Mohon tunggu...
Winarti Perry
Winarti Perry Mohon Tunggu... -

do not believe in anything I say about myself before you know me

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maha Dewi[ku]

6 Mei 2011   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dibesarkan di pasar ini: Klewer. Ibu pernah berjualan di samping tangga yang memisahkan lantai dasar dan atas. Semula kami menjual sandal dan sepatu, lalu beralih ke tas, balik ke sandal lagi, dan terakhir batik-santung murahan. Dulu, pedagang kali lima masih sedikit jumlahnya. Kami harus selalu siap diusir dan barang dagangan diporakporandakan oleh satib pasar. Dua puluh lima tahun yang lalu, hal seperti itu sangat horor dan menteror di benakku.


Aku masih ingat dulu, di pasar ini, seorang penjual jambu air menangis memohon iba satib-satib yang menjungkirkan tenggok[1]-nya hingga tumpah semua ke lantai. Aku juga masih ingat ketika suatu sore ada operasi mendadak dan ibu buru-buru mengerahkan kami, anak-anaknya, untuk tutup dasaran. Kepalan tanganku yang kecil berusaha meraih sandal-sandal dan memasukkannya ke plastik dengan cepat. Kakakku lebih sigap. Gesit ia memasukkan dagangan ibu ke karung sambil matanya mengawasi satib-satib di kanan kiri. Aku heran, setiap kali kakakku yang ini bersama kami, mereka tidak pernah berani mendekat.


Lain hari, ketika hanya ada aku, ibu, dan kakak pertamaku, seluruh dagangan ditumpahkan oleh satib ke lantai yang kotor akibat hujan. Aku menahan tangis, ketakutan melihat bapak-bapak yang terlihat jahat di mataku. Kakakku baru datang setengah jam kemudian dan langsung marah begitu melihat aku menangis.


“Kenapa nangis? Diam! Cengeng banget sih kamu!”


Lalu sambil menyelesaikan ikatan tali karung ia terus ngomel, “Kalau mereka tahu kamu lemah begini, mereka akan senang dan terus menginjak kamu.”


Setelah itu aku tidak pernah lagi berani menangis, setidaknya tidak di depan dia.


Dia punya kebiasaan memulung plastik bekas dari tempat-tempat sampah. Awalnya hanya sekedar untuk ditukarkan dengan krupuk seplastik yang harganya lima puluh rupiah. Suatu hari dia menemukan amplop berisi duit seribu lima ratus rupiah. Girang sekali melihat uang yang begitu banyak, ia lari menuju ibu yang sedang mengemasi dagangan. Lalu amplop berisi duit itu pun diberikannya pada ibu.


Sejak hari itu, sudah menjadi kebiasaan di jam-jam menjelang tutup dasaran, aku ikut dengannya memulung plastik, berharap mendapat temuan duit lagi. Sudah tidak bisa dihitung keberuntungan yang dilimpahkan pada kakakku ini. Dari uang receh, uang kertas, bungkusan baju baru tak bertuan, sampai benda-benda lain yang tidak pernah ada di rumah kami seperti jam tangan, tempat pensil, dan juga buku cerita. Kami melihat pasar ini dengan tempat-tempat sampahnya layaknya taman indah yang ada di rumah tetangga kami di kampung sebelah. Rumah besar dengan taman bunganya yang cantik itu pasti sama menyenangkannya dengan tempat kami menemukan uang dan benda-benda bagus di pasar ini.


Seluruh anggota keluargaku senang kalau kakakku ini menemukan sesuatu. Lalu mereka akan mengatakan, “Wah, Ndah, kamu ini memang pembawa rejeki. Mudah-mudahan kelak kamu jadi orang dan tetap berbakti.” Dan aku sendiri pun akan terheran-heran; ada saja yang dia temukan. Sementara aku tidak pernah menemukan apa-apa, di tempat yang sama, di waktu yang sama.


“Endah tidak nemu apa-apa hari ini, pak. Yang itu temuan Indar. Ya kan, Ndar” Dia memandangku; matanya memberi tanda untuk diam.


Dia selalu begitu. Sudah sering dia berbohong demi aku. Sudah sering dia meninggikan aku di hadapan bapak dan ibu. Dan aku pun diam tidak membantah ataupun mengiyakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun