Mohon tunggu...
wily Spazio
wily Spazio Mohon Tunggu... -

Hobbi dan Ingin jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Barung-barung Bambu untuk Liza

21 Februari 2014   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:36 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BARUNG-BARUNG BAMBU UNTUK LIZA

Untuk menuju desa terpencil itu mamng sulit. Jalan darat belum ada yang menghubungkan desa itu dengan desa lain atau kota kecamatan. Satu-satunya cara adalah dengan menggunakan angkutan sungai, perahu mesin tempel. Dengan perehu tempel ini belum langsung mengantarkan ia ke tempat itu. Ia masih harus melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan sampan yang biasa digunakan penduduk. Liza memindahkan barang-barangnya dari perahu mesin tempel ke sampan untuk  menlanjutkan perjalanannya menuju desa Tebing Tinggi. Sungai ini sebenarnya cukup lebar tapi ada tempat yang sulit ditempuh, karena di tempat itu terdapat batu-batu besar yang berdekatan dan terdapat juga akar dan batang pohon besar yang sudah tumbang. “Ada beberapa lokasi yang sulit ditempuh dengan perahu yang lebih besar,” kata pendayung sampan menjelaskan.

Setelah setengah jam perjalanan Liza sampai di tempat tjuannya. Perahu sampan merapat ke tepi sungai. Disana tampak seorang lelaki berpakaian necis dan berkopiah hitam. Ia tersenyum ke arah Liza. Ia beranjak dari tempat ia berdiri lalu menyambut Liza. “Saya Kepala Desa di desa ini,” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, berjabat tangan. “Terima kasih Pak, sudah repot menjemput saya,” kata Liza. Memang kami ke sini untuk menyambut Bu Bidan. Kami sempat khawatir kalau-kalau Bu Bidan tak jadi berangkat ke sini hari ini,” jawab Kepala Desa.

Bidan Liza di bawa Kepala Desa ke rumahnya. “Untuk sementara, malam ini Bu Bidan tinggal di rumah saja. Ada Yanti, anak Bapak yang menemani nantinya. Besok baru pindah ke pustu(puskesmas pembantu).” kata Pak Kades. Liza menganngguk dan mengikuti Pak Kades menuju rumahnya.

Liza adalah Bidan kontrak yang ditugaskan pemerintah ke desa ini. Di desa ini ada sebuah puskesmas pembantu yang sudah cukup lama ada di sini. Namun saat ini pustu itu tak ada yang menghuni. Petugas kesehatan tak betah tinggal di sini, karena desa ini terletak di daerah terpencil dan sunyi. Umumnya petugas pustu pergi meninggalkan desa ini sebelum masa kontraknya habis.

Fajar mulai menyinsing di kaki langit bagian timur pertanda hari menjelang pagi. Liza bangun untuk melaksanakan shalat shubuh. Nanti ia akan pindah ke rumah dinasnya, di samping pustu. Ia mengemas-ngemas barangnya. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Sudah waktunya aku berangkat,” bisiknya dalam hati. “Pak, Bu aku pamit dulu,” katanya minta izin kepada Pak Kades dan isterinya. “Ya. Biar Yanti yang membantu Bu Bidan membawa-barang-barang,” jawab Pak Kades.

Liza berangkat menuju pustu ditemani Yanti yang menjinjing tas di tangannya. Ia membuka rumah dinasnya yang terletak di samping pustu. Bau tak sedap yang berhembus dari dalam ruangan menusuk hidungnya, karena sudah lama tak disinari cahaya dan dimasuki udara segar. Ia melayangkan pandangannya ke sekeliling pustu. Halamannya tampak bersih. Pak Kades menyampaikan kepada Liza beberapa hari lalu ia membawa beberapa orang warga untuk gotong royong membersihkannya, karena ia tahu ada petugas kesehatan baru yang akan datang. Gedung itu sebetulnya masih utuh. Hanya saja terasa agak sumpek karena sudah lama ditinggalkan penghuninya. Hari ini ia hanya menyingkirkan barang-barang yang tak perlu saja di rumah itu. Hanya ruang tempat tidur yang dibersihkannya dengan tuntas, agar dia bisa tidur agak nyaman malam ini.

Pagi-pagi Liza sudah memulai kegiatannya untuk membersihkan rumah dan ruang tempat ia akan bekerja nanti. Di bagian depan bangunan itu ada ruangan tempat yang disediakan untuk keperluan bidan melayani dan memeriksa pasiennya. Ada beberapa almari untuk menyimpan obat-obatan dan juga alamari berkas administrasi. Di bagian belakang terdapat ruangan cukup luas. Di sana terlihat  empat tempat tidur yang tak terawat, yang disediakan untuk pasien rawat inap. “Fasilitasnya masih cukup lengkap,” katanya dalam hati.

Sedang asyik membersihkan tempat kerjanya, tiba-tiba lima orang pemuda berjalan mendekat ke arahnya. “Sibuk Bu Bidan? Aku Joni. Ini teman-temanku, Ipan, Andi, Kadir dan itu Udin,” kata Joni memperkenalkan diri dan teman-temannya. “Aku Liza, yang akan bertugas di pustu ini,” kata Liza. “Ooo.. iya. Kami sengaja datang ke sini. Kalau Bu Bidan tak keberatan, kami ingin membatu membersihkan pustu ini. Biar Bu Bidan senang bertugas di sini,” ujar Joni menawarkan bantuannya. “Ooo, terima kasih kalau begitu. Dengan senang hati,” jawab Liza dengan senyumannya yang manis. Mereka segera bekerja membersihkan dan menata rumah dan ruang pustu hingga tuntas. Mereka baru selesai menjelang zhuhur. Mereka pamit. “Terima kasih, maaf telah merepotkan,” kata Liza. “Kami senang Ibu Bidan mau membantu warga di sini” ujar pemuda itu.

Kedatangan kelima pemuda tadi meberikan kesan yang baik bagi pemuda di sini. “Ternyata pemuda di sini baik dan ramah,” gumamnya dalam hati. Ini cukup menenangkan hatinya karena sebelumnya ia sempat khawatir dengan keamanannya tinggal sendirian di tempat ini. Ia terkesan dengan pemuda yang bernama Joni tadi. Ia kelihatannya seperti orang terdidik. Dari cara bicaranya Liza menangkap kesan demikian.

*********

Di Desa Tebing Tinggi ini terdapat dua buah sekolah, SD dan SMP. Muridnya masih sedikit, hanya ada sepuluh sampai 12 orang untuk setiap kelasnya. Di desa Tebing Tinggi ini hanya terdapat sekitar delapan puluhan kepala keluarga. Di samping anak-anak di desa Tebing Tinggi, sekolah ini juga menampung anak-anak dari desa tetangga yang warganya tidak sebesar penduduk desa Tebing Tinggi. Bagi yang ingin melanjutkan mereka harus meninggalkan desa ini ke kota kecamatan atau kabupaten. Kini hanya tinggal tiga orang guru yang aktif di sini, sedangkan yang duanya lagi sudah pergi, karena tak betah tinggal di tempat yang sunyi seperti desa Tebing Tinggi ini. Mereka yang bertahan adalah Parto, satu-satunya pegawai negeri yang menjabat sebagai kepala sekolah, dan Ani guru SMP yang juga diberi tugas sebagai kepala SD serta dan Susi disamping sebagai guru SMP juga mengajar di SD. Ani dan Susi masih berstatus sebagai guru kontrak, yang digaji pemerintah. Untuk sekolah dasar mereka dibantu empat tenaga sukarela asal desa Tebing Tinggi sendiri yang tamat dari SMA.  Untuk SMP masih berstatus “Satu Atap.” Gedungnya dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Kini sekolah ini baru mempunyai murid hingga kelas tujuh.

Ani, guru SMP yang juga kepala SD memilki sifat yang ramah, mudah senyum dan mudah bergaul. Ia cepat dekat dengan warga. Ia juga aktif dalam kegiatan pemuda dan pemudi di desa ini. “Kalau tak hati-hati, anak laki-laki bisa salah arti meluhat keramahan dan senyum, Bu Ani,” begitu komentar Joni kepada teman-temannya. Benar, Brandon sicowok brewok yang suka sok jagoan, merasakan itu. Ia mengira keramahan dan senyum yang sering dilontarkan Ani setiap kali bertemu diartikan Brandon sebagai “rasa suka” Ani kepadanya. Pada hal kalau kita cermati, sikap seperti itu diberikan Ani kepada siapa saja lawan komunikasinya. Karenanya, si brewok Brandon sering salah tingkah saat berhadapan dengan Ani.Ia tak segan-segan menampilkan muka cemberutnya kalau ia menyaksikan Ani sedang asyik berbicara atau berpapasan dengan pemuda lain.

Sekitar jam lima sore, Brandon datang dengan wajah merah dan sangar menuju rumah Joni. “Keluar kau Joni! Keluar. Kalau kau jantan coba hadapi aku!” teriaknya lantang. Brandon berkali-kali meriakkan tantangannya kepada Joni dengan suara yang keras. Di pinggangnya terselip sebuah pisau belati. Joni yang tak tau sebab-musabanya terkejut menyaksikan tingkah aneh si brewok ini di balik lubang dinding rumahnya. Empat pemuda tanggung yang sering mangkal di rumah Joni ikut mengintip aksi si brewok ini. Sejenak tampak pemuda ini berbisik. “Bang Joni mesti kita bela,” bisik mereka. Diam-diam mereka menuju dapur, mereka keluar dari pintu belakang. Masing-masing menggenggam sepotong kayu, yang sebetulnya disiapkan Joni sebagai kayu bakar. Mereka muncul dari belakang, masing-masing dua dari samping kanan dan duanya lagi dari samping kiri, lalu bergabung. Mereka berdiri sambil menatap Si brewok dengan mata tajam. Si brewok terkejut melihat keempat pemuda tanggung ini seakan siap untuk bertempur. “Ayo maju,” kata salah seorang dari mereka sambil menggerakkan telunjuknya. Nyali si brewok jadi kecut. “Hei si brewok, sebelum kemarahan kami memuncak, sebaiknya kamu tinggalkan tempat ini. Pergiiiii,” teriak mereka dengan suara keras. Si brewok takut, lalu lari tunggang-langgang.

Brandon pergi menemui teman-temannya yang sekali gus adalah anak buahnya. Mereka ini adala anak-anak muda pengangguran. Brandonlah yang sering mentraktir mereka ketika minum di warung kopi, dan Brandon juga yang menyediakan rokok untuk mereka. Mereka patuh bukan karena takut dengan Barnadon melainkan hanya karena berhutang budi. “Kalau kalian masih menganggap aku sebagai pemimpin kalian, kalian harus membantu aku,” katanya tegas. Mereka mengangguk seperti menyatakan kesiapan mereka. “Harga diriku tercabik-cabik karena keempat ‘anak ingusan tengik’ teman si Joni itu!” katanya memprovokasi. “Awas Joni, aku akan segera melakukan pembalasan,” katanya geram.

Esoknya Brandon dan teman-temannya menuju rumah Joni. Mereka berjalan dengan langkah buru-buru. Diantaranya ada yang menenteng kayu, ada yang membawa belati dan Brandon sendiri mebawa golok dipinggangnya. Aksi Brandon dan teman-temannya ini mengundang perhatian warga. Satu persatu mereka datang hinga akhirnya memenuhi tempat di sekitar rumah Joni. Mereka ingin tahu apa yang bakal terjadi dan apa yang akan diperbuat Brandon dan konco-konconya.  Dua orang diantara teman Brandon mengusung dan mengangkat tinggi-tinggi memperlihatkan kepada warga karton manila betuliskan “Usir mantan napi!” dan “Jangan kotori desa ini dengan koruptor.” Aksi mereka seperti aksi demo yang ditayangkan TV. Setibanyadi depan rumah Joni ia berteriak. “Keluar kamu Joni. Keluar. Aku akan mengadakan perhitungan denganmu,” ujarnya dengan suara keras. “Joni…..! Ke luar kamu. Aku akan hadapi berapapun temanmu sekarang,” tantangnya.

Joni yang sedang berada di rumah sendirian menjadi ketakutan. Ia mengunci pintu dan jendela agar mereka tak dapat masuk ke rumah. Meski dalam kondisi ketakutan, Joni tetap mangawasi gerak-gerik Brandon dan kawan-kawannya. Brandon mengarahkan wajahnya ke arah kerumunan warga. Ia berteriak lantang. “Saudara-saudara! Jangan biarkan desa kita ini menjadi tempat persembunyian mantan nara pidana! Jangan dibiarkan desa kita ini kotor oleh koruptor. Joni adalah mantan napi, koruptor,” tudingnya. Warga hanya diam, tak mengerti apa masud Brandon dengan mantan napi dan koruptor itu. “Joni adalah mantan napi karena korupsi,” teriaknya sekali lagi. “Huuuuu….!!!” teriak warga dari kelompok wanita. Brandon membelalakkan mata merahnya kepada mereka. Wanita-wanita itu diam dan takut. Tak mendapat sambutan warga, Brandon dan kawan-kawan mulai beringas. Mereka merusak tanaman yang ada di depan rumah Joni. Mereka mulai marangsek ke depan, ingin masuk ke rumah. Tiba-tiba suara sepeda motor terdengar. Pak Kepala Desa datang dan segera turun dari kendaraannya. Pak Kades berdiri di depan menghadang kelompok Brandon. Melihat Pak Kades susdah ada di depan mereka sedikit tersurut. “Ada apa kalian tiba-tiba menyerang begini?” teriak Pak Kades ke arah Barandon. “Joni itu Napi dan koruptor, Pak Kades” kata Brandon menjawab. “Usir dia dari desa ini,” pintanya lagi. “Brandon! Joni sudah menceritakan semuanya padaku. Dan aku mengizinkan dia tinggal di  desa ini, Joni adalah tanggung jawabku” ucap Pak Kades tegas. “Brandon! Bawa teman kamu pulang. Jangan ulangi lagi tindakan konyol ini. Aku tidak segan-segan menyeret kalian ke aparat keamanan,” ancam Pak Kades. Mendengar ancaman Pak Kades, Brandon dan kawan-kawan merasa kecut. Terbayang di benak mereka borgol akan melinggkar di tangan mereka. Dengan wajah pecundang mereka melangkah gontai meninggalkan rumah Joni. “Huuuuuu” teriak warga lagi. Brandon dan kawan-kawan tak peduli dengan ejekan warga. Mereka terus kabur meninggalkan tempat itu. Mereka pergi dengan rasa malu dan kecewa.

Rasa benci Brandon terhadap Joni bukan semata-mata karena ingin membersihkan desanya dari seorang penjahat yang pernah masuk bui. Tetapi justru dilatari api cemburu. Suatu ketika Brandon pernah memergoki Ani jalan bersama dan kemudian membonceng sepeda Joni ketika pulang dari sekolah. Merka tampak asyk bercerita dan tertawa mesra. Menyaksikan kejadiaan ini membuat hati Brandon terbakar api cemburu. Ia merasa Ani sudah menjadi pacarnya karena Ani selalu melempar senyum manakala bertemu dengannya. Brandon tak mau terima kalalu Joni menelikung cintanya di siang bolong begini. Dan ia tak rela kalau gadis semanis Ani jatuh ke tangan mantan narapidana seperti Joni. Brandon menggigit bibirnya, geram menahan emosinya.

Joni memang seorang pemuda mantan narapidana yang tersangkut perkara tindak pidana korupsi. Ia dalah mantan pegawai negeri instansi yang mengurus pertanian yang dianjkat sebagai bendaharawan. Sebagai pegawai yang belum kaya pengalaman ia tak kuasa menolak tekanan untuk berbuat sesuai dengan keinginan atasannya betapapun ia sadar itu tak sesuai dengan hati nuraninya dan mengandung resiko hukum.Akhirnya ia terjebak dalam tindakan pidana korupsi. Ia didakwa melakukan tindakan ikut membantu memperkaya orang lain dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan Negara. Atas perbuatanya ini ia diganjar satu tahun enam bulan kurungan. Brandon masih ingat benar dua tahun lalu ia menyaksikan wajah Joni di tayangan televisi saat ia dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan ini pula yang ia jadikan Brandon sebagai senjata untuk mengusir Joni desa Tebing Tinggi ini, atau setidaknya tersingkir dari sisi Ani, gadis yang sangat ia cintai. Namun ternyata tidak cukup ampuh untuk tujuan itu.

*********

Hari itu cuaca tampak cerah. Angin berhembus sepoi menyapu dedaunan. Di langit tampak awan putih berarak searah tiupan angin.  Tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Seperti biasa, di hari Jumat, usai shalat Azhar Joni dan kawan-kawannya pergi memancing sambil menikmati hawa sejuk di pinggir sungai yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Setelah berjalan sekitar 25 menit kea rah hulu sungai mereka sampai di tempat mereka biasa memancing. Di tempat ini masih banyak ikan yang bisa mereka pancing karena pemerintah desa membuat ketentuan larangan menangkap ikan dengan menggunakan racun atau menggunakan setrom listrik dari aki dan hanya boleh dengan cara memancing atau dengan menggunakan jala. Oleh sebab itu kelestarian dan perkembangan banyak jenis ikan di sini tetap terpelihara.

Tak terasa hampir dua jam waktu yang telah dihabiskan Joni dan kawan-kawannya karena asyik memancing. Mereka hanya memungut ikan yang sudah cukup besar. Ikan yang kecil mereka kembalikan ke sungai. Masing-masing mendapatkan lima sampai enam ekor ikan, cukup untuk konsumsi satu hari buat keluarga masing-masing.  Joni sendiri mendapatkan lima ekor, yang dibuatnya menjadi dua jinjing. Satu jinjing untuk tiga ekor untuk yang agak kecil dan dua ekor untuk yang lebih besar. “Kok dijadikan dua jinjing?,” tanya Andi heran. “Ah mau tau aja kamu urusan orang dewasa,” jawab Joni bercanda yang disambut tawa Ipan, Kadir dan Udin. Mereka lalu pulang dengan perasaan gembira dan puas dengan hasil pancingan mereka.

Senja itu Bidan Liza sedang duduk santai di depan rumah dinasnya. Lima pemuda muncul dengan menjinjing ikan di tangannya. Mereka itu adalah Joni dan kawan-lawan. Joni berjalan menuju pintu pagar pustu. “Ada Bu Bidan Liza yang lagi santai rupanya,” sapa Joni. Liza cuma tersebyum. Sebuah senyum yang teramat manis di depan mata Joni. “Bu bidan mau ikan?” tanya Joni seraya membuka pintu pagar. Percaya Lizaakan menerima, Joni langsung mendekat lalu menyerahkan seikat ikan, yang sudah sengaja dia persiapkan. “Waaaw, makan enak aku jadinya malam nanti sampai besok,” kata Liza dengan gembira menyambut pemberian Joni. “Kalau negitu, kami langsung pulang saja,” kata Joni pamit. “Baik! Terima kasih ikannya,” kata Liza. Joni balik dan berlati kecil karena ditinggal temannya. “Oooo…. Aku mengerti sekarang, mengapa mesti harus jadi dua ikat,” gumam Andi dalam hati. “Ada orang yang lagi jatuh cinta, nih,” ujar Andi balik menggoda Joni. “Skornya jadi 1-1,” sambut Ipan. Mereka tertawa bersama-sama. Kemudian mereka berpisah menuju rumah masing-masing.

Makin hari hubungan persahabatan antara Liza dengan Joni dan kawan-kawannya bertambah akrab. Liza juga sudah mendapatkan banyak teman-teman sesama wanita yang suka datang ke tempatnya untuk bermain di sore hari. Tentu saja Liza merasa senang. Ia tidak merasa sepi sendiri, karena bisa bercengkrama dan bersenda-gurau bersama teman, sambil menunggu kalau-kalau ada pasien datang yang, harus dilayaninya. Karena itu, ia semakin betah tinggal di desa ini. Desa Tebing Tinggi ini tak lagi terasa asing dan sunyi, meski jauh dari keramaian kota. Ia merasa kehadiran memiki makna, dan hidupnya terasa berarti karena membawa manfaat bagi orang banyak. Masyarakat merasa senang dengan kehadirannya. Untuk memaksimalkan layanannya kepada masyarakat Liza membentuk pos pelayanan terpadu (posyandu) di titik-titk mana masyarakat dengan mudah menjangkaunya. Bahkan ia tidak segan-segan datang sendiri ke rumah-rumah ibu hamil yang tidak sempat memeriksakan kandungannya di puskesmas atau balita yang tidak dapat diperiksa kesehatannya di posyandu. Liza setia mengunjungi posyandu sekali dalam dua minggu. Joni sering menemaninya kalau ada pasien meminta ia datang memeriksa kesehatannya di rumah.

Waktu terus berjalan. Tak terasa hamper tiga tahun ia mengabdikan dirinya untuk membangun kesehatan masyarakat di desa Tebing Tinggi ini. Itu artinya masa kerjanya sesuai  perjanjian kontrak tak lama  lagi akan habis. Seiring perjalanan waktu ada sesuatu yang tumbuh dan berkembang dalam hatinya. Persahabatannya dengan Joni semakin dekat. Ada perasaan senang dan nyaman jika berada di samping Joni. Di lubuk hati Liza mulai bersemi perasaan suka yang semakin hari semakin ia rasakan. Sorot mata Joni ketika mereka saling berpandangan menggetarkan hati Liza. Menjelang tidur, wajah Joni selalu melintas diangannya. Membayangkan kebahagiaan bersama Joni, alkir-akhir ini sudah menjadi ritual  pengantar menjelang tidurnya. Cara pandang, sikap dan tutur kata Joni menarik hatinya. Kesan ia sebagai seorang terdidik semakin kelihatan di mata Liza.

Memang Joni adalah seorang pemuda yang pernah duduk dibangku perguruan tinggi. Ia adalah jebolan diploma tiga politani. Dengan modal pengetahuan itulah ia dapat memberikan penyuluhan kepada petani untuk meningkatkan hasil usaha taninya. Gagasannya untuk kemajuan desa sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Itulah yang menyebabkan Kepala Desa sangat menyayanginya. Mengarahkan dana program pengembangan kecamatan (PPK) untuk membangun kepala irigasi untuk mengairi sawah petani lahir dari gagasan Joni. Ia pula yang memotivasi petani untuk gotong royong, bersama membangun tali bandar secara swadaya. Petani yang dulu sangat tergantung pada musim hujan, kini sudah dapat turun ke sawah secara reguler.

Hari Sabtu dan Minggu merupakan hari libur bagi Liza. Biasanya, hari liburnya diisi dengan kegiatan ringan yang bisa mebuatnya rileks. Kadang-kadang ia sengaja mengundang teman-temannya datang ke rumahnya untuk membuat makanan, lalu dinikmati bersama. Minggu-minggu sebelumya mereka bikin kue, lalu berikutnya bikin panggang ayam dan kemudian ikan bakar. Pokoknya mereka akan melakukan apa yang mereka anggap bisa membuat mereka enjoy dan happy. Tapi Minggu kali ini ia sudah berjajnji dengan Joni untuk pergi ke tempat rekreasi di pancuran tujuh. Ya, pancuran tujuh ini adalah satu-satunya tempat indah yang ramai dikunjungi pada waktu libur. Di salah satu tempat di pinggir bukit, ada gunung berbatu yang tinggi. Dari ketinggian itu memancar mata air yang tidak begitu besar. Air yang turun dari atas jatuh ke batu, berbelok-belok dan bertinggkat-tingkat hingga ke tempat paling rendah. Oleh pemerintah desa dibuatkan polongan air yang terbuat dari bambu shingga menjadi pancuran. Letak pancuran ini bertingkat-tingkat yang jumlahnya tujuh buah. Jadilah tempat ini bernama Pancuran Tujuh.

Di sekitar pancuran tujuh juga terdapat beberapa batu besar yang bagus untuk dijadikan tempat duduk bersantai-santai. Letaknya terpencar di beberapa tempat. Air yang jatuh dari pancuran tujuh itu mengalir ke sebuah sungai. Dalam batas 200 meter sungai ini oleh pemerintah desa dijadikan sebagai “lubuk larangan.” Di lubuk larangan ini warga diiarang menangkap ikan dengan cara apapun dan juga dilarang membuang sampah atau sesuatu yang dapat mengancam kehidupan ikan di sini. Ke dalam areal lubuk ini  ditaburkan bibit pilihan dari beberapa jenis ikan unggul yang cepat besar di air deras. Untuk mempercepat pertumbuhan ikan-ikan itu, awalnya pemerintah desa menyediakan pakan buatan. Namun sekarang hanya sesekali saja dilakukan, karena sejak di tata sebagai tempat rekreasi justru pengunjung dengan senang hati menaburkan makanan ringan untuk dimakan ikan. Mereka terlihat senang ketika menyaksikan ikan yang sudah besar-besar itu kejar-kejaran rebutan makanan yang ditaburkan pengunjung. Soal keamanan ikan di lubuk ini tidak lagi menjadi persoalan, karena semua warga desa sudah merasakan sebagai milik bersama. Semua merasa bertanggung jawab untuk memelihara lubuk larangan ini. Pada awal program ini, memang ada tangan-tangan jahil segelintir anak muda yang mencoba mencuri ikan untuk sekedar pesta ikan bakar. Tapi, seperti dikatakan pepatah, sepandai-pandai tupai melompat suatu saat akan jatuh juga. Begitulah, akhirnya anak muda pencoleng ikan ini tertangkap tangan juga. Mereka jadi malu sendiri. Lubuk larangan menjadi aman setelah peristiwa itu.

Kehadiran lubuk larangan di lokasi pancuran tujuh menambah indah pemandangan di sekitarnya. Pada hari-hari libur tempat ini ramai dikunjungi warga, bahkan sesekali terlihat ada pengunjung yang datang dari kota. Warga kota yang sudah bosan dengan suasana bising, merindukan suasana tenang dan nyaman memilih tempat ini sebagai tempat menghabiskan hari libur akhir pekan.  Itulah sebabnya tempat ini dijadikan sebagai tempat liburan oleh Liza dan Joni.

Joni dan Liza sampai di pancuran tujuh sekitar jam Sembilan. Matahari menyinari bumi dengan cahayanya yang terik. Untuk menghindari terik matahari mereka memilih tempat di sebuah batu besar yang ada di sebuah pohon yang rindang. Pemandangan alam di sekitar pancuran tujuh ini kelihatan indah. Burung-burung beterbangan dari satu pohon ke pohon yang lain. Mereka bercengkrama antara satu sama lian seakan ikut menikmati keindahan alam dan cerahnya mata hari menyinari bumi. Joni dan Liza duduk santai dan mengobrol.

Joni

:

“Liza…! Aku mau ngomong serius denga kamu” kata Joni memulai pembicarann dengan suara gugup.

Liza

:

“Masalah serius apa yang ingin kamu sampaikan sehingga gugup begitu?” tanya Liza.

Joni

:

“Ya….. Boleh aku bertanya padamu?” tanya Joni

Liza

:

“Iya bolehlah. Masak sama teman sendiri tak boleh bertanya,” jawab Liza santai untuk menghilangkan rasa gugup Joni.

Joni

:

“Begini…! Mungkin sedikit pribadi. Apa kamu sudah punya teman dekat,” tanyanya dengan suara agak terbata-bata.

Liza

:

“Maksudnya?” Tanya Liza dengan wajah agak heran.

Joni

:

“ Eee… Maksudnya, apakah kamu sudah punya pacar?

Liza terkejut mendengar pertanyaan Joni yang tak diduga-duga. Jantungnya berdetak yak beraturan dan lebih kencang dari ukuran nomal.

Liza

:

“Maksud Kamu?”

(Joni merubah posisi duduknya mendekat kea rah Liza. Ia meraih tangan liza lalu kedua tangannya memegang erat jemari kanan Liza)

Joni

:

“Begini…ketika pertama kali aku melihatmu kau tampak cantik sekali. Jujur kukatakan, aku suka kamu!”

Liza

:

(Liza terdiam, menatap mata Joni dalam-dalam kemudian tersebyum dan mengangguk pelan)

Joni

:

(Mengerti jawaban “Liza walau yanpa kata-kata) Tapi, kamu belum tau banyak tentang aku” kata Joni.

Liza

:

“Aku tak mengerti dengan maksudmu,” ujar Liza.

Joni

:

“Terus terang kukatakan padamu. Aku pernah khilaf yang akibatnya fatal. Aku pernah terjerumus pada perbuatan tak terpuji. Aku pernah terseret perbuatan lorupsi. Itulah sebabnya aku membuang diri hingga penghujung kampung sperti ini. Aku merasa bersalah dan malu. Aku merasa tak pantas lagi hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Apa kau tak malu punya pacar mantan napi?”

Liza

:

(Liza menggeleng) “Aku tak peduli dengan kelamnya masa lalumu. Aku hanya berharap agar masa depan kita nantinya akan lebih cerah.”

Joni

:

“Terima kasih Liza, kau memahami aku,” kata Joni seraya merangkul lengan Liza erat-erat.

Puas mengungkap perasaan masing-masing Joni dan liza beranjak dari tempat duduk. Mereka berjalan berkeliling lokasi pancuran tujuh sambil bergandengan tangan. Mereka menikmati keindahan alam dengan hati yang berbunga-bunga menghabiskan hari libur mereka hari itu.

********

Masa bakti Liza sebgai bidan desa di Tebing tinggi tak lama lagi akan habis. Itu artinya sebentar lagi Joni dan Liza akan berpisah. Ia akan pulang ke rumahnya di kota. Hatinya terasa galau. Di satu sisi, ia rindu pada papa dan mama beserta adik-adiknya. Di sisi yang lain berat hati Liza meninggalkan desa Tebing Tinggi. Banyak kenangan manis yang ia rasakan selama mengabdi di kampung ini. Dan di sini pula akan tinggal seorang pemuda dambaan hatinya. Namun ada sedikit yang menenangkan hatinya. Joni berjanji akan menemui Liza di kita suatu saat nanti.

Hari perpisahan itu dating. Joni ikut mengantar Liza di tepi sungai tempat Liza naik perahu temple untuk menyusuri sungai menuju kota. Lambaian tangan Joni melepas kepergiannya terasa menusuk hatinya. Berat rasa hati Liza meninggalkan Joni. Namun ia harus pulang, rindu dengan keluarga setelah tiga tahun ditinggalkannya. Ia memandang wajah Joni hingga hilang dari pandangannya ketika perahu temple yang ditumpanginya menyelusuri liku-liku sungai. Sepanjang perjalanan wajah Joni mengusik ingatannya. Tak terasa ia sudah sampai di pelabuhan kota.

Kedatangan Liza disambut gembira keluarganya. Papa dan mama Liza bergantian memeluk dan mencium Liza melepas rasa rindu setelah lama tak bertemu. Kesua adik Liza berjingkrak-jungkrak dan tertawa lepas menyambut kedatangan liza. Liza mendekati kedua adiknya lalu merangkkul dan mencium pipi mereka. “Waww kalian sudah besar sekarang. Kakak rindu kalian,” kata Liza. Kedua adiknya menghela tangan Liza ke dalam rumah. “Nih.. Kakak punya hadiah untuk kalian,” katanya sambil menyerahkan sesuatu yang sudah dipersiapkannya. Adik-adik Liza tampak senang. Mereka tertawa kegirangan.

Hari itu dihabiskan Liza untuk mengobrol dengan papa dan mamanya. Liza banyak bercerita tentang pengalamannya mengabdi di desa terpencil. “Kamu betah tinggal di sana,” ianya papanya. “Ternyata di kampong itu tidak sepeti yang aku duga sebelumnya. Warganya baik dan ramah. Mereka memperlakukan aku seperti anggota keluarga sendir,” jelas Liza. “Lalu, pemudanya bagaimana di situ,” sela mamanya pula. “Mereka juga baik-baik. Mereka sering membantu aku membersihkan pustu,” kata Liza memuji. “Nah..! Mama jadi curiga. Jangan-jangan diantara mereka ada yang melekat di hati kamu sehingga betah berlama-lama di sana,” kata mama Liza menggoda. “Ah… Mama ada-ada saja. Mau tau aja urusan anak muda,” balas Liza bercanda. Habis mengobrol dengan orang tua, Liza mengisi waktu dengan bermain-main dan bercengkrama dengan kedua adiknya. Tak terasa waktu magrib hampir tiba.

Usai shalat maghrib Liza makan malam bersama keluarganya. Sudah lama Liza tidak merasakan nikmatnya makan bersama. Usai makan mereka berkumpul di depan televisi hingga mata Liza terasa ngantuk. Liza pamit kepada papa dan mamanya untuk istirahat. “Permisi Pa… Ma. Aku istirahat duluan,” katanya pa,it sambil bangkit menuju kamarnya.Berkali-kali ia mencoba memejamkan matanya, namun belum juga mau tertidur. Wajah Joni mebayang-bayang diruang matanya. Namun karena lelah lama dalam perjalanan akhirnya Lizar tertidur juga.

Sudah seminggu Liza berada di rumah bersama keluarga. Itu berarti seminggu pula lamanya Liza tak bertemu Joni, sang kekasih yang ia cintai. Rasa rindu mulai mendera hatinya. “Bang Joni berjanji akan menemui aku, namun sampai kini belum juga ada beritanya,” keluhnya dalam hati. Jam di ruang keluarga menunjukkan pukul tiga siang. Liza duduk sendirian di depan TV. Tak ada acara yang menarik perhatiannya. Fikirannya masih tertuju kepada Joni. Nada suara panggilan berbunyi di ponselnya. Dengan malas ia mengangkatnya. “Oh…. Bang Joni rupanya.”

Liza

:

“Halo..! Assalamu’alaikum”

Joni

:

“Waalaikumussalam… apa kabar, sayang”

Liza

:

“Baik…. Bang! Abang dimana sekarang?”

Joni

:

“Aku di depan restoran masakan Padang. Kamu tidak sibukkan?”

Liza

:

“Tidak!”

Joni

:

“Kau mau menemui akukan?”

Liza

:

“Oke… Bang.”

Joni

:

“Baik…! Aku menunggu kamu di depan restoran”

Liza

:

“Baik… Bang.  Aku bersiap-siap dulu”

Joni

:

“Oke…! Aku tunggu. Assalamualaikum”

Liza

:

“Waalaikumusslam”

Liza berdandan secantik mungkin. Maklum, sebentar lagi dia akan bertemu dengan sang kekasih. Pa…. Ma..! Aku keluar sebentar. Ada teman menunggu,” kata Liza Pamit pada orang Tanya. “Baik, hati-hati di jalan,” pesan orang tua Liza. Liza meluncur dengan sepeda motor matiknya menuju restoran masakan Padang di mana Joni sedang menunggunya. Tak lama dalam perjalanan Liza melihat sosok pemuda yang sedang berdiri di depan restoran. Joni yang merasa sudah lama menunggu bangkit beranjak dari tempat ia berdiri, menyambut Liza yang semakin dekat darinya. Liza meletakkan kenderaannya di tempat parkir. Sebuah senyum merekah di bibir Liza seraya menatap wajah Joni. Joni balas tersenyum.

Liza

:

“Abang sudah makan?” Tanya Liza.

Joni

:

“Belum. Aku takkan makan kalau tidak bersamamu.” Jawab Joni menggoda.

Liza

:

“Ah…. Abang,” jawab Liza dengan nada manja.

Joni

:

“Yuk kita masuk!” ajak Joni seraya menggandeng tangan Liza.

Usai menikmati makanan dan minuman kesukaan, mereka berangkat mengelilingi kota. Joni memutar gas sepeda motor dengan kecepatan rendah, biar santai. Liza tampak senang membonceng di belakang Joni. Mereka asyik berbincang-bincang. Sesekali terlihat mereka tertawa senang. Mereka menuju ke tepi pantai dimana banyak anak muda dan wisatawan domestik berkunjung di sana untuk menikmati suasan sore di pinggir pantai. Di tepi pantai terdapat tenda dan bangku tempat duduk yang disediakan para penjual makanan. Ada kerupuk kuah, gulai siput, goreng kepiting, kerupuk udang yang nikmat untuk disantap. Joni dan Liza memilih untuk memesan beberapa jenis makanan, lalu membawa ke kumpulan batu yang disusun ke tengah ke tengah sebagai pemecah ombak. Hanya mereka berdua di sana. Ini membuat mereka bebas mencurahkan isi hati masing-masing.

Hari semakin sore. Senja di ufuk barat akan belabuh, ditelan bumi. Di terpa warna senja di tepi pantai membuat Susana semakin syahdu. Liza menyandarkan kepalanya di bahu Joni.

Joni

:

“Liza…! Meskipun belum bisa di katakana tua, tapi aku bukan anak remaja lagi. Kamu juga sudah menginjak umur dewas,” ujar Joni serius.

Liza

:

“Maksud Abang?” tanya Liza dengan nada agak heran.

Joni

:

“Ya, aku rasa tidak masanya lagi kalau kita berlama-lama pacaran. Sudah saatnya kita meningkatkan hubungan kita.”

Liza

:

“Jadi……?”

Joni

:

“Aku sudah siap untuk melamarmu.”

Liza

:

“Apa?”

Joni

:

“Ya…. Esok atau lusa ku akan dating melamarmu!” tegas Joni.

(Liza terkejut mendengar pernyataan Joni yang mendadak itu).

Liza

:

“Lho… kok sece….”

Joni

:

“Iya. Lebih cepat lebih baik,” potong Joni.

Liza

:

“Iiiiieeeh…..” Liza mencubit kecil lengan Joni. “Ketahuan sekarang. Abang rupanya pengagum JK,” gurau Liza untuk mencairkan suasana, yang tadimya sempat ekstra serius.

Warna kemerah-merahan di ufuk barat telah sirna di telan bumi. Hari berangsur malam. Mereka beranjak meninggalkan pantai yang semakin kelam. Hati Liza terasa berbunga-bunga. Pengalaman manis di tepi pantai sore tadi terbawa-bawa kedalam tidurnya, menjadi mimpi yang indah.

*********

Hari itu, usai shalat Azhar berjamaah, papa dan mama Liza duduk santai di ruang tengah sambil menikmati acara TV. Liza keluar dari kamarnya dengan senyum sumbringah. Ia tampak ceria. Ini membuat papa dan mamanya jadi curiga. “Ma..! ada apa dengan anakmu itu. Dari pagi tadi kelihatan ceria sekali,” kata sang papa. “Ia, mama juga heran,” jawab sang mama. Diam-diam mereka mengamati tingkah laku Liza yang hari ini sedikit agak aneh. Tanpa disadrinya bahwa ia dalam pengamatan mama dan papa, Liza menuju tempat dimana papa dan mama sedang duduk bersama. Liza diam. Cuku lama. Kemudian tampak gelisah dan juga seperti bingung. Memang! Liza sedang bingung. Ia tak tau dari mana mau memulainya. Ia menarik nafas panjang seperti sedang mengumpulkan tenaga untuk melakukan sesuatu. Sang mama dan papa saling berpandangan.

Liza

:

“Pa….Ma…., ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepada Papa dan Mama,” ujar Liza membuka pembicaraan.

Papa

:

“Boleh… boleh….,” jawab sang papa serius sambil menganggukkan kepala.

Liza

:

“Begini… Pa…. Ma… Ka…lau……kalau sekiranya ada lelaki yang mau melamar Liza, bagaimana menurut Papa dan Mama?” katanya gugup.

Papa

:

“Ya…. Tergantung…,” jawab sang papa.

Liza

:

“Tergantung apa, Pa?”

Mama

:

“Ya, tergantung kamu. Kalau kamu yakin ia bisa membahagiakan kamu, ya.. Papa dan Mama setuju saja! Iya, kan Pa?”

Papa

:

“U’uuhh… u’uuh,” tanggap sang papa serius sambil mengangguk.”

Liza

:

“Ia petani, bukan pegawai seperti Papa.”

Papa

:

“Gak apa-apa. Petani itu kerja juga kan? Baik buruk pekerjaan itu indikatornya sederhana: Halal atau haram. Itu saja! Petani juga bisa jadi orang sukses.” terang sang papa.

Mama

“Sukses atau tidaknya suamimu nanti, itu tergantung dari dukungan kamu sebagai isteri,” timpal mama.

Papa

“Mamamu benar. Papa bisa sukses menjalani karir di birokrasi, ya berkat kesetiaan dan dukungan mama kamu. Tanpa dukungan mama kamu, Papa tak berarti apa-apa. Iya kan, Ma?” puji sang suami kepada sang isteri. Sang mama tersipu merasa dirinya dipuji.

Mama

“Kapan rencana dia akan ke sini”

Liza

“Katanya besok,”

Mama

“Apa?  Besok? Kok tergesa-gesa amat?

Liza

“Iya, katanya, lebih cepat lebih baik.”

Papa

“Oke…! Kalau begitu. Lanjutkan!,” kata sang papa dengan nada bercanda.

Liza

“Iiiieeeeh…..Papa ketinggalan kereta. SBY tak mencalonkan diri lagi, Pa!” canda Liza menutup pembicaraan.

Liza dan papanya duduk-duduk santai di teras depan. Sebuah taxi muncul dari arah kanan lalu berhenti tepat di depan pintu pagar. Seorang pemuda turun dari taksi itu, lalu menuju pintu pagar. “Assalamu’alaikum,” sapanya. “Waalaikumusslam,” jawab Liza dan papa. “Eeee Bapak?” serunya. “Wawan?” kata sang papa sambil menunjuk ke arah dada pemuda itu. “Iya, Pak. Aku Wawan,” ujarnya. Mereka berpelukan, lalu cipika-cipiki. Akrab sekali. Liza jadi terbingung-bingung melihat adegan itu. “Yuk…Mari masuk, nak Wawan,” katanya sambil merangkul lengan Wawan. “Liza! Ambilkan minuma buat tamu istimewa kita hari ini. Panggilkan juga ibumu,” pintanya. Liza menyuguhkan minuman. “Silakan dimunum, Bang,” ujar Liza. “Terima kasih, Liza,” Jawab Wawan.

Ibu Liza muncul dari dalam, lalu duduk duduk di samping sang suami. “Ini….Bang Jo…... Ini…Wawan,” kata Liza dan papanya bersamaan. Kini sang Papa yang jadi bingung. “Ini Joni Irawan, di kantor dulu dia dipanggil Wawan,” kata sang papa memperkenalkan. Wawan tersenyum, memandang kea rah Liza. “Ke mana saja kamu selama ini, kok gak muncul-muncul?” tanya sang papa. “Panjang ceritanya, Pak. Sejak berpisah dengan Bapak dulu, hingga akhirnya bertemu Liza di desa Tebing Tinggi,” jawab Wawan. “Jadi kalian sudah saling kenal? Kok kamu gak bilang-bilang,” tanya Papa kepada Liza. “Iya, Pa. Ini Bang Joni, yang saya ceritakan kemaren. Di Tebing Tinggi ia dipanggil Joni. “Oooo.. begitu ceritanya,” timpal sang mama. Mereka berempat terlibat perbincangan dalam susana yang familiar. Joni juga telah menyampaikan maksudnya dating ke sini untuk melamar Liza. Papa dan Mama Liza menyetujuinya. Bahkan mereka sepakat untuk melaksanakan pernikahan Liza dan Joni dalam waktu dekat.

Usai shalat Maghrib Liza makan bersama papa dan mama. Sambil menikmati hidangan mereka melanjutkan topik pembicaraan tadi siang. “Jadi Papa sudah tau kalau Bang Joni mantan napi?” tanya Liza. “Apa? Mantan napi?” tanya mama dengan nada terkejut. “Iya, Papa tau persis duduk persoalannya,” kata papa. “Jadi kita akan bermenantukan mantan napi?” tanya sang mama seperti tidak bisa menerima. “Sebetulnya, Wawan itu anak baik. Ia hanya korban saja. Ia tidak mendapatkan apa-apa dari dana korupsi itu. Ia hanya korban keserakahan pejabat,” kata sang papa menjelaskan. “Itulah bobroknya birokrasi kita. Orang sebaik Wawan, yang baru beberapa tahun menjadi pegawai negeri, bisa terjerumus tindak pidana korupsi,” tambahnya lagi. Mendengar penjelasan papa, hati liza makin mantap. “Kalau begitu, Bang Joni memang jodohku,” bisiknya dalam hati.

********

Resepsi pernikahan Joni dan Liza berlangsung sederhana. Mereka hanya mengundang masyarakat sekitar tempat tinggal dan mantan staf, rekan dan kenalan sang papa ketika aktif di kantor dulu. Para undangan banyak yang hadir. Tampak juga hadir beberapan teman Liza semasa SMA. Di depan, duduk bersanding dua sejoli yang lagi berbahagia, sepasang penganten baru, Liza dan Joni. Liza tampak cantik dengan gaun pengantinnya. Di sebelah kanannya duduk pria tampan, penganten pria bernama Joni Irawan. Suara penyanyi diiringi organ tunggal terdengar menghibur para undangan. Banyak diantara para undangan yang tampil menyumbangkan suaranya. Mereka kelihatan pede, percaya diri, meski dengan modal suara dan teknik bernyanyi alakadarnya. Mereka tahu, ini hanya hiburan belaka, bukan show atau festival yang butuh suara dan teknik olah vokal yang sempurna. Para tamu yang hendak meninggalkan perhelatan, satu persatu menyalami penganten, menyampaikan ucapan selamat. Teman-teman Liza melakukan hal yang sama. Mereka bersalaman, lalu cipika-cipiki, sambil melepas kangen karena lama tak bertemu.

Bulan madu Liza dan Joni sudah berjalan dua minggu. Meski tidak berbulan madu ke Bali atau menginap di hitel berbintang, hari-hari mereka lalui dengan diliputi rasa bahagia.”Liza! Kalau kamu tak keberatan, bagai mana kalau bulan madu kita lanjutkan di desa Tebing Tinggi saja?” tanya Joni. “Ya, aku setuju-setuju saja. Besok aku akan melapor ke Dinas keshatan, bahwa aku bersedia melanjutkan tugasku di desa Tebing Tinggi. Kita bias berangkat duluan dan SK-ku biar menyusul kemudian,” ujar Liza.

Setelah mendapat peretujuan papa dan mama, Joni dan Liza berangkat ke desa Tebing Tinggi. Dengan menggunakan perahu tempel, mereka menyusuri sungai yang cukup panjang. Namun karena sedang diliputi rasa bahagia, perjalanan panjang itu terasa singkat. Tak terasa mereka sudah sampai di tepi sungai tempat perahu sampan, kenderaan lanjutan yang mereka tumpangi, merapat ke tepi sungai. Ternyata Pak Kades dan beberapa warga sudah menunggu di sana. Pak Kades beranjak dari tempat duduknya lalu menyambut Liza dan Joni. “Waaaw kami sempat khawatir, kalau kalian tak jadi dating hari ini. Kalau begitu bisa barabe jadinya,” kata Pak Kades. “Lho… kenapa, Pak Kades,” tanya Liza penasaran mendengar pernyataan Pak Kades. “Ah… Tidak! Tak ada apa-apa. Yuk kita ke pustu,” ajak Pak Kades.

Rasa penasaran Liza semakin bertambah ketika melihat ada rame-rame di pustu. “Ada apa Pak Kades, Kok rame-rame, begitu,” tanya Joni heran. “Ya, saya bersama warga mohon maaf, karena tak ada yang sempat menghadiri pesta perkawinan kalian,” pinta Pak Kades. Karenanya, warga di sini ingin menyelenggarakan sendiri pesta perkawinan kalian. Soal biaya, mereka tanggung bersama,” terang Pak Kades. Liza dan Joni terharu mendengar penjelasan Pak Kades. Betapa warga di sini menyayangi dan mengharapkan mereka. “Coba lihat tuh. Di sana ada Barung bambu. Di desa ini barung-barung bambu adalah lambang adanya acara perkawinan. Meskipun terdapat tenda-tenda modern yang bagus, barung-barung wajib ada menurut adat kebiasaan desa ini. Barung-barung itu dibuat warga untuk kalian berdua,” kata Pak Kades.

Sesampai di pintu rumah mereka disambut Ibuk Pak Kades dan teman-teman Liza. “Sudah! kalian capek. Biar warga saja yang mengerjakan semuanya. Kalian istirahat saja, agar dalam acara malam nanti kalian segar kembali. Liza dan Joni masuk ke kamar dan istirahat untuk beberapa waktu.

Malam harinya warga berdatangan untuk menghadiri peresmian perlawinan Liza dan Joni. Tampak hadir para perangkat desa, tokoh adat, tokoh masyarakat, ulama dan pemuda. Acara pun dimulai. Terdengar ada pepatah petitih adat yang saling berjawab antar tokoh adat desa. Liza dan Joni tidak memahami benar makna pepatah petitih adat desa itu, yang baru kali ini mereka dengar. Setelah itu salah seorang ustadz membacakan doa selamat. Baru kemudian acara makan bersama yang dilakukan dengan cara tradisional. Semua tamu makan dari nasi, gulai dan sambal yang sudah dibungkus dengan daun pisang. Ketika bungkus daun pisang dibuka, aroma sedap makanan menebar ke seluruh ruangan, memancing selera untuk mencicipinya. Usai makan bersama, dilanjutkan dengan acara hiburan dengan alat musik sederhana ala desa. Terdengarlah lantunan berbagai jenis lagu mulai dari pop, rock, dangdut hingga lagu daerah. Liza dan Joni duduk di pelaminan yang meski terbuat dari bambu namun terlihat cantik dan unik dan tertata apik oleh tangan-tangan terampil anak muda desa Tebing Tinggi. Acara berlangsung hingga tengah malam. Joni dan liza benar-benar merasa bahagia dan menikmati malam itu. Malam itu seakan menjadi malam pertama mereka yang kedua kali.

T A M A T

Selamat membaca! Salam  dari kampung.



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun