Dia datang sendiri. Berkendara roda dua. Kami menyebutnya honda. Walau mereknya yamaha atau suzuki. Terkadang dia datang mengenderai mobil. Lelaki kekar berkulit gelap ini mengenakan jaket. Seperti kebanyakan lelaki di sini. Setelah memarkirkan hondanya, dia mengucap salam sambil mengangkat tangan. Menyalami enam orang yg sudah duduk terlebih dahulu di warkop yg kini disebut cafe.
Mereka saling kenal. Lelaki yg dulu gondrong tak terurus ini langsung menuju ruang belakang kafe setelah menaiki dua anak tangga. Dia duduk di kursi kayu bermeja berbahan pinus yg digosok bak kaca. Mengeluarkan kaca mata baca, dan mengotak atik medsosnya.
"Kopasus sara . Lah kul gelase yoh..."kata lelaki beranak enam ini agak berteriak. Kami yg duduk agak jauh darinya terbahak. Dia adalah Ibnu Sakdan. Seorang mantan kombatan asal Kenawat Luttawar.
Di kafe ini, selain berkelakar dan bercerita ngalor ngidul, Sapu Arang juga suka bermain catur. Di cafe ini, Sapu Arang sering melihat permainan catur seorang Master Nasional , Irwandi MN.
....
Kami enam orang. Tiga kenderaan roda dua. Dari Takengen mengarah ke sebuah lokasi yg sudah ditentukan di pinggiran Simpangtige.
Dari Simpangtige, kami diminta mengarah ke Delungtue. Sebuah kampung paling dekat dengan hutan. Ujungni Mpan
Kenderaan pemandu kami berganti. Kini sebuah honda bebek yg dikemudikan remaja. Sesekali sang pemandu melihat ke belakang ke arah kami sambil terus mengemudikan hondanya.
Mata warga kearah kami yang memasuki kampung mereka seperti peluru yang menghujam. Apalagi kenderaaan dan rupa kami yang tidak mereka kenal. Namun kami yang bekerja membuat berita tentu paham situasi ini. Darurat militer dan darurat sipil yg mereka alami menjadikan mereka super hati-hati, takut dan semua hal yg bersifat menindas.
Jika kami memandangi warga dan bertemu mata, mereka buru buru menunduk dan segera berlalu. Kontak apapun dengan orang yg tidak mereka kenal akan dihindari. Kesalahan masyarakat sekecil apapun bisa menjadi sebab kematian. Nyawa yang berharga murah dalam konplik. Dengan mayat -mayat yang dibuang di pemukiman, membuat warga trauma stadium akut.
Semakin lama, pemukiman semakin jarang rumah penduduknya. Hingga tiba di ujung kampung . Disana hanya ada tiga atau empat rumah yang saling terpisah di pinggir jalan yang rusak.