Mohon tunggu...
Winarti Perry
Winarti Perry Mohon Tunggu... -

do not believe in anything I say about myself before you know me

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maha Dewi[ku]

6 Mei 2011   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku dibesarkan di pasar ini: Klewer. Ibu pernah berjualan di samping tangga yang memisahkan lantai dasar dan atas. Semula kami menjual sandal dan sepatu, lalu beralih ke tas, balik ke sandal lagi, dan terakhir batik-santung murahan. Dulu, pedagang kali lima masih sedikit jumlahnya. Kami harus selalu siap diusir dan barang dagangan diporakporandakan oleh satib pasar. Dua puluh lima tahun yang lalu, hal seperti itu sangat horor dan menteror di benakku.


Aku masih ingat dulu, di pasar ini, seorang penjual jambu air menangis memohon iba satib-satib yang menjungkirkan tenggok[1]-nya hingga tumpah semua ke lantai. Aku juga masih ingat ketika suatu sore ada operasi mendadak dan ibu buru-buru mengerahkan kami, anak-anaknya, untuk tutup dasaran. Kepalan tanganku yang kecil berusaha meraih sandal-sandal dan memasukkannya ke plastik dengan cepat. Kakakku lebih sigap. Gesit ia memasukkan dagangan ibu ke karung sambil matanya mengawasi satib-satib di kanan kiri. Aku heran, setiap kali kakakku yang ini bersama kami, mereka tidak pernah berani mendekat.


Lain hari, ketika hanya ada aku, ibu, dan kakak pertamaku, seluruh dagangan ditumpahkan oleh satib ke lantai yang kotor akibat hujan. Aku menahan tangis, ketakutan melihat bapak-bapak yang terlihat jahat di mataku. Kakakku baru datang setengah jam kemudian dan langsung marah begitu melihat aku menangis.


“Kenapa nangis? Diam! Cengeng banget sih kamu!”


Lalu sambil menyelesaikan ikatan tali karung ia terus ngomel, “Kalau mereka tahu kamu lemah begini, mereka akan senang dan terus menginjak kamu.”


Setelah itu aku tidak pernah lagi berani menangis, setidaknya tidak di depan dia.


Dia punya kebiasaan memulung plastik bekas dari tempat-tempat sampah. Awalnya hanya sekedar untuk ditukarkan dengan krupuk seplastik yang harganya lima puluh rupiah. Suatu hari dia menemukan amplop berisi duit seribu lima ratus rupiah. Girang sekali melihat uang yang begitu banyak, ia lari menuju ibu yang sedang mengemasi dagangan. Lalu amplop berisi duit itu pun diberikannya pada ibu.


Sejak hari itu, sudah menjadi kebiasaan di jam-jam menjelang tutup dasaran, aku ikut dengannya memulung plastik, berharap mendapat temuan duit lagi. Sudah tidak bisa dihitung keberuntungan yang dilimpahkan pada kakakku ini. Dari uang receh, uang kertas, bungkusan baju baru tak bertuan, sampai benda-benda lain yang tidak pernah ada di rumah kami seperti jam tangan, tempat pensil, dan juga buku cerita. Kami melihat pasar ini dengan tempat-tempat sampahnya layaknya taman indah yang ada di rumah tetangga kami di kampung sebelah. Rumah besar dengan taman bunganya yang cantik itu pasti sama menyenangkannya dengan tempat kami menemukan uang dan benda-benda bagus di pasar ini.


Seluruh anggota keluargaku senang kalau kakakku ini menemukan sesuatu. Lalu mereka akan mengatakan, “Wah, Ndah, kamu ini memang pembawa rejeki. Mudah-mudahan kelak kamu jadi orang dan tetap berbakti.” Dan aku sendiri pun akan terheran-heran; ada saja yang dia temukan. Sementara aku tidak pernah menemukan apa-apa, di tempat yang sama, di waktu yang sama.


“Endah tidak nemu apa-apa hari ini, pak. Yang itu temuan Indar. Ya kan, Ndar” Dia memandangku; matanya memberi tanda untuk diam.


Dia selalu begitu. Sudah sering dia berbohong demi aku. Sudah sering dia meninggikan aku di hadapan bapak dan ibu. Dan aku pun diam tidak membantah ataupun mengiyakan.


“Oh ya?” Kata bapak kemudian sambil menoleh ke arahku, pendek, dan selesai.


Jika tiba saat makan, kami duduk berkumpul di atas gelaran tikar di lantai. Sering, ibu membedakan jatah makanan anak-anaknya. Aku tidak mengerti kenapa demikian. Bagianku lebih sedikit jika dibanding bagian kakakku. Tapi hal seperti itu tidak berpengaruh apa-apa sebab pada akhirnya kakakku selalu menyembunyikan jatahnya untuk kemudian diberikan padaku.


Pernah juga, kami ramai-ramai ke rumah bibinya bapak di Boyolali; Mbah Galak kami menyebutnya. Bapak mau pinjam uang untuk biaya perkawinan kakak tertuaku. Meski tidak terlalu jelas kata-kata dari dalam kamar, aku mendengar bapak dimarahi Mbah Galak. Ada sedikit kata-kata terdengar seperti “anak tiri”, “bojomu ndak menaruh hormat sama bibimu ini” dan beberapa umpatan lain yang aku tidak mengerti.


Tapi simbah tetap seorang nenek yang baik hati; dia selalu membagikan uang kepada kami, cucu kemenakan. Kami diberi dengan jumlah yang berbeda-beda. Aku tidak ingat berapa, tetapi yang jelas kakakku yang ini dapat bagian paling banyak ditambah satu stelan baju. Tidak ketinggalan kami disuguhi camilan tape ketan ijo yang enak sekali rasanya. Aku melihat kakakku yang ini diberi piring besar, sementara aku, kakak pertama dan kakak kedua diberi piring cawan kecil. Tapi, ketika Mbah Galak kembali ke dapur, semua yang ada di piring kakakku ini dibagi-bagikan ke kami bertiga dan ia berteriak minta lagi,


“Mbah, simbah, Endah minta ketannya lagi ya.”


“Cepet bener kamu makan, nok[2].” Tanya simbah sambil menuangkan sebungkus lagi ketan ijo ke piring kakakku.


“Enak banget mbah, di Solo ndak ada yang seenak buatan simbah.”


Kata-kata manis kakakku selalu ampuh membuat orang tua jatuh hati. Lalu mereka akan memberi apa saja yang mereka punya sebagai ungkapan sayang padanya.


“Nanti simbah bungkuskan buat kamu bawa pulang.” Lalu setengah berbisik ke arah kakakku, simbah menambahkan, “Tapi dimakan sendiri saja.”


Kata-kata simbah seperti itu tidak berasa apa-apa di telinga kami waktu itu, karena sebenarnya toh kami kecipratan juga makanannya. Tapi jika aku renungkan itu sekarang, sungguh simbahku ini seharusnya malu telah bersikap demikian. Terhadap dua kakakku yang pertama, mungkin karena tidak ada hubungan darah dengan bapak. Tapi kalau aku kan anak keponakannya juga, kenapa tetap dibedakan.


**


Dari kecil, ambisi kakakku ini sudah kelihatan sekali untuk membahagiakan keluarga. Setiap menjelang tujuh belasan atau Agustusan, dia selalu keliling dari satu RT ke RT yang lain untuk berburu hadiah. Semua lomba dia ikuti, lebih sering menang dan dapat hadiah alat-alat tulis. Pernah aku diajak ke perlombaan di kampung sebelah, lomba gigit uang yang ditancapkan ke buah pepaya dengan kedua tangan peserta diikat tali ke belakang. Disuruhnya aku memunguti uang receh yang dia jatuhkan dari pepaya itu. Senang sekali mendapat begitu banyak recehan, aku memungutinya dan menyimpannya dalam kepalan tanganku. Tapi begitu perlombaan selesai, recehan yang aku kumpulkan itu diminta oleh panitia dengan ucapan terima kasih karena aku sudah membantu. Kakakku hanya melirik saja ke arahku, dan pulangnya dia membesarkan hatiku dengan, “Sudahlah, nanti kan hadiahnya buat kamu juga. Biasanya di RT sini juara satu dapat tas.” Dan di mataku sudah membayang tas sekolah baru, hadiah dari lomba gigit uang kakakku.


Hadiah-hadiah yang banyak jumlahnya tidak pernah dia pakai sendiri, aku dan kakak nomor dua selalu diberi bagian. Dia hanya mengambil beberapa, dan sisanya dijual ke anak-anak tetangga. Lalu dengan uang hasil penjualan itu dia membeli sandal buat bapak. Masih sisa beberapa ratus rupiah dia berikan ke ibu.


**


Semua penghuni rumpet “Ngisor Sukun” tempat kami tinggal disenangkan dengan dua pohon milik Ndoro Jayeng, pemilik kontrakan. Sebuah pohon mangga yang tinggi dan lebat buahnya, dan sebuah pohon sukun yang juga selalu berbuah. Jika datang hujan, anak-anak penghuni rumpet selalu siap di depan pintu rumah masing-masing menunggu jatuhnya sukun ataupun mangga. Aku tahu kakakku ini paling tidak disukai oleh anak-anak tetangga; dia yang paling gesit dan cepat menangkap buah jatuh diantara anak-anak di daerah kami yang umumnya laki-laki. Badannya kecil, larinya cepat, sering kena tubruk dan tertindih tubuh-tubuh anak lelaki yang berebut buah. Dan dia selalu menang, membawa pulang sukun atau mangga ke rumah. Kalau sekarang aku melihat para ibu sering marah mendapati anaknya main hujan-hujan, ibuku malah senang. Karena, ketika anaknya hujan-hujan, ia akan pulang dengan sukun di tangan. Tinggal digoreng dan kami semua pun makan sukun panas yang sungguh enak dimakan ketika hujan.


Kami beberapa kali pindah kontrakan yang tidak lagi berupa rumah petak, melainkan rumah utuh yang ada satu atau dua kamarnya. Bahkan pernah kami setahun mengontrak sebuah rumah yang indah sekali. Aku paling suka dengan rumah itu dibanding kontrakan-kontrakan kami yang lain sebelum dan sesudahnya. Rumahnya kecil, dindingnya bilik bambu, ada dua kamar tidur, sebuah halaman luas yang ada beberapa pohon mangga, jambu, dan lengkeng. Dan yang paling penting, untuk pertama kalinya kami punya WC di rumah sendiri. Ibarat surga bagi kami rumah yang berkebun luas itu. Sayang kami hanya tinggal di sana setahun. Uang kontrak seratus ribu per tahun terlalu mahal bagi ibu yang warungnya kurang laku karena letak rumah tidak di pinggir jalan seperti kontrakan sebelumnya.


“Lintang alihan” adalah frase yang paling sering diucapkan kakakku yang ini yang mulai bosan pindah-pindah terus. Aku ingat, setiap kami akan berangkat tidur, dia selalu berkata padaku:


“Pokoknya aku nanti harus bisa beli rumah untuk kita semua.” Atau dia akan berkata:


“Kita harus sekolah tinggi dan di negeri, biar murah biayanya! Terus cari kerja yang bener, terus ibu ndak usah kerja lagi, bapak juga ndak usah mbecak lagi.”


“Kalau ndak narik becak bapak kerja apa, mbak?” tanyaku kemudian.


“Ya jadi juragannya tukang becak, Ndar!” jawabnya. “Nanti aku belikan dua atau tiga becak, biar tinggal terima setoran saja.”


Dan entah kenapa aku percaya dia akan bisa beli apapun yang dia mau. Keinginannya terlalu besar untuk mengalahkan kehendak alam sekalipun. Dia tidak pernah membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Uang saku dari bapak dia kumpulkan buat beli buku-buku sekolahku, sementara dia sendiri cukup meminjam temannya dan merangkum sendiri isi buku. Semua buku!


I took everything for granted then. Aku tidak pernah berpikir lebih bijaksana dari apa yang aku terima. Waktu itu aku tidak pernah berpikir kenapa dia hanya beli untukku, atau kenapa dia tidak beli baju baru untuk dirinya sendiri, atau kenapa aku selalu dibelikan segala sesuatu yang aku ingin punya. Dan dia sendiri, sepatu sekolah pun cukup beli di alun-alun utara—yang bekas pakai, hingga pernah teman-temannya patungan beli sepatu sebagai kado ulang tahun untuknya.


Kakakku kemudian pergi ke Jakarta untuk kuliah. Dia diterima di sekolah tinggi yang gratis tanpa bayar sesen pun. Aku masih di kelas dua SMP ketika dia berangkat ke ibu kota. Aku masih ingat dia di‘tumpang’kan truk ayam yang supirnya adalah tetangga belakang rumahku oleh ibu. Dia hanya dibekali rantang nasi, lauk, dan uang 15 ribu. Setelah itu hanya setahun sekali dia pulang, itu saja tidak lebih dari 3 hari.


Menjelang tahun ketiga dia merantau kuliah, dia pulang ke rumah dengan membawa bungkusan besar yang ternyata isinya adalah mini compo. Aku tidak pernah melihat benda seperti itu sebelumnya. Dan aku senang sekali ketika benda tersebut diberikan padaku. Aku juga melihat ibu menerima amplop tebal berisi uang banyak sekali. Kata kakakku:


“Bu, ini rapelan gaji dari tahun pertama sampai tahun kedua. Baru dapat sekarang. Tolong nanti dibayarkan ke Mas Bambang untuk melunasi hutang.”


Ibu memang punya hutang hingga hampir tiga ratus ribu ke Mas Bambang, tukang plecit (bank pasar) yang mengkreditkan uang ke orang-orang kampung dengan bunga 15% sebulan. Uang kreditan itu sebagian dikirim ke Jakarta untuk biaya hidup kakak tiap bulan. Rata-rata tiap bulan ibu mengirim wesel 15-25ribu.


“Endah ambil sebagian untuk sangu PKL ke Malang ya, Bu.” Lanjutnya.


Kata ‘sebagian’ yang dimaksud kakakku adalah lima puluh ribu dari jumlah sembilan ratus tiga puluh lima ribu rupiah. Ibu mengangguk. Seperti biasa, tidak ada ekspresi senang, bangga, atau bahagia di wajah ibu, datar saja. Tapi aku ingat sesudahnya, tiap kali ibu ngobrol dengan tetangga, topik pembicaraan selalu mengenai anak emasnya itu.


“Lha kalau anak saya Endah, sekolahnya ndak mbayar, malah digaji dan dijatah beras tiap bulan. Wong dasare bocahe pinter...” Dan lain-lain nada kebanggaan yang ditunjukkan oleh ibu.


Lalu malam ketika bapak belum juga pulang dari narik becak, kakakku meminta aku mengantarnya ke tempat bapak biasa mangkal. Dia mungkin sudah kangen sekali ingin ketemu, atau ingin segera bercerita tentang sekolahnya. Kini, jika aku uraikan kembali hal-hal seperti itu, ternyata kakakku bersikap demikian untuk membuat bapak bangga. Didatangi di pangkalan becak oleh anaknya yang kuliah di tempat hebat di Jakarta, anaknya yang pintar, yang pendiam, yang selalu memikirkan keluarga di atas keinginannya sendiri adalah suatu kebanggaan yang mengharukan.


Setahun kemudian dia lulus kuliah dan ditempatkan di sebuah kantor pemerintah di Surabaya. Dia sempat dua hari mampir ke Solo dan membuat kami sekeluarga lumayan kaget dengan penampilan barunya: dia berjilbab. Sejak kapan dia belajar Islam, tanyaku dalam hati tanpa pernah memverbalkannya. Bapak dan ibu biasa saja, masih tetap sayang, masih tetap datar dengan keputusan dan kehidupan anak-anaknya. Ada enaknya juga punya orang tua yang, meski buta huruf dan bodo, percaya betul dengan keputusan anaknya. Mana pernah mereka bertanya tentang kegiatan kami, atau nilai-nilai rapor kami, atau mau mengambil jurusan apa dan sekolah apa, atau kenapa tidak pernah ke gereja. Mereka hanya kenal istilah “sekolaho sing duwur!”[3], dan diiringi dengan perbendaharaan sederhana yang sangat tidak asing di telinga kami:


“Jangan sampai kamu mengalami hidup seperti bapak dan ibumu; mbarang, gresek[4], nguli, macem-macem pekerjaan dijalani.” Dan setelah itu, baik bapak ataupun ibu akan mengulang kembali cerita-cerita jaman Jepang, atau Gestok, atau banjir tahun 67 dan lain-lain hingga ribuan kali kami mendengarnya.


**


Ketika aku gagal mengikuti jejak kakakku, bapak tidak menunjukkan perasaan kecewa; ibu hanya terlihat sedikit kesal dan menghubungkan kegagalan ini dengan seringnya aku jalan dengan Sigfried, temanku sejak kecil yang gejalanya ingin jadi pastur. Entah kenapa aku mensyukuri kegagalanku yang barangkali pahit bagi bapak dan ibu. Namun kekecewaan mereka segera hilang dengan pengumuman UMPTN yang menyusul tiga minggu kemudian. Berangkatlah aku ke Surabaya dengan segudang cita-cita.


Kakak menyambut kedatanganku dengan kebahagiaan yang tak terucapkan. Tapi, dua hari kemudian aku dibawa ke kantornya dan dipamerkan ke teman-temannya sealumni.


“Ini adikku Indar. Diterima di Teknik Sipil, tidak mau jadi pegawai negeri seperti kakaknya. Kalian jangan coba macam-macam deh, dia jago taekwondo, seleranya tinggi, dan sudah punya pacar.”


Aku malu sekali dan risih dengan kalimat dan sikapnya yang kelewatan. Aku rasa ia makin menyerupai ibu, hanya saja lebih norak. Tapi jika bukan karena dia, aku tidak mungkin bisa berdiri di situ, saat itu. Mungkin aku sudah putus sekolah sejak SMP, atau kawin sesudahnya, dan beranak pinak sekarang.


“Kalau kamu mau naik gunung, atau beli kaset, atau nonton konser, ya kerja sana. Mbak Endah tidak menyediakan budget untuk begituan.”


Itu terjadi di semester pertama ketika aku ingin ini itu. Cukup dua kali kakakku mengatakan demikian, dan bekerjalah aku serabutan.


“Kamu ini biasa hidup enak, biasa terima fasilitas dari aku, dan ndak punya tanggungan, jadi begitu itu kamu: banyak maunya. Punya selera kayak orang kaya. Ndak inget bapakmu mung[5] tukang becak?”


Ternyata ada masanya juga ketika aku betul-betul tidak tahan hidup berdua dengan dia, tidak tahan dengan kata-kata pedas yang sering keluar menyikapi kemauanku. Kalau sudah begitu aku akan ‘ngelayap’ kemana saja agar sejenak jauh darinya. Namun, meski tiga per empat dari masa kuliahku ada dia di sampingku—seperempat sisanya dia menikah dan pindah ke Bandung ikut suaminya—tetap saja masa kuliah adalah masa paling indah dan paling membahagiakan dalam kehidupanku. Masa dimana yang aku pikirkan hanyalah kuliah, bergaul dan melihat dunia.


**


Dan sekarang, dia duduk terpekur di sampingku, diam, pandangannya menerawang, ekspresinya datar. Tadi terdengar sayup-sayup dia berbicara di telepon,


“Sampun kepanggih, Bu. Larene nembe dipethuk Mas Aryo. Ibu mboten sah kuatir.”[6] Beberapa saat kemudian ia mengalihkan pandangan kepadaku. “Kamu ini, Ndar, selalu bikin susah keluarga.”


“Aku kenapa, mbak? Sekarang apa lagi ulahku?”


Tak ada jawaban.


**


Aku bingung. Sepertinya belum lama aku diwisuda. Seminggu yang lalukah? Atau sebulan yang lalu? Kapan? Bapak, Ibu, dan adikku datang ke Surabaya. Tapi itu kapan? Sepertinya baru kemarin sore kakakku yang ini mendatangi aku di Jakarta dan meledak marahnya. Aku belum pernah melihat dia seemosi itu terhadap keluarganya sendiri.


“Astagfirullah, Indar, kamu sadar yang kamu lakukan?” Tiba-tiba dia sudah berdiri di kantorku, tepat di hadapanku. Dari mana dia tahu alamatku yang baru, siapa yang memberi tahu keadaanku yang lagi hamil tua begini? Hampir setahun aku tidak pulang kampung dengan banyak alasan pekerjaan untuk menutupi ‘ini’. Dan aku tidak mungkin menghindar lagi.


“Aku yang menginginkannya, mbak!” Aku berusaha mengatakan itu dengan tegas.


“Aku tak habis pikir dengan pilihan hidupmu!” Wajah kakakku terlihat kaku dan seperti tak bisa bicara. Tak ada kata-kata lagi keluar dari mulut kami setelah itu. Aku tahu betul sifatnya, hatinya, ajaran moralnya. Aku tahu betul sikapnya terhadap pendosa. Dan ia tak pernah tahu perkembangan pikiranku. Bukankah ia sendiri yang mengatakan bahwa hidup itu memilih. Lalu jika aku memilih untuk begini, lantas kenapa?


Kemudian ia pergi dengan sikap dingin dan kalimat pendek. “Kamu sudah membuktikan bahwa kamu tidak memerlukan aku lagi. Mulai hari ini, kita bukan siapa-siapa, dan kamu tidak akan pernah lagi memanggil aku mbakyumu.”


Aku diam mengiringi kepergiannya. Tak ada teriakan pun tangisan. Namun aku stress berbulan-bulan, dan kesedihanku waktu itu hampir membuatku kehilangan Kristian, buah hatiku sekarang. Tetapi, bukankah tahun-tahun gelap telah lewat?


Kapankah itu? Kristian anakku, dimana dia? Kenapa ruang dan waktu menjadi satu begini?


**


Telpon genggamnya berdering lagi,


“Mas, gimana? Ketemu alamatnya? Anaknya baru 4 tahun, Mas, jangan bicara apa-apa dulu. Bawa saja sekalian bebisiter-nya. Aku tetap di sini. Tidak, mereka tidak aku biarkan masuk. Itu tidak akan merubah keadaan. Aku kira mereka mendapat tender ini karena cara yang tidak benar. Aku pernah periksa pajak perusahaannya dan memang tidak beres…. Aku tidak tahu, Mas! Mas tahu sendiri ia tidak bisa dihubungi sekian tahun ini, semua karena salahku!”


Aku lihat matanya berkaca-kaca, wajahnya tegang.


“Mana aku tahu dia bergabung di proyek sialan ini…. Ya…ya… Mas buruan kesini! Aku takut kita…terlambat, Mas.”


Dan pembicaraan di telepon pun berhenti. Itu pasti Mas Aryo, suaminya. Ia kembali memandangku.


“Mbak membicarakan aku?”


“Kenapa harus bekerja pada pengusaha hitam itu, Ndar?”


“Aku selalu terobsesi dengan Pasar Klewer, mbak, tempat kita dibesarkan, tempat kita dulu bahagia dengan kemiskinan kita. Lalu kalau ada kesempatan besar merenovasi pasar itu, kenapa tidak ikut bergabung.”


“Kamu hanya ingin membuktikan sesuatu.”


Aku diam.


“Kami sudah sangat bangga padamu.”


“Aku ingin kalian mencintaiku seperti semua orang mencintaimu, mbak!”


“Aku sangat mencintaimu, nduk[7]. Apakah itu tidak cukup?”


Nafasku berat mendengar kalimatnya. Tiba-tiba beberapa gambar mengerikan muncul di kepalaku, mesin-mesin besar, alat-alat berat, kontraktor, kecerobohan mandor, Pasar Klewer yang sedang direnovasi…


“Mbak, dimana anakku?”


Ia tak menjawab.


Wajahnya selalu terlihat tenang dan dingin, mirip sekali wajah ibuku. Ah ibu, aku rindu sekali...


“Sebagai kakak, aku betul-betul telah gagal.” Berkata dia, pelan, hampir tak terdengar, diiringi helaan nafas panjang.


Aku menitikkan air mata. Aku genggam tangannya. Kedamaian mengalir dalam sanubariku.


“Tidak, mbak. Mbak adalah nabi bagiku, panutan dalam hidupku. Aku hanya ingin menjadi manusia bebas, dan itu tersandung karena aku masih melihatmu sebagai nabiku. Dalam setiap detik nafasku aku memujamu. Aku selalu ingin menjadi sepertimu. Akulah yang telah gagal.”


Tiga puluh tahun nafasku, tidak pernah aku mengungkapkan isi hati dan pikiranku dengan kalimat sepanjang itu. Tidak pernah terjadi dalam keluarga kami mencurahkan hati dengan kalimat-kalimat lengkap dan jelas. Semua serba tak terkatakan.


Dan ia tidak menjawab sepatah kata pun. Aku menjadi bingung ketika ia mengguncang lengan kananku:


“Indar! Adikku! Beri tanda bahwa kamu akan kembali kepada kami. Ibu sedang menuju ke sini. Bagaimana perasaannya melihatmu seperti ini?”


Seperti apa? Memangnya aku kenapa? Aku merasa tenang sekali kini. Segalanya serba ringan. Aku bahagia mbak mau menghampiriku. Aku sulit membayangkan ibu akhirnya memaafkan aku. Beban berat seperti telah lepas dari pundakku. Aku tidak lagi terbebani oleh pikiran bagaimana membesarkan anakku seorang diri, atau bagaimana reaksi ibu melihat cucunya berambut coklat dan berwajah oksidental. Aku tidak lagi memusingkan karirku, pun tak lagi stres karena pekerjaan. Proyek renovasi Pasar Klewer yang mengkondisikan aku kembali ke kota ini pun tak lagi terpikirkan olehku. Sigfried, sahabatku, kekasihku, ayahnya Kristian… Aku sudah tidak memikirkan semuanya.


Tapi, kalau aku mengingat dengan baik semua peristiwa, kenapa aku tidak bisa ingat waktunya?


Masa kecilku, Pasar Klewer, tape ketan buatan Mbah Galak, selokan ujung jalan tempat anak-anak “Ngisor Sukun” buang air besar, becak tua milik Bapak yang setiap jam 11 siang sudah ada di gerbang SD-ku, kebiasaanku meloncat naik dan menyambut uang lima puluh perak yang telah disiapkan oleh Bapak. Atau acara hujan-hujan dengan kakak-kakakku… mbakku yang ini…


Aku begitu tenang memandang wajahnya, bahagia setelah 4 tahun ini merasa dia tinggalkan.


“Maafkan mbak Endah, ya Ndar! Maafkan mbak!”


Aku bangun dan meraih lengannya, kemudian bersimpuh di pangkuannya. Tiba-tiba hatiku merasa sedih seribu kali sedih.


“Mbak kenapa berkata seperti itu? Adikmu yang selalu menyusahkan ini yang seharusnya memohon ampun. Maafkan aku, mbak...”


Aku bahkan belum berani menyebut namanya kembali.


Tapi ia tak mempedulikan aku. Ia justru menunduk menciumi seonggok tubuh tak berdaya di atas dipan itu. Aku seperti mengenal tubuh itu. Ada banyak luka di sekujur tubuhnya. Wajahnya tertutup perban; selang oksigen dan infus dialirkan melalui hidung dan lengan kirinya. Aku berusaha mengingat siapa yang terbaring di dipan itu ketika pintu diketuk dari luar. Seorang lelaki berjubah putih mempersilakan seseorang untuk masuk. Ibuu! Jeritku. Aku berlari menyambutnya. Tapi ia pun tak mempedulikan aku. Ibuku yang sudah renta. Kenapa ia malah mendekati tubuh yang kini tengah dipeluk mbak-ayuku? Lalu mereka bercakap pelan. Aku tak bisa mendengar. Aku hanya bisa mendengar tangis sedu sedan ibu dan menatap wajah sedih kakakku. Tangan ibu menggenggam kalung salib di leher tubuh itu sambil membisikkan sesuatu. Itu seperti… Dunia di sekelilingku mulai berputar; aku tercerabut oleh putaran sinar.


 

Ubud, 2005 - 2006


 


 


--------------------------------------------------------------------------------


[1] Keranjang besar terbuat dari anyaman bambu, biasa digendong di belakang.

[2] panggilan untuk anak kecil berjenis perempuan

[3] sekolahlah yang tinggi!

[4] ngamen, mulung

[5] cuma/hanya

[6] “Sudah ketemu, Bu. Anaknya sedang dijemput Mas Aryo. Ibu tidak usah khawatir.”

[7] dik/adik perempuan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun