“Kami sudah sangat bangga padamu.”
“Aku ingin kalian mencintaiku seperti semua orang mencintaimu, mbak!”
“Aku sangat mencintaimu, nduk[7]. Apakah itu tidak cukup?”
Nafasku berat mendengar kalimatnya. Tiba-tiba beberapa gambar mengerikan muncul di kepalaku, mesin-mesin besar, alat-alat berat, kontraktor, kecerobohan mandor, Pasar Klewer yang sedang direnovasi…
“Mbak, dimana anakku?”
Ia tak menjawab.
Wajahnya selalu terlihat tenang dan dingin, mirip sekali wajah ibuku. Ah ibu, aku rindu sekali...
“Sebagai kakak, aku betul-betul telah gagal.” Berkata dia, pelan, hampir tak terdengar, diiringi helaan nafas panjang.
Aku menitikkan air mata. Aku genggam tangannya. Kedamaian mengalir dalam sanubariku.
“Tidak, mbak. Mbak adalah nabi bagiku, panutan dalam hidupku. Aku hanya ingin menjadi manusia bebas, dan itu tersandung karena aku masih melihatmu sebagai nabiku. Dalam setiap detik nafasku aku memujamu. Aku selalu ingin menjadi sepertimu. Akulah yang telah gagal.”
Tiga puluh tahun nafasku, tidak pernah aku mengungkapkan isi hati dan pikiranku dengan kalimat sepanjang itu. Tidak pernah terjadi dalam keluarga kami mencurahkan hati dengan kalimat-kalimat lengkap dan jelas. Semua serba tak terkatakan.