Mohon tunggu...
Winarti Perry
Winarti Perry Mohon Tunggu... -

do not believe in anything I say about myself before you know me

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maha Dewi[ku]

6 Mei 2011   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Dari kecil, ambisi kakakku ini sudah kelihatan sekali untuk membahagiakan keluarga. Setiap menjelang tujuh belasan atau Agustusan, dia selalu keliling dari satu RT ke RT yang lain untuk berburu hadiah. Semua lomba dia ikuti, lebih sering menang dan dapat hadiah alat-alat tulis. Pernah aku diajak ke perlombaan di kampung sebelah, lomba gigit uang yang ditancapkan ke buah pepaya dengan kedua tangan peserta diikat tali ke belakang. Disuruhnya aku memunguti uang receh yang dia jatuhkan dari pepaya itu. Senang sekali mendapat begitu banyak recehan, aku memungutinya dan menyimpannya dalam kepalan tanganku. Tapi begitu perlombaan selesai, recehan yang aku kumpulkan itu diminta oleh panitia dengan ucapan terima kasih karena aku sudah membantu. Kakakku hanya melirik saja ke arahku, dan pulangnya dia membesarkan hatiku dengan, “Sudahlah, nanti kan hadiahnya buat kamu juga. Biasanya di RT sini juara satu dapat tas.” Dan di mataku sudah membayang tas sekolah baru, hadiah dari lomba gigit uang kakakku.


Hadiah-hadiah yang banyak jumlahnya tidak pernah dia pakai sendiri, aku dan kakak nomor dua selalu diberi bagian. Dia hanya mengambil beberapa, dan sisanya dijual ke anak-anak tetangga. Lalu dengan uang hasil penjualan itu dia membeli sandal buat bapak. Masih sisa beberapa ratus rupiah dia berikan ke ibu.


**


Semua penghuni rumpet “Ngisor Sukun” tempat kami tinggal disenangkan dengan dua pohon milik Ndoro Jayeng, pemilik kontrakan. Sebuah pohon mangga yang tinggi dan lebat buahnya, dan sebuah pohon sukun yang juga selalu berbuah. Jika datang hujan, anak-anak penghuni rumpet selalu siap di depan pintu rumah masing-masing menunggu jatuhnya sukun ataupun mangga. Aku tahu kakakku ini paling tidak disukai oleh anak-anak tetangga; dia yang paling gesit dan cepat menangkap buah jatuh diantara anak-anak di daerah kami yang umumnya laki-laki. Badannya kecil, larinya cepat, sering kena tubruk dan tertindih tubuh-tubuh anak lelaki yang berebut buah. Dan dia selalu menang, membawa pulang sukun atau mangga ke rumah. Kalau sekarang aku melihat para ibu sering marah mendapati anaknya main hujan-hujan, ibuku malah senang. Karena, ketika anaknya hujan-hujan, ia akan pulang dengan sukun di tangan. Tinggal digoreng dan kami semua pun makan sukun panas yang sungguh enak dimakan ketika hujan.


Kami beberapa kali pindah kontrakan yang tidak lagi berupa rumah petak, melainkan rumah utuh yang ada satu atau dua kamarnya. Bahkan pernah kami setahun mengontrak sebuah rumah yang indah sekali. Aku paling suka dengan rumah itu dibanding kontrakan-kontrakan kami yang lain sebelum dan sesudahnya. Rumahnya kecil, dindingnya bilik bambu, ada dua kamar tidur, sebuah halaman luas yang ada beberapa pohon mangga, jambu, dan lengkeng. Dan yang paling penting, untuk pertama kalinya kami punya WC di rumah sendiri. Ibarat surga bagi kami rumah yang berkebun luas itu. Sayang kami hanya tinggal di sana setahun. Uang kontrak seratus ribu per tahun terlalu mahal bagi ibu yang warungnya kurang laku karena letak rumah tidak di pinggir jalan seperti kontrakan sebelumnya.


“Lintang alihan” adalah frase yang paling sering diucapkan kakakku yang ini yang mulai bosan pindah-pindah terus. Aku ingat, setiap kami akan berangkat tidur, dia selalu berkata padaku:


“Pokoknya aku nanti harus bisa beli rumah untuk kita semua.” Atau dia akan berkata:


“Kita harus sekolah tinggi dan di negeri, biar murah biayanya! Terus cari kerja yang bener, terus ibu ndak usah kerja lagi, bapak juga ndak usah mbecak lagi.”


“Kalau ndak narik becak bapak kerja apa, mbak?” tanyaku kemudian.


“Ya jadi juragannya tukang becak, Ndar!” jawabnya. “Nanti aku belikan dua atau tiga becak, biar tinggal terima setoran saja.”


Dan entah kenapa aku percaya dia akan bisa beli apapun yang dia mau. Keinginannya terlalu besar untuk mengalahkan kehendak alam sekalipun. Dia tidak pernah membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Uang saku dari bapak dia kumpulkan buat beli buku-buku sekolahku, sementara dia sendiri cukup meminjam temannya dan merangkum sendiri isi buku. Semua buku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun