Kini, gayo menjadi sebuah kawasan yang maju soal kopi arabika.Mulai dari cara olah, mesin kopi, seduh manual hingga mesin roasting serta reparasi mesin yang rusak. Tumbuh dan berkembang kian pesat.
Di sebuah rumah sederhana di komplek SPG lama Takengen, Win Dagok, mereparasi berbagi jenis mesin kopi. Dari buatan China hingga Italia. Tidak lagi harus dikirim ke Jakarta atau Medan seperti dahulu. Berubah.
Gayo, kini menjadi tempat berkumpulnya orang dan tehnologi kopi. Daerah yang berpenduduk ratusan ribu orang ciptakan mikro ekonomi tersendiri dengan nilai triliyunan setiap tahun di tingkat petani dan pedagang. Style gayo.
Sektor kopi pula yang menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar bagi dua Kabupaten, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kopi gayo, sudah dieksport sejak seratusan tahun lebih yang lalu oleh Belanda melalui VOC ke Erofa. Bersama komoditi lainnya, seperti teh, kentang dan getah ni uyem (pinus mercusi).
Belanda, yang menjajah Aceh kala itu, sengaja membuka jalan ke Bireuen dengan sistim kerja paksa (Rodi), demi mengangkut hasil bumi gayo ke luar. Selain hasilkan komoditi yang unggul, gayo juga dijadikan Belanda kawasan peristirahatan karena iklim dan panorama.
Hanya saja, sayang, seribu sayang, sejak seratus tahun lebih kopi gayo menjelajah dunia, kopi arabika gayo belum memiliki kebun induk dan lembaga penelitian kopi gayo. Semua dilakukan secara alami tanpa peran berarti Pemda yang mengambil retribusi dari setiap kopi gayo yang dikirim ke luar daerah.
Menu di gayo ini begitu menggugah selera. Sayang si koki tak pandai mengolahnya. Sang koki terjebak dan dilenakan dari susu fee yang lezat dan membuatnya tak harus berfikir dan bekerja, demi dan untuk restoran yang sudah dibuatnya.
---
Win Ruhdi Bathin