“Sampun kepanggih, Bu. Larene nembe dipethuk Mas Aryo. Ibu mboten sah kuatir.”[6] Beberapa saat kemudian ia mengalihkan pandangan kepadaku. “Kamu ini, Ndar, selalu bikin susah keluarga.”
“Aku kenapa, mbak? Sekarang apa lagi ulahku?”
Tak ada jawaban.
**
Aku bingung. Sepertinya belum lama aku diwisuda. Seminggu yang lalukah? Atau sebulan yang lalu? Kapan? Bapak, Ibu, dan adikku datang ke Surabaya. Tapi itu kapan? Sepertinya baru kemarin sore kakakku yang ini mendatangi aku di Jakarta dan meledak marahnya. Aku belum pernah melihat dia seemosi itu terhadap keluarganya sendiri.
“Astagfirullah, Indar, kamu sadar yang kamu lakukan?” Tiba-tiba dia sudah berdiri di kantorku, tepat di hadapanku. Dari mana dia tahu alamatku yang baru, siapa yang memberi tahu keadaanku yang lagi hamil tua begini? Hampir setahun aku tidak pulang kampung dengan banyak alasan pekerjaan untuk menutupi ‘ini’. Dan aku tidak mungkin menghindar lagi.
“Aku yang menginginkannya, mbak!” Aku berusaha mengatakan itu dengan tegas.
“Aku tak habis pikir dengan pilihan hidupmu!” Wajah kakakku terlihat kaku dan seperti tak bisa bicara. Tak ada kata-kata lagi keluar dari mulut kami setelah itu. Aku tahu betul sifatnya, hatinya, ajaran moralnya. Aku tahu betul sikapnya terhadap pendosa. Dan ia tak pernah tahu perkembangan pikiranku. Bukankah ia sendiri yang mengatakan bahwa hidup itu memilih. Lalu jika aku memilih untuk begini, lantas kenapa?
Kemudian ia pergi dengan sikap dingin dan kalimat pendek. “Kamu sudah membuktikan bahwa kamu tidak memerlukan aku lagi. Mulai hari ini, kita bukan siapa-siapa, dan kamu tidak akan pernah lagi memanggil aku mbakyumu.”
Aku diam mengiringi kepergiannya. Tak ada teriakan pun tangisan. Namun aku stress berbulan-bulan, dan kesedihanku waktu itu hampir membuatku kehilangan Kristian, buah hatiku sekarang. Tetapi, bukankah tahun-tahun gelap telah lewat?
Kapankah itu? Kristian anakku, dimana dia? Kenapa ruang dan waktu menjadi satu begini?