini langsung menuju ruang belakang kafe setelah menaiki dua anak tangga. Dia duduk di kursi kayu bermeja berbahan pinus yg digosok bak kaca. Mengeluarkan kaca mata baca, dan mengotak atik medsosnya.

"Kopasus sara . Lah kul gelase yoh..."kata lelaki beranak enam ini agak berteriak. Kami yg duduk agak jauh darinya terbahak. Dia adalah Ibnu Sakdan. Seorang mantan kombatan asal Kenawat Luttawar.

Di kafe ini, selain berkelakar dan bercerita ngalor ngidul, Sapu Arang juga suka bermain catur. Di cafe ini, Sapu Arang sering melihat permainan catur seorang Master Nasional , Irwandi MN.

....

Kami enam orang. Tiga kenderaan roda dua. Dari Takengen mengarah ke sebuah lokasi yg sudah ditentukan di pinggiran Simpangtige.

Dari Simpangtige, kami diminta mengarah ke Delungtue. Sebuah kampung paling dekat dengan hutan. Ujungni Mpan

Kenderaan pemandu kami berganti. Kini sebuah honda bebek yg dikemudikan remaja. Sesekali sang pemandu melihat ke belakang ke arah kami sambil terus mengemudikan hondanya.

Mata warga kearah kami yang memasuki kampung mereka seperti peluru yang menghujam. Apalagi kenderaaan dan rupa kami yang tidak mereka kenal. Namun kami yang bekerja membuat berita tentu paham situasi ini. Darurat militer dan darurat sipil yg mereka alami menjadikan mereka super hati-hati, takut dan semua hal yg bersifat menindas.

Jika kami memandangi warga dan bertemu mata, mereka buru buru menunduk dan segera berlalu. Kontak apapun dengan orang yg tidak mereka kenal akan dihindari. Kesalahan masyarakat sekecil apapun bisa menjadi sebab kematian. Nyawa yang berharga murah dalam konplik. Dengan mayat -mayat yang dibuang di pemukiman, membuat warga trauma stadium akut.

Semakin lama, pemukiman semakin jarang rumah penduduknya. Hingga tiba di ujung kampung . Disana hanya ada tiga atau empat rumah yang saling terpisah di pinggir jalan yang rusak.

Pemandu berhenti . Kamipun berhenti. Pemandu meminta kami memasuki sebuah rumah kosong. Sebagian dinding rumh yang tidak terurus ini tidak ada lagi. Sehingga pemandangan dari rumah menembus ke luar. Sang pemandupun pergi entah kemana.

Lama kami menunggu tidak ada yang datang. Kemudian muncul beberapa laki -laki yang sebagian ke arah sawah tak jauh dari rumah  tempat kami berdiam.

Sebagian lainnya berjalan melewati rumah dan kemudian hilang. Mereka  melihat ke arah kami kemudian pergi tak berucap apapun.

Setelah hampir dua puluh menit, barulah muncul seorang lelaki bertubuh sedang. Kulitnya putih. Mata sedikit sipit. Mengenakan tas ransel di punggungnya, berbaju kemeja lengan pendek dan celana katun , kakinya bersepatu bak pegawai.Gayanya persis anak kuliah.

Dia melempar senyum ramah. Kamipun tersenyum menyambutnya. Dialah "Abang Gajah", julukannya di hutan sebagai gerilyawan. Nama aslinya Fauzan Azima. Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Linge.

Semua kami bersalaman. Fauzan menyatakan bahwa semua pasukan GAM diperintahkan menyerahkan senjata. Penyerahan senjata tersebut dilakukan secara bergelombang di Ujungni Mpan.

Fauzan memperlihatkan senjata yang telah diserahkan anggotanya. Kebanyakan AK 47 yang dikenal sangat efektip dan jarang macet. Meski kontak senjata dilakukan seharian.

Saat senjata laras panjang buatan Rusia tersebut ditunjukkan, sepasukan Prajurit GAM lainnya yang baru tiba datang menghadap.

Fauzan kemudian memerintahkan anggotanya yang telah tiba beberapa hari sebelumnya untuk menyiapkan meja dan buku guna mendata senjata.

Saat penyerahan tersebut, tampak sosok Sapu Arang menenteng senjata AK 47. Wajahnya sangar. Berbaju kemeja putih yang sudah kusam. Rambutnya gondrong hingga sebahu dan tampak terpilin karena tak pernah disisir. Pandangannya tajam dan penuh curiga.

Sapu Arang memberikan senjatanya pada Fauzan yang terlihat lebih kecil di banding Sapu Arang yang terlihat lebih tinggi dan tegap.

Fauzan memeriksa senjata AK 47 itu dari laras hingga popornya. Kemudian mengokangnya setelah melepaskan magazen. Fauzan memastikan senjata tersebut siap pakai.

Sorot kamera dengan blitz menyala dari berbagai media dan tv merekam semua proses tersebut untuk diberitakan.

Kenangan penyerahan senjata tersebut masih lekat di memoriku meski telah 11 tahun silam. Apalagi sosok Sapu Arang yg tampak seperti Tarzan jika dibandingkan dengan pasukan GAM lainnya.

......

Kembali bersama Sapu Arang yang sedang bermedia sosial seraya meneguk kopi susunya. Lamat kuperhatikan setiap gerakannya. Dia kemudian membakar ujung rokok kreteknya. Menghisapnya dalam dan terus asyik dengan smartphonenya. Sementara kacamata baca menempel diatas hidungnya.

Merasa bahwa dia sedang benar-benar santai, aku menyambanginya. Aku menyatakan padanya ingin berdiskusi tentang keadaannya sekarang. Keadaan secara ekonomi setelah menyatakan ikut turun gunung dari cita -cita merdeka.

Kala itu, Sapu Arang bersama 12 orang pasukan GAM, sedang berada di pegunungan Kampung Rawe. Mereka didatangi dua orang anggota GAM , Husni Jalil dan Bujang Gumara (Khalidin). Sapu Arang diperintahkan untuk turun dan menyerahkan senjata karena sudah ada Memorandum of Understanding (MoU) perdamaian.

Berat bagi Sapu Arang menerima berita perdamaian ini karena mengira berita yang diterimanya adalah kata "Merdeka"

Meski sudah damai, Sapu Arang tetap ekstra hati-hati. Dari Kampung Rawe, Sapu Arang menyeberangi Danau Luttawar menuju Kampung Kelitu di bagian Utara Danau.

Dari Kelitu, memanjat gunung terjal Kelitu menuju Bener Meriah disebelahnya. Lewat hutan berakhir  Ujungni Mpan.

Dikatakan Ibnu Sakdan alias Sapu Arang, secara pribadi tidak setuju dengan MoU. Karena mengacu pada sejarah Aceh yang mendeklarasikan menjadi sebuah negara Merdeka terpisah dari NKRI sejak tahun 1976. Berpuluh tahun mereka berjuang untuk merdeka.

Namun karena perintah atasan, yakni Panglima GAM Wilayah Linge, Sapu Arang melaksanakan perintah tersebut. Sapu Arang bersama pasukannya adalah Pengawal khusus Panglima Linge.

Menurut Sapu Arang, setelah MoU. Perekonomian masyarakat semakin baik. Begitu juga untuk diri dan keluarganya. Namun yang paling penting adalah kini bisa menetap hidup bersama keluarganya.

Tidak "merantau" atau berpindah-pindah karena bergerilya. Setelah MoU, Sapu Arang pernah merasakan menjadi kontraktor dari proyek BRR Aceh (Badan Rehab dan Rekon).

Saat itu, sebutnya, lsm asing banyak membantu program pemberdayaan bagi Kombatan. Menurut sejarah Aceh, proses perdamaian antara RI dan para pejuang kemerdekaan Aceh, berlangsung sejak dulu. Setelah damai, di era sebelumnya, banyak Kombatan yang diberdayakan menjadi anggota TNI.

Setelah masa rehab dan Rekon Aceh yang dibuat paska  gempa dan tsunami Aceh, Sapu Arang kemudian bekerja di kebun kopi miliknya di Kenawat. Selain bertani, Sapu Arang ikut berpolitik bersama partainya gubernur terpilih Aceh saat ini. Sejak dideklarasikan.Aceh kini dipenuhi parlok yang tumbuh subur, selain parnas.

Kini, dari enam orang anaknya, tiga orang sudah meraih gelar sarjana. Jika Aceh bergolak lagi, Ibnu Sakdan menyatakan tidak akan ikut lagi menjadi pemberontak. Bahkan mewanti-wanti anaknya untuk tidak ikut atau terpengaruh menjadi pemberontak.

Menurut Sapu Arang, para pemimpin Aceh yang mendeklarasikan negara merdeka tidak amanah dan tidak bisa dipercaya. Karena mengganti cita-cita merdeka dengan perdamaian. Untuk itu, Sapu Arang tidak akan pernah lagi ikut menjadi pemberontak. "Sudah cukup. Saya tidak akan pernah ikut lagi. Termasuk anak saya",kata Sapu Arang sambil tertawa.

Selain itu, Sapu Arang berharap butir-butir MoU yg sudah disepakati agar dilaksanakan oleh semua pihak demi keberlangsungan damai Aceh.

Kini, Sapu Arang yang dulu setia memeluk AK 47 selama berpuluh tahun didalam hutan dengan ratusan kali kontak tembak yang terkadang sampai seharian. Sapu Arang kini mencekal cangkul dan parang.

Tangan kokoh itu kini tak lagi menarik pelatuk yang mematikan. Tapi, sudah mulai memetik merahnya buah kopi Arabika yang ditanamnya setelah MoU.

Sapu Arang kini tak lagi memburu atau diburu. Tapi sudah hidup tenang bersama anak istrinya di sebuah rumah sederhana di Kampung Jerawat Lut.

Kini Sapu Arang tetap "berperang" memindahkan bidak -bidak catur di kafe sambil meneguk Kopi susu dan membakar tembakau sambil tertawa ....

Sebuah kemerdekaan hidup yang tidak lagi terkungkung doktrin......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun