Mohon tunggu...
Winarti Perry
Winarti Perry Mohon Tunggu... -

do not believe in anything I say about myself before you know me

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maha Dewi[ku]

6 Mei 2011   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


**


Ketika aku gagal mengikuti jejak kakakku, bapak tidak menunjukkan perasaan kecewa; ibu hanya terlihat sedikit kesal dan menghubungkan kegagalan ini dengan seringnya aku jalan dengan Sigfried, temanku sejak kecil yang gejalanya ingin jadi pastur. Entah kenapa aku mensyukuri kegagalanku yang barangkali pahit bagi bapak dan ibu. Namun kekecewaan mereka segera hilang dengan pengumuman UMPTN yang menyusul tiga minggu kemudian. Berangkatlah aku ke Surabaya dengan segudang cita-cita.


Kakak menyambut kedatanganku dengan kebahagiaan yang tak terucapkan. Tapi, dua hari kemudian aku dibawa ke kantornya dan dipamerkan ke teman-temannya sealumni.


“Ini adikku Indar. Diterima di Teknik Sipil, tidak mau jadi pegawai negeri seperti kakaknya. Kalian jangan coba macam-macam deh, dia jago taekwondo, seleranya tinggi, dan sudah punya pacar.”


Aku malu sekali dan risih dengan kalimat dan sikapnya yang kelewatan. Aku rasa ia makin menyerupai ibu, hanya saja lebih norak. Tapi jika bukan karena dia, aku tidak mungkin bisa berdiri di situ, saat itu. Mungkin aku sudah putus sekolah sejak SMP, atau kawin sesudahnya, dan beranak pinak sekarang.


“Kalau kamu mau naik gunung, atau beli kaset, atau nonton konser, ya kerja sana. Mbak Endah tidak menyediakan budget untuk begituan.”


Itu terjadi di semester pertama ketika aku ingin ini itu. Cukup dua kali kakakku mengatakan demikian, dan bekerjalah aku serabutan.


“Kamu ini biasa hidup enak, biasa terima fasilitas dari aku, dan ndak punya tanggungan, jadi begitu itu kamu: banyak maunya. Punya selera kayak orang kaya. Ndak inget bapakmu mung[5] tukang becak?”


Ternyata ada masanya juga ketika aku betul-betul tidak tahan hidup berdua dengan dia, tidak tahan dengan kata-kata pedas yang sering keluar menyikapi kemauanku. Kalau sudah begitu aku akan ‘ngelayap’ kemana saja agar sejenak jauh darinya. Namun, meski tiga per empat dari masa kuliahku ada dia di sampingku—seperempat sisanya dia menikah dan pindah ke Bandung ikut suaminya—tetap saja masa kuliah adalah masa paling indah dan paling membahagiakan dalam kehidupanku. Masa dimana yang aku pikirkan hanyalah kuliah, bergaul dan melihat dunia.


**


Dan sekarang, dia duduk terpekur di sampingku, diam, pandangannya menerawang, ekspresinya datar. Tadi terdengar sayup-sayup dia berbicara di telepon,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun